Sebuah konflik yang muncul seringkali menimbulkan sejumlah pertanyaan penting yang menghubungkannya dengan sejumlah kepentingan. Pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan adalah terkait spontanitas terjadinya konflik, keberadaan provokasi organisasi tertentu dan alasan masyarakat ikut terlibat dalam konflik. Pada akhirnya, waktu menjawab pertanyaan-pertanyaan penting tersebut. Kekerasan faktanya dipicu oleh kekuasaan. Seseorang yang memiliki kekuasaan atau kewenangan tertentu memantik konflik untuk melanggengkan kekuasaannya atau untuk mencapai keuntungan ekonomi bagi dirinya. (Wilson 2008)
Contohnya adalah kasus yang terjadi di Yugoslavia tahun 1990-an di mana ketika itu para pemimpin partai di Serbia, elit partai lokal dan regional, ilmuan Marxis ortodok dan sebagian tentara nasionalis melakukan koalisi besar-besaran untuk memicu konflik etnis. Elemen utama dari konflik ini adalah predasi ekonomi oleh elit. Contoh lainnya adalah kerusuhan komunal yang terjadi di India. Etnis dan agama dikambinghitamkan dalam rangka perebutan kekuasaan. Penganut Hindu dan Islam dimobilisasi untuk menciptakan kerusuhan dalam rangka memperoleh keuntungan politik ataupun keuntungan lain para elit. Konflik komunal tersebut dipertahankan hingga saat ini oleh kelompok kepentingan yang sama. Konflik anti-Muslim menciptakan solidaritas di kalangan Hindu yang pada akhirnya akan memfasilitasi pemenangan dalam pemilihan bagi partai politik nasional Hindu. (Wilson 2008)
Hal serupa juga pernah terjadi di Indonesia di mana pemerintahan menjadi sasaran amuk massa yang menurunkan Presiden Soeharto dari jabatannya. Persoalan tidak selesai begitu saja, melainkan semakin kacau. Tahun 1999 pemerintah pusat mengumumkan akan membentuk provinsi baru di Maluku secara terpisah. Pengumuman ini memicu konflik para elit untuk mendapatkan kekuatan politik. Para pemimpin elit dan pengikut masing-masing mulai bertikai karena dua hal yaitu tentang ibukota provinsi dan gubernur pertama. Menjadi ibukota provinsi merupakan previlej untuk mendapatkan pendapatan besar lewat fasilitas konstruksi, alokasi dana dari pemerintah pusat, tenaga kerja dan pendapatan yang berhubungan dengan pemerintah daerah. Untuk itu, masing-masing kandidat melakukan lobi sampai menimbulkan ketegangan, perpecahan rakyat Maluku dan kerusuhan. (Wilson 2008)
Ketika konflik tidak bisa dilepaskan dari kuasa, maka kuasa tidak pula bisa dilepaskan dari uang. Hal ini terbukti dari fakta bahwa partai politik (baca;penguasa) didanai oleh sejumlah sumber. Sumber dana pertama partai politik adalah iuran wajib para anggota. Partai politik juga memperoleh dana dari beragam even penggalangan dana, donasi, dan kontribusi anggota partai, serta pendapatan dari bisnis yang dimiliki oleh partai. Namun, sumber dana yang paling utama adalah kontribusi bisnis yang bukan merupakan bagian resmi dari partai melainkan berasal dari individu atau kelompok bisnis yang memiliki kepentingan dan alasan yang berbeda dengan partai yang memberikan dukungan secara finansial. Sumber dana utama ini merupakan yang paling diminati oleh elit politik dan menjadi sumber korupsi dan kooptasi di banyak negara. (Bryan and Baer 2005)
Sementara itu, individu yang ingin terlibat menjadi penguasa lewat pemilihan harus menanggung konsekuensi berupa tanggungan biaya kampanye sendiri, partai politik umumnya enggan berperan dalam pengumpulan dana kampanye, dan bisnis tidak akan bersedia mendanai kandidat individual. Pada akhirnya, kandidat individu harus menanggung beban berat yang kemudian dapat mengarahkannya pada tindakan korupsi. (Bryan and Baer 2005)
Dalam kondisi ini, bisnis barangkali dapat melumpuhkan perkembangan politik dengan menutup akses kekuasaan. Sejumlah pengusaha terlibat dalam politik untuk mendapatkan akses dan pengendalian modal, kontrak dan konstruksi. Kekuasaan politik kemudian menjadi lingkaran kepentingan pengusaha kaya yang membuat keputusan politik sesuai kepentingan mereka, bukan untuk kebaikan publik. Pebisnis bisa saja tidak terlibat langsung dengan politik (menjadi pelaku atau kandidat), tapi ia bisa saja memberikan dukungan kepada kandidat yang dirasa punya kesempatan untuk berkuasa. Tujuannya sama, untuk mendapatkan akses terhadap modal, kontrak, konstruksi dan mengendalikan semuanya. Dukungan finansial pebisnis kepada kandidat akan membuat kandidat berada dalam penjara pebisnis tersebut di mana kandidat akan melakukan apa yang diinginkan oleh pebisnis ketika mereka sudah berada di tampuk kekuasaan. Kadangkala, para kontributor atau pebisnis itu punya permintaan yang spesifik sebagai imbalan atas kontribusi mereka seperti pertimbangan istimewa pada pra-kontrak privatisasi, portofolio kementrian tertentu dan sebagainya. (Bryan and Baer 2005)
Konflik tidak jarang sengaja dipicu untuk memenangkan kuasa pihak tertentu. Peperangan sengaja dibuat untuk memasarkan produk senjata api. Lalu, mungkinkah wabah dalam bentuk apapun di masyarakat juga sengaja dibuat untuk keuntungan bisnis? Wallahu a'lam...
Konflik tidak jarang sengaja dipicu untuk memenangkan kuasa pihak tertentu. Peperangan sengaja dibuat untuk memasarkan produk senjata api. Lalu, mungkinkah wabah dalam bentuk apapun di masyarakat juga sengaja dibuat untuk keuntungan bisnis? Wallahu a'lam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar