A. Prakata
Dunia
usaha membutuhkan modal dalam jumlah yang cenderung meningkat setiap waktu. Dalam
rangka memberi kemudahan bagi masyarakat dan para produsen untuk mendapatkan
permodalan, maka pemerintah dan lembaga-lembaga ekonomi menyelenggarakan
kegiatan pasar modal. Pasar modal merupakan pasar untuk berbagai instrument
keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan. Salah satu instrument pasar modal adalah surat utang yang
lebih dikenal dengan nama obligasi.
Secara lebih detail, obligasi merupakan utang jangka
panjang secara tertulis dalam kontrak surat obligasi yang dilakukan oleh pihak
berhutang dan pihak yang menerima pembayaran alias piutang yang pada umumnya
tanpa menjaminkan suatu aktiva.
Perkembangan ekonomi Islam membuat lembaga-lembaga
keuangan Islam dan pemerintah mengeluarkan instrumen-instrumen keuangan yang
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, keberadaan obligasi
yang selama ini identik dengan bunga yang tidak sesuai dengan syariah, mulai
beranjak ke obligasi dengan prinsip-prinsip syariah. Obligasi syariah merupakan
salah satu pilihan investasi yang tepat bagi para emiten yang ingin aman dari
unsur-unsur ribawi. Tidak hanya itu, instrumen pasar modal yang satu ini
merupakan salah satu langkah awal untuk memajukan ekonomi yang sesuai dengan
prinsip syariah.
Lebih jauh mengenai definisi obligasi syariah, konsep
dasar, dan mekanisme operasionalnya akan dibahas berikut ini.
B. Pengertian Obligasi
Obligasi berasal dari bahasa Belanda, ”Obligatie” yang
berarti kontrak.
Obligasi merupakan surat utang jangka menengah-panjang yang dapat
dipindahtangankan yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan untuk membayar
imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu
yang telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi tersebut.
Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa unsur-unsur yang
terdapat pada obligasi adalah:
a.
Kontrak pembiayaan berjangka panjang/ menengah
b.
Pembayaran kembali pada waktu tertentu
c.
Pembayaran seluruh kewajiban yang timbul
d.
Pembayaran sejumlah manfaat yang diperoleh secara
periodik berdasarkan kesepakatan
e.
Berkarakteristik: ada emiten, nilai nominal, kupon, dan
jatuh tempo
Jika harga saham dinyatakan dalam bentuk mata uang, maka
harga obligasi dinyatakan dalam persentase, yaitu keuntungan dari nilai
nominal. Harga pasar obligasi yang ditawarkan ada tiga kemungkinan:
a.
Par value (nilai par) yang merupakan keadaan di mana
harga obligasi sama dengan nilai nominalnya. Pada par value, obligasi akan
dijual pada harga 100%.
b.
At premium ketika harga obligasi lebih besar dari nilai
nominalnya. Misalnya saja, obligasi dijual dengan harga 103%.
c.
At discount, harga obligasi lebih kecil dari nilai
nominal. Misalnya, obligasi dijual dengan
harga 97%.
Obligasi syariah berbeda dengan obligasi konvensional.
Semenjak ada konvergensi pendapat bahwa bunga adalah riba, maka
instrumen-instrumen yang punya komponen bunga (interest-bearing instruments)
dikeluarkan dari daftar investasi halal. Karena itu, dimunculkan alternatif
yang dinamakan Obligasi syariah.
Merujuk pada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002,
"obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan
prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syari’ah yang
mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syari’ah berupa
bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh
tempo".
Pada awalnya, penggunaan istilah "obligasi
syariah" sendiri dianggap kontradiktif. Obligasi sudah menjadi kata yang
tak lepas dari bunga sehingga tidak dimungkinkan untuk di- syariah-kan. Seperti
halnya pengertian bank syariah adalah bank yang menjalankan prinsip syariah,
tetap menghimpun dan menyalurkan dana, tetapi tidak dengan dasar bunga,
demikian juga adanya pergeseran pengertian pada obligasi. Mulanya dikenal sebagai
instrumen fixed income karena memberikan kupon dengan bunga tetap (fixed)
sepanjang tenornya. Kemudian dikembangkan juga obligasi dengan kupon bunga
mengambang (floating) sehingga bunga yang diterima pemegang obligasi
tidak lagi tetap.
Menarik untuk memperhatikan bahwa Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional No: 32/DSN- MUI/IX/2002 tersebut memberikan pertimbangan awal bahwa
obligasi yang selama ini (konvensional) didefinisikan masih belum sesuai dengan
syariah. Karenanya, obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi
yang berdasarkan prinsip syariah.
Dari sisi pasar modal, penerbitan obligasi syariah muncul
sehubungan dengan berkembangnya institusi-institusi keuangan syariah, seperti
asuransi syariah, dana pensiun syariah, dan reksa dana syariah yang membutuhkan
alternatif penempatan investasi.
Menariknya, investor obligasi syariah tidak hanya berasal
dari institusi-institusi syariah saja, tetapi juga investor konvensional.
Produk syariah dapat dinikmati dan digunakan siapa pun, sesuai falsafah syariah
yang sudah seharusnya memberi manfaat (maslahat) kepada seluruh semesta
alam. Investor konvensional akan tetap bisa berpartisipasi dalam obligasi
syariah, jika dipertimbangkan bisa memberi keuntungan kompetitif, sesuai profil
risikonya, dan juga likuid. Sementara obligasi konvensional, investor base-nya
justru terbatas karena investor syariah tidak bisa ikut ambil bagian di
dalamnya.
Bagi emiten, menerbitkan obligasi syariah berarti juga
memanfaatkan peluang-peluang tertentu. Emiten dapat memperoleh sumber pendanaan
yang lebih luas, baik investor konvensional maupun syariah. Selain itu,
struktur obligasi syariah yang inovatif juga memberi peluang untuk memperoleh
biaya modal yang kompetitif dan menguntungkan. Tetapi, tidak semua emiten dapat
menerbitkan obligasi syariah. Untuk menerbitkan obligasi syariah, beberapa
persyaratan berikut yang harus dipenuhi:
a.
Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak
bertentangan dengan substansi Fatwa No: 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut
menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah Islam
di antaranya adalah:(1) Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau
perdagangan yang dilarang; (2) Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi),
termasuk perbankan dan asuransi konvensional; (3) Usaha yang memproduksi,
mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram; (4) Usaha yang
memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa
yang merusak moral dan bersifat mudarat.
b.
Peringkat Investment Grade: (1) memiliki fundamental
usaha yang kuat; (2) memiliki fundamental keuangan yang kuat; (3) memiliki
citra yang baik bagi publik
c.
Persyaratan tambahan jika termasuk dalam komponen Jakarta
Islamic Index (JII)Fatwa DSN – Obligasi Syariah:
1) Obligasi syariah adalah
surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten
kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar
pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/marjin/fee serta
membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo
2) Dalam hal akad
Mudharabah atau Musyarakah pendapatan yang dibagikan merupakan bagi hasil.
3) Dalam hal akad
jual-beli seperti Murabahah, Salam, atau Istishna, pendapatan yang dibagikan
merupakan marjin.
4) Dalam hal akad
Ijarah, pendapatan yang dibagikan merupakan fee (sewa) dari aset yang disewakan
5) Kepemilikan obligasi
syariah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad
C. Konsep Dasar
Obligasi Syariah
Biaya Modal adalah batas hasil minimum yang harus dicapai
oleh suatu investasi agar dapat meningkatkan nilai perusahaan. Oleh karena itu,
biaya modal sering dianggap sebagai cut off rate terhadap sebuah proyek
investasi. Sebuah proyek investasi yang dapat menghasilkan keuntungan lebih
besar dari biaya modalnya, maka investasi tersebut akan dapat menaikkan nilai
perusahaan
Biaya modal obligasi konvensional merupakan tingkat
keuntungan yang diharapkan oleh pemegang obligasi. Besarnya biaya modal
tersebut telah ditetapkan di awal berupa persentase bunga tetap setiap
periodenya. Biaya modal ini dapat diketahui dengan cara menilai harga beli
obligasi atau present value obligasi tahun ke nol. Penilaian harga beli
obligasi konvensional tidak bisa lepas dari konsep time value of money yang
tidak diperbolehkan dalam konsep ekonomi
syariah. Pada obligasi syariah, ada beberapa akad penting yang dijadikan
sebagai basis pengembangan obligasi. Akad-akad tersebut adalah:
a.
Akad Mudharabah: merupakan akad kerjasama usaha antara
dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal atau investor)
menyediakan modal sedangkan pihak kedua (mudharib alias emiten) bertindak
selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara kedua pihak sesuai
dengan kesepakatan di awal yang dituangkan dalam kontrak.
b.
Akad Musyarakah: adalah akad kerjasama antara dua pihak
atau lebih untuk suatu usaha tertentu. Masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana sesuai dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung
bersama sesuai kesepakatan.
c.
Akad Ijarah: akad pemindahan hak guna (manfaat) atas
suatu barang/ jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa, tanpa diikuti
dengan pemindahan hak milik atas barang tersebut.
d.
Akad Murabahah: akad jual beli barang di mana pembeli
dapat membayar harga barang yang disepakati pada jangka waktu yang telah
ditentukan kedua pihak, dan penjual dapat menambah marjin pada harga pokok
barang yang dijualnya.
e.
Akad Salam: kontrak jual beli dengan cara pemesanan dan
pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.
f.
Akad Istishna: akad jual beli dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antara pemesan atau pembeli dengan pembuat atau penjual.
Meskipun ada enam akad yang bisa digunakan dalam
pengembangan obligasi syariah, namun hanya dua akad yang banyak digunakan yaitu
akad Mudharabah dan Ijarah.
1.
Obligasi Mudharabah
Obligasi Mudharabah merupakan kerjasama dengan skema bagi
hasil pendapatan atau keuntungan. Obligasi jenis ini memberikan return dengan
menggunakan term indicative/ expected return karena sifatnya yang floating
dan tergantung pada kinerja pendapata yang dibagihasilkan.
Pada praktiknya, Obligasi Mudharabah dikeluarkan oleh
perusahaan (mudharib/ emiten) kepada investor (shahibul maal) dengan tujuan
untuk pendanaan proyek tertentu yang dijalankan oleh perusahaan di mana proyek
tersebut terpisah dari aktivitas umum perusahaan. Keuntungannya didistribusikan
secara periodik berdasarkan nisbah tertentu yang telah disepakati, namun tidak
ditentukan persentasenya pada awal perjanjian. Nisbahnya merupakan rasio
pembagian keuntungan riil dengan basis profit-loss sharing.
Return Obligasi Syariah Mudharabah yang berbasis revenue
sharing atau profit sharing berbeda dengan return keuntungan yang diharapkan
(bunga) obligasi konvensional. Perbedaan ini tentunya berlanjut pada cara
penilaian harga pasar obligasi syariah dan akhirnya juga menentukan biaya modal
perusahaan yang menerbitkan obligasi syariah tersebut.
Mekanisme atau beberapa hal pokok mengenai Obligasi Syariah
Mudharabah ini dapat diringkaskan dalam butir-butir berikut:
a.
Kontrak atau akad Mudharabah dituangkan dalam perjanjian
perwaliamanatan;
b.
Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) dapat
ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue) atau keuntungan (profit;
operating profit, EBIT, atau EBITDA). Tetapi, Fatwa No: 15/DSN-MUI/IX/2000
memberi pertimbangan bahwa dari segi kemaslahatan pembagian usaha sebaiknya
menggunakan prinsip Revenue Sharing;
c.
Nisbah ini dapat ditetapkan konstan, meningkat, ataupun
menurun, dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan Emiten, tetapi sudah
ditetapkan di awal kontrak.
d.
Pendapatan Bagi Hasil berarti jumlah pendapatan yang
dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten
kepada pemegang obligasi syariah yang dihitung berdasarkan perkalian antara
nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/ keuntungan yang
dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten.
e.
Pembagian hasil pendapatan ini atau keuntungan dapat
dilakukan secara periodik (tahunan, semesteran, kuartalan, bulanan);
f.
Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan
oleh kinerja aktual emiten, maka obligasi syariah memberikan indicative return
tertentu.
Contoh Obligasi Mudharabah: Berlian Laju Tanker
menerbitkan Obligasi Mudharabah senilai Rp100 miliyar. Dana tersebut digunakan
untuk membeli kapal tanker (66%) dengan tambahan modal kerja perusahaan (34%).
Obligasi tersebut berjangka waktu 5 tahun dengan keuntungan yang diperoleh dari
bagi hasil berdasarkan pendapatan perseroan dari pengoperasian kapal tanker MT
Gardini atau kapal lainnya yang beroperasi melayani Pertamina, sehingga
returnya berubah setiap tahun sesuai dengan pendapatan.
2.
Obligasi Ijarah
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna/ manfaat atas
suatu barang atau jasa dalam wakatu tertentu melalui pembayaran sewa tanpa
diikuti dengan pemindahan hak kepemilikan atas barang tersebut. Pemegang Obligasi
Ijarah akan mendapatkan keuntungan berupa fee (sewa) dari aset yang
disewakan.
Ketentuan akad ijarah:
a. Objeknya dapat
berupa barang (harta fisik yang bergerak, tak bergerak, harta perdagangan)
maupun berupa jasa.
b. Manfaat dari objek dan nilai manfaat tersebut
diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak.
c. Ruang lingkup dan
jangka waktu pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik.
d. Penyewa harus
membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan atau sewa / upah.
e. Pemakai manfaat
(penyewa) harus menjaga objek agar manfaat yang diberikan oleh objek tetap
terjaga.
f. Pembeli sewa
haruslah pemilik mutlak.
Contoh Obligasi Ijarah: Obligasi Ijarah Matahari
Departemen Store. Perusahaan tersebut mengeluarkan Obligasi Ijarah senilai
Rp100 mialiyar dengan jangka waktu 5 tahun. Dananya digunakan untuk
melaksanakan ijarah atas ruangan usaha dari pemiliknya (pemegang obligasi yang
dalam hal ini adalah investor). Ruang usaha yang disewa adalah Cilandak Town
Square di Jakarta. Ruang tersebut dimanfaatkan Matahari sesuai dengan akad
ijarah, di mana atas manfaat tersebut Matahari melakukan pembayaran sewa (fee
ijarah) dan pokok dana obligasi. Fee ijarah dibayarkan setiap tiga bulan,
sedangkan dana obligasi dibayarkan pada saat pelunasan obligasi.
D. Mekanisme
Operasional Obligasi
1.
Mekanisme Operasional Obligasi Konvensional
Tahapan-tahapan
obligasi sebelum hingga sampai ke tangan pemodal:
a.
Sebelum ditawarkan kepada masyarakat pemodal, obligasi
akan diperingkat (rating) oleh rating agency.
b.
Rating yang diberikan oleh rating agency akan
memberikan pernyataan apakah obligasi berada pada tingkat investment grade atau
non investment grade.
c. Ada dua jenis rating yang diberlakukan
yaitu coprporate rating dan securities rating.
d. Identure merupakan kontrak atau
perjanjian serta syarat-syarat dan kondisi yang terdapat pada surat obligasi.
2.
Mekanisme Operasional Obligasi Syariah
a.
Obligasi Mudharabah
1)
Kontrak atau akad Mudharabah dituangkan dalam perjanjian
perwaliamanatan
2)
Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) dapat
ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue) atau keuntungan (profit;
operating profit, EBIT, atau EBITDA). Tetapi, Fatwa No: 15/DSN-MUI/IX/2000
memberi pertimbangan bahwa dari segi kemaslahatan pembagian usaha sebaiknya
menggunakan prinsip Revenue Sharing
3)
Nisbah ini dapat ditetapkan konstan, meningkat, ataupun
menurun, dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan Emiten, tetapi sudah
ditetapkan di awal kontrak
4)
Pendapatan Bagi Hasil berarti jumlah pendapatan yang
dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten
kepada pemegang obligasi syariah yang dihitung berdasarkan perkalian antara
nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/keuntungan yang
dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten
5)
Pembagian hasil pendapatan ini atau keuntungan dapat
dilakukan secara periodik (tahunan, semesteran, kuartalan, bulanan)
6)
Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan
oleh kinerja aktual emiten, maka obligasi syariah memberikan indicative return
tertentu
Contoh Mekanisme
Perdagangan Obligasi Mudharabah:
b.
