Rabu, 24 Januari 2018

GADAI DAN UTANG_060409

1.      GADAI

Pengertian Rahn (Pegadaian) secara akar kata berasal dari kata gadai yang berarti jaminan (collateral/borg). Dengan adanya tambahan sufik dan prefik pe-an maka pegadaian dimaknai sebagai suatu aktivitas perjanjian (akad) pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang . Dalam perspektif hukum Islam, gadai merupakan salah satu kontrak yang identik dengan sebutan rahn. Kata rahn secara etimologis berasal dari masdar kata rahana-yarhanu-rahnan. Sedangkan secara terminologi syariat, rahn dimaknai penahanan terhadap suatu aset dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut . Karakteristik yang umum dari akad rahn ini adalah tipikal trust, bahwa atas apa yang diberikan oleh pihak penerima gadai (murtahin) kepada penggadai (rahin) tersebut adalah hutang bukan penukar atas aset yang digadaikan .

 

Dasar Hukum Gadai (Rahn / Borg)

Rahn diaplikasikan berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah yang kemudian ditindaklanjuti oleh para Ulama dengan sejumlah analogi (qiyas) dan beberapa regulasi oleh Pemerintah. Al-Qur’an dalam salah satu redaksinya mensyariatkan tentang jaminan (rahn) sebagai berikut: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Q.S. Al-Baqarah (2):283. Rasulullah SAW sendiri dalam beberapa hadits dikabarkan mempraktekkan akad ini di dalam hidup beliau. Hadits yang paling populer diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah r.a sebagai berikut: Rasulullah membeli makanan pada seorang Yahudi secara kredit dan menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi tersebut (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim). Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. (HR Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai).

Landasan ini kemudian dikukuhkan dalam Fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn diperbolehkan sesuai ketentuan-ketentuan yang termaktub di dalam fatwa DSN tersebut.

 

Syarat dan Rukun Gadai (Rahn)

Adapun guna memenuhi keabsahan transaksi yang akan disepakati maka perlu adanya pemenuhan rukun dari akad transaksi rahn tersebut, yang meliputi :

1. Sighat serah terima (ijab qabul)

2. Orang yang berakad (aqidain)

3. Harta yang digadaikan (marhun)

4. Pinjaman (marhun bih)

 Adapun para Ulama mensyaratkan hutang tersebut agar dapat dijadikan dasar gadai adalah: hutang yang tetap dan dapat dimanfaatkan, adanya kejelasan mengenai nominal dan tempo pelunasan. Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad rahn tersebut meliputi :

1. Akad

2. Marhun Bih (pinjaman)

3. Marhun (aset yang digadaikan)

4. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.

 Rahin dibebani upah jasa manajemen atas barang yang terdiri dari biaya asuransi, biaya penyimpanan, biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi. Syeikh Zainuddin Al-Malibary menyatakan bahwa seluruh aset yang dapat diperdagangkan maka dapat pula digadaikan selama tidak ada unsur-unsur yang dilarang oleh syariat (riba, gharar, tadlis dan moral hazard lainnya) . Dan apabila terjadi sengketa mengenai marhun bih (hutang) antara rahin dan murtahin maka pihak yang dimenangkan adalah rahin dengan dibawah sumpah. Sebaliknya apabila yang disengketakan adalah mengenai marhun maka ucapan yang terima adalah murtahin dengan dibawah sumpah, dan kedua pihak harus menghadirkan alat bukti yang kuat. Hal ini sesuai dengan tuntunan sunnah Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari . Al-Jazairi mengungkapkan bahwa marhun dapat saja dititipkan kepada kepada pihak ketiga yang dapat dipercaya selain murtahin, sebab yang terpenting dari marhun tersebut adalah unsur keamanan dan kridebilitas.