Obligasi Ijarah
Obligasi ijarah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1)
Investor dapat bertindak sebagai penyewa (musta‟jir). Sedangkan
emiten dapat bertindak ebagai wakil investor.
Dan propery owner, dapat bertindak sebagai orang yang menyewakan (mu‟jir). Dengan
demikian, ada dua kali transaksi dalam hal ini; transaksi pertama terjadi
antara investor dengan emiten, dimana investor mewakilkan dirinya kepada emiten
dengan akad wakalah, untuk melakukan transaksi sewa menyewa dengan property
owner dengan akad ijarah. Selanjutnya, transaksi terjadi antara emiten (sebagai
wakil investor) dengan property owner (sebagai orang yang menyewakan) untuk
melakukan transaksi sewa menyewa (ijarah).
2)
Setelah investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan
kembali objek sewa ersebut kepada emiten. Atas dasar transaksi sewa menyewa
tersebut, maka diterbitkanlah surat berharga jangka panjang (obligasi syariah
ijarah), dimana atas penerbitan obligasi tersebut, emiten waib membayar pendapatn kepada investor
berupa fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
E. Sistem Kompensasi
Obligasi
Pada obligasi konvensional, kompensasi yang diperoleh
oleh pemegang obligasi antara lain:
a.
Pendapatan bunga, baik dalam bentuk kupon ataupun bunga
tetap, bunga meningkat, dan tingkat bunga mengambang
b.
Capital gain, keuntungan dari selisih nominal obligasi
dengan harga jual. Ada dua isltilah dalam penentuan capital gain alias yield:
1) Current yield. Merupakan
yield yang dihitung berdasarkan jumlah kupon yang diterima selama
setahun terhadap harga obligasi.
2) Yield to maturity (YTM). YTM
adalah tingkat pengembalian atau pendapatan yang akan diperoleh investor
apabila memiliki obligasi sampai jatuh tempo.
c.
Spesial feature gain
Selain itu, obligasi harus diukur tingkat pengembaliannya
untuk mengetahui apakah obligasi tersebut akan mendatangkan keuntungan atau
tidak. Tingkat pengembalian diukur dari sumber-sumber pendapatan yang mendasari
obligasi yaitu bunga. Sementara itu, untuk mengukur pendapatan bunga terhadap
harga pasar obligasi digunakan current yield.
Sedangkan pada obligasi syariah kompensasi yang akan
diterima oleh pemegang obligasi antara lain pendapatan bagi hasil, imbalan atau
fee.
F.
Perbedaan Obligasi Syariah dan Konvensional
Keterangan
|
Obligasi Konvensional
|
Obligasi Mudharabah
|
Obligasi Ijarah
|
Akad (transaksi)
|
Tidak ada
|
Mudharabah (bagi hasil)
|
Ijarah (sewa/ lease)
|
Jenis transaksi
|
-
|
Uncertanty contract
|
Certanty contract
|
Sifat
|
Surat utang
|
Investasi
|
Investasi
|
Harga penawaran
|
100%
|
100%
|
100%
|
Pokok obligasi saat jatuh tempo
|
100%
|
100%
|
100%
|
Kupon
|
Bunga
|
Pendapatan/ bagi hasil
|
Imbalan/ fee
|
Return
|
Float/ tetap
|
Indikatif berdasarkan pendapatan/ income
|
Ditentukan sebelumnya
|
Fatwa DSN
|
Tidak ada
|
No.
33/DSN-MUI/IX/2002
|
No:
41/DSN-MUI/III/2004
|
Jenis investor
|
Konvensional
|
Syariah/ konvensional
|
Syariah/ konvensional
|
Secara prinsipil perbedaan antara obligasi syariah dan
obligasi konvensional sama seperti bisnis syariah lainnya, yaitu di mana prinsip-prinsip
syariah menjadi acuan dasar yang harus diikuti. Di antaranya perbedaan tersebut
dapat diketahui dari sisi:
1.
Orientasi
Obligasi konvensional hanya memperhitungkan keuntungannya
semata. Tidak demikian bagi obligasi syariah, di samping memperhatikan
keuntungan, obligasi syariah harus memperhatikan pula sisi halal-haram, artinya
disetiap investasi yang ditanamkan dalam obligasi harus pada produk-produk yang
sesuai dengan prinsip syariah. Pada kasus di Indonesia, obligasi syariah
menggunakan akad mudharabah. Prinsip pokok penerbitan obligasi syariah mudharabah
tersebut adalah:
a.
Kontrak atau akad mudharabah dituangkan dalam perjanjian
perwaliamanatan
b.
Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) dapat
ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue) atau keuntungan (profit;
operating profit, EBIT, atau EBITDA)
c.
Nisbah ini dapat ditetapkan konstan, meningkat, ataupun
menurun, dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan emiten, tetapi sudah
ditetapkan di awal kontrak
d.
Pendapatan bagi hasil berarti jumlah pendapatan yang
dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten
pada pemegang obligasi syariah yang dihitung berdasarkan perkalian antara
nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/keuntungan yang
dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten
2.
Akad
Obligasi syariah disetiap transaksinya ditetapkan
berdasarkan akad. Diantaranya adalah akad mudharabah, musyarakah, murabahah,
salam, istisna dan ijarah. Dana yang dihimpun tidak dapat diinvestasikan ke
pasar uang dan atau spekulasi di lantai bursa. Sedangkan untuk obligasi
konvensional tidak terdapat akad di setiap transaksinya. Secara jelas aturan
bagi investasi ke dalam bentuk obligasi syariah tidak dibenarkan kepada
transaksi yang dilarang, baik investasi tersebut pada barang yang bersifat
subhat ataupun makruh. Tidak dibenarkan jika bentuk investasi tersebut pada
perusahaan yang telah memproduksi barang-barang yang dilarang, misalnya,
perusahaan yang memproduksi minuman keras, atau perusahaan yang memproduksi
rokok yang dimakruhkan.
3.
Keuntungan
Obligasi konvensional, keuntungannya di dapat dari
besaran bunga yang ditetapkan, sedangkan obligasi syariah keuntungan akan
diterima dari besarnya margin/fee yang ditetapkan ataupun dengan sistem bagi
hasil yang didasarkan atas asset dan produksi.
4.
Kewajiban Emiten
Merujuk pada fatwa Dewan Syariah Nasional–Majlis Ulama
Indonesia, Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang
berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi
Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang
obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana
obligasi pada saat jatuh tempo. Penerapan obligasi syariah menggunakan akad
antara lain; akad musyarakah, mudharabah, murabahah, salam, istisna, dan
ijarah. Emiten adalah mudharib sedang pemegang obligasi adalah shahibul mal
(investor).
G. Penutup
Obligasi merupakan surat utang jangka menengah-panjang
yang dapat dipindahtangankan yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan
untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok
utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi tersebut.
Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka
panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang
obligasi syari’ah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada
pemegang obligasi syari’ah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali
dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Obligasi konvensional hanya memperhitungkan keuntungannya
semata. Tidak demikian bagi obligasi syariah, di samping memperhatikan
keuntungan, obligasi syariah harus memperhatikan pula sisi halal-haram, artinya
disetiap investasi yang ditanamkan dalam obligasi harus pada produk-produk yang
sesuai dengan prinsip syariah. Pada kasus di Indonesia, obligasi syariah
menggunakan akad mudharabah.
Obligasi syariah disetiap transaksinya ditetapkan
berdasarkan akad. Diantaranya adalah akad mudharabah, musyarakah, murabahah,
salam, istisna dan ijarah. Dana yang dihimpun tidak dapat diinvestasikan ke
pasar uang dan atau spekulasi di lantai bursa. Sedangkan untuk obligasi konvensional
tidak terdapat akad di setiap transaksinya.
DAFTAR BACAAN
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah.
Yogyakarta: Ekonosia FE UII, 2007