 Mekanisme Akad Gadai Syariah Mengacu pada pedoman konsep di atas, maka pada implementasinya gadai syariah mengembangkan akad-akad transaksi yang digunakan sebagai akad penyempurna, yaitu :

1. Akad gadai qard al-hasan

 2. Akad gadai Ijarah

 3. Akad gadai bai’ muqayyadah

 4. Akad gadai musyarakah amwal al-inan

 Dari pedoman tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut:

 Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak yang oleh Pegadaian setelah ditaksir dengan maksimum plafon pinjaman sebesar 90% dari nilai taksiran marhun. Kemudian marhun disimpan dengan tempat dan perawatan khusus. Akibat yang timbul dari proses tersebut adalah timbulnya biaya-biaya yang dibebankan kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya mampu membayar upah jasa simpanan marhun, maka Pegadaian Syariah akan melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual lelang. Selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil uang kelebihan, namun jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS .

 

 Berakhirnya Akad Rahn

 Akad rahn akan berakhir dengan beberapa ketentuan, antara lain :

1. Barang (agunan) telah diserahkan kembali kepada pemiliknya

2. Rahin telah melunasi hutangnya

3. Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahim

4. Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan pihak rahin

 Jika marhun kemudian mengalami kerusakan yang disebabkan oleh murtahin maka murtahin wajib mengganti marhun tersebut. Namun jika bukan disebabkan oleh murtahin maka tidak wajib menggantinya dan piutangnya tetap menjadi tanggungan rahin. Dan jika rahin meninggal atau mengalami pailit maka murtahin lebih berhak (preferen) atas marhun daripada semua kreditur. Apabila hasil penjualan marhun tidak mencukupi piutangnya, maka murtahin memiliki hak yang sama bersama para kreditur terhadap harta peninggalan rahin .


Kapan ar-rahn (gadai) menjadi keharusan?

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah keharusan Ar-Rahn. Apakah langsung seketika saat transaksi, ataukah setelah serah terima barang gadainya
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat.
[1]. Serah terima adalah menjadi syarat keharusan terjadinya Ar-Rahn. Demikian pendapat Madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam madzhab Ahmad bin Hambal serta madzhab Dzohiriyah.
Dan Ar-Rahn adalah transaksi penyerta yang memerlukan adanya penerimaan, sehingga perlu adanya serah terima (Al-Qabdh) seperti hutang. Juga karena hal itu adalah Rahn (Gadai) yang belum diserah terimakan maka tidak diharuskan menyerahkannya sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia. [Al Mughni 6/446]
[2]. Ar-Rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian bila pihak yang menggadaikan menolak menyerahkan barang gadainya maka ia pun dipaksa untuk menyerahkannya. Demikian pendapat madzhab Malikiyah dan riwayat dalam madzhab Al Hambaliyah.
Ar-Rahn adalah akad transaksi yang mengharuskan adanya serah terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti hal jual beli. Demikian juga menurut Imam Malik, bahwa serah terima hanyalah menjadi penyempurna Ar-Rahn dan bukan syarat sahnya.
Menurut Prof. DR. Abdullah Al Thoyyar, yang rajih, bahwasanya Ar-Rahn menjadi keharusan dengan adanya akad transaksi, karena hal itu dapat merealisasikan faidah Ar-Rahn, yaitu berupa pelunasan hutang dengannya atau dengan nilainya, ketika (hutangnya) tidak mampu dilunasi.

Kapan serah terima ar-rahn dianggap sah?

Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan seperti rumah dan tanah, Maka disepakati serah terimanya dengan mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.
Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan ditimbang pada takaran. Bila barang timbangan, maka serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung, bila barangnya dapat dihitung. Serta dilakukan pengukuran, bila barangnya berupa barang yang diukur.
Namun bila barang gadai tersebut berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan, dalam hal ini perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya. Ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak yang menggadaikannya, sedangkan murtahin dapat mengambilnya.

 

2.      UTANG

 

Hukum Utang dalam padangan Islam

Dalam penyelengaraan utang, syariat telah menetapkan bagaimana berutang yang menimbulkan kebaikan bagi masyarakat. Dari Rafi’ berkata, Nabi saw meminjam lembu muda, kemudian Nabi saw menerima unta yang bagus, lalu beliau menyuruhku melunasi  utang lembu mudanya  kepada orang itu. Aku berkata :Aku tidak mendapati pada unta  itu selain  unta yang ke empat  kakinya bagus-bagus. Beliau  bersabda berikan saja ia kepadanya, sebab sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling baik  ketika melunasi utangnnya.
Hadist ini menunjukkan bahwa siapa saja boleh berutang asal mendatangkan kebaikan, tidak mengakibatkan kerusakan. Menurut Abdurahman  al-Maliki dalam bukunya  as-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mustla yang di diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Politik Ekonomi Islam mengatakan bahwa utang bagi individu hukumnya mubah, artinya utang boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan oleh seorang muslim. Sebab dalil masalah utang bersifat  umum tidak terdapat dalil yang mengkhususkan sehingga tetap pada keumumannya. Apabila menimbulkan kerusakkan maka hukumnya haram sesuai dengan kaidah fikih idzaa hashala  dzararun min fardi min afraadil mubai yumnaghu dzalika fardhu, yang maknanya apabila terjadi  bahaya  (kerusahan) akibat bagian di antara satu satuan  yang mubah, maka satu itu  saja yang dilarang)
            Berbeda untuk utang negara, dalam terminologi  Islam utang luar negeri termasuk perkara mubah dalam hal-hal khusus. Jika negara mengalami masalah berhubungan dengan kewajiban yang  dikeluarkan tidak dapat ditangguhkan akibat untuk memenuhi pengeluaran rutin, misalnya  gaji untuk pegawai negeri dan militer, dan masalah-masalah darurat, seperti adanya bencana alam atau kecelakaan  maka wajib bagi negara untuk menyediakan dana, bila dana tidak ada maka hukumnya mubah untuk utang kepada negara lain. Hal ini atas pertimbangan tidak terpenuhinya hak pegawai negeri dan militer, penanganan korban  bencana dengan baik dan lain sebagainya akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah bagi masyarakat dan negara.
            Selain karena faktor pengeluaran rutin dan pengeluaran darurat, negara tidak boleh berutang dari pihak kedua, hukumnya tidak mubah lagi . Pengadaan proyek-proyek  infrastruktur, seperti, jalan, jembatan, pembangunan sekolah atau rumah sakit dan seterusnya. Bila memang negara tidak mempunyai dana  untuk menyediakan fasilias tersebut, pedanaan sepenuhnya dapat ditarik dari rakyat melalui pajak, tetapi jika fasilitas tersebut memang sudah tersedia maka tidak wajib negara menarik pajak dari rakyat. Dan kewajiban untuk menyediakan faslitas tersebut bisa bersifat sementara dan penarikannya pun didasarkan atas kemampuan masyarakat perindividu
            Negara mempunyai sumber pendapatan yang telah ditentukan oleh syara, yang terdiri dari fai, jizyah, kharaj, dan 1/5 dari rikasz. Harta ini  layak dimiliki oleh kaum muslimin  dan wajib diambil  terus menerus, baik  dibutuhkan atau  pun tidak sebab nash-nash  yang datang wajib  diperolehnya secara terus menerus. Setiap harta  yang wajib dibelanjakan  untuk kepentingan-kepentingan kaum muslimin, maka merupakan  hak Baitul Mal, Baitul mal berhak atas-harta-harta ini. Harta yang wajib dibelanjakan  untuk kepentingan-kepentingan kaum muslimin termasuk harta  yang wajib  dikuasai Baitul Mal dan harta yang digunakan  untuk kepentingan-kepentingan kaum muslimin berasal dari sumber  pendapatan ini. Inilah garis besar tentang sumber-sumber pendapatan Baitul Mal  yang harus diterima  negara dan pengeluaran-pengeluaran yang wajib  dikeluarkan negara.
Setiap harta yang berhak dimiliki kaum muslimin dan syara menentukan pemiliknya maka termasuk harta Baitul Mal, misalnya zakat. Baitul Mal hanya sebagai tempat menyimpanan, kemudian dibelanjakan kepada mereka yang telah ditentukan  oleh syara sebagai pemiliknya. Harta-harta ini tidak terkategori sebagai sumber-sumber pedapatan negara dan  tidak dikeluarkan untuk kepentingan-kepentingan semua  kaum muslimin, sebab syara telah menentukan pemilik dalam  delapan golongan sebagaimana syara telah  menentukan harta-harta  yang diperolehnya, sehingga tidak boleh diambil  dari selain harta-harta  yang telah ditentukan oleh nash dan tidak boleh diberikan kepada selain kelompok-kelompok yang telah ditentukan oleh syara
            Bila dikuatirkan tidak tersedianya pemasukan untuk kebutuhan rutin dan menimbulkan kerusahakan maka negara  boleh melakukan  pemungutan pajak demi untuk memenuhi keberlangsungan pembangunan, negarapun boleh utang tetapi utang disesuaikan dengan  perkirakan yang dihasilkan oleh pajak, sehingga utang dapat dilunasi atas pemungutan pajak tersebut. Ini yang membedakan antara individu dan negara menyangkut utang, dimana bagi individu utang adalah mubah, kecuali  berdampak pada kerusakan. Sedangkan negara  mubah dalam suatu keadaan saja.  Apabila Baitul Mal tidak punya harta, dan kepentingan yang mengharuskan  negara hendak  berutang adalah  termasuk perkara  yang menjadi tanggung jawab  kaum muslimin, dan apabila ditunda dikuatirkan  akan menjadi kerusakan, maka dalam keadaan ini saja negara boleh berutang, sedangkan untuk kepentingan selain negara tidak boleh utang secara mutlak

Dampak utang dalam Islam
            Utang diperboleh dalam Islam hanya karena alasan untuk menjaga kesejahteraan (maslahat) dan keadilan (adl), oleh karena bila ada pengeluaran pada anggaran belanja rutin, mubah hukumnya bagi negara untuk utang. Bila rakyat tidak mendapatkan pendapatan dari pengeluaran rutin negara maka mempengaruhi daya beli rakyat dan ini akan mepengaruhi output produksi sehingga pada gilirannya akan menurunkan tingkat investasi. Bila tingkat investasi terus menurun maka semakin rendah pula kesejahteraan rakyat di negara tersebut.
            Dalam konsep Islam tidak diperbolehkan negara berutang karena alasan untuk menyediakan infrastruktur, akan mempengaruhi, satu meningkatnya tanggung jawab rakyat terhadap negara, dan tanggung jawab negara terhadap rakyat, sebab persediaan infrastruktur tergantung dari besar prosentasi pajak yang dikeluarkan rakyat.  Mengakibatkan kontrol  antara negara dan rakyat dalam mengelola dana sesuai dengan spesifikasi kebutuhan yang harus di penuhi oleh keduanya. Kedua, menimbulkan kemandirian, bila tidak ada campur tangan pihak asing  maka negara tersebut bertanggung jawab penuh atas masa depan rakyat. Sehingga negara akan lebih baik dalam menentukan kebijakan-kebijakan jangka panjang dimana  lebih banyak ditentukan oleh fenomena  kehidupan negara di saat  ini. Ketiga, kebijakan lebih integratif, negara yang tidak punya utang akan mempengaruhi kebebasan negara tersebut dalam mengelola negara, kepentingan rakyat di negara akan banyak terakomodir oleh kebijakan pemerintah., Keempat, menghindari kerugian negara akibat karena kebijakan yang dikeluarkan secara sepihak oleh negara kreditur, ataupun kebocoran utang karena korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum pejabat pemerintah
            Bila suatu negara  melegitimasi keberadaan utang menjadi bagian yang terpisahkan dalam pembangunan—sehingga kesan yang terjadi tanpa utang negara bangkrut. Negara seperti ini lebih banyak di pengaruhi paradigma pembangunan yang mengandaikan  kapital sebagai satu-satunya menyangga mekanisme pasar. Hal ini menjadikan perhatian utama pemerintah lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur yang mempengaruhi konsistensi produksi, tanpa memperhitungkan besarnya biaya sosial (social cost) yang dikeluarkan atas semua itu. Yang jelas saat ini, dampak utang bagi negara kita adalah semakin turunnya pengaruh pemerintah dalam menentukan kesejahteraan rakyat dan yang jelas korupsi tidak semakin turun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam Selamat Datang

 Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh Selamat datang dan terimakasih kepada teman-teman yang sudah mampir ke laman rumahdialekis. ...