1. GADAI
Pengertian Rahn (Pegadaian) secara akar kata berasal dari kata gadai yang berarti jaminan (collateral/borg). Dengan adanya tambahan sufik dan prefik pe-an maka pegadaian dimaknai sebagai suatu aktivitas perjanjian (akad) pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang . Dalam perspektif hukum Islam, gadai merupakan salah satu kontrak yang identik dengan sebutan rahn. Kata rahn secara etimologis berasal dari masdar kata rahana-yarhanu-rahnan. Sedangkan secara terminologi syariat, rahn dimaknai penahanan terhadap suatu aset dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut . Karakteristik yang umum dari akad rahn ini adalah tipikal trust, bahwa atas apa yang diberikan oleh pihak penerima gadai (murtahin) kepada penggadai (rahin) tersebut adalah hutang bukan penukar atas aset yang digadaikan .
Dasar Hukum Gadai (Rahn / Borg)
Rahn diaplikasikan berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah yang kemudian ditindaklanjuti oleh para Ulama dengan sejumlah analogi (qiyas) dan beberapa regulasi oleh Pemerintah. Al-Qur’an dalam salah satu redaksinya mensyariatkan tentang jaminan (rahn) sebagai berikut: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Q.S. Al-Baqarah (2):283. Rasulullah SAW sendiri dalam beberapa hadits dikabarkan mempraktekkan akad ini di dalam hidup beliau. Hadits yang paling populer diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah r.a sebagai berikut: Rasulullah membeli makanan pada seorang Yahudi secara kredit dan menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi tersebut (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim). Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. (HR Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai).
Landasan ini kemudian dikukuhkan dalam Fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn diperbolehkan sesuai ketentuan-ketentuan yang termaktub di dalam fatwa DSN tersebut.
Syarat dan Rukun Gadai (Rahn)
Adapun guna memenuhi keabsahan transaksi yang akan disepakati maka perlu adanya pemenuhan rukun dari akad transaksi rahn tersebut, yang meliputi :
1. Sighat serah terima (ijab qabul)
2. Orang yang berakad (aqidain)
3. Harta yang digadaikan (marhun)
4. Pinjaman (marhun bih)
Adapun para Ulama mensyaratkan hutang tersebut agar dapat dijadikan dasar gadai adalah: hutang yang tetap dan dapat dimanfaatkan, adanya kejelasan mengenai nominal dan tempo pelunasan. Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad rahn tersebut meliputi :
1. Akad
2. Marhun Bih (pinjaman)
3. Marhun (aset yang digadaikan)
4. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
Rahin dibebani upah jasa manajemen atas barang yang terdiri dari biaya asuransi, biaya penyimpanan, biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi. Syeikh Zainuddin Al-Malibary menyatakan bahwa seluruh aset yang dapat diperdagangkan maka dapat pula digadaikan selama tidak ada unsur-unsur yang dilarang oleh syariat (riba, gharar, tadlis dan moral hazard lainnya) . Dan apabila terjadi sengketa mengenai marhun bih (hutang) antara rahin dan murtahin maka pihak yang dimenangkan adalah rahin dengan dibawah sumpah. Sebaliknya apabila yang disengketakan adalah mengenai marhun maka ucapan yang terima adalah murtahin dengan dibawah sumpah, dan kedua pihak harus menghadirkan alat bukti yang kuat. Hal ini sesuai dengan tuntunan sunnah Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari . Al-Jazairi mengungkapkan bahwa marhun dapat saja dititipkan kepada kepada pihak ketiga yang dapat dipercaya selain murtahin, sebab yang terpenting dari marhun tersebut adalah unsur keamanan dan kridebilitas.
Mekanisme Akad Gadai Syariah Mengacu pada pedoman konsep di atas, maka pada implementasinya gadai syariah mengembangkan akad-akad transaksi yang digunakan sebagai akad penyempurna, yaitu :
1. Akad gadai qard al-hasan
2. Akad gadai Ijarah
3. Akad gadai bai’ muqayyadah
4. Akad gadai musyarakah amwal al-inan
Dari pedoman tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut:
Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak yang oleh Pegadaian setelah ditaksir dengan maksimum plafon pinjaman sebesar 90% dari nilai taksiran marhun. Kemudian marhun disimpan dengan tempat dan perawatan khusus. Akibat yang timbul dari proses tersebut adalah timbulnya biaya-biaya yang dibebankan kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya mampu membayar upah jasa simpanan marhun, maka Pegadaian Syariah akan melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual lelang. Selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil uang kelebihan, namun jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS .
Berakhirnya Akad Rahn
Akad rahn akan berakhir dengan beberapa ketentuan, antara lain :
1. Barang (agunan) telah diserahkan kembali kepada pemiliknya
2. Rahin telah melunasi hutangnya
3. Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahim
4. Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan pihak rahin
Jika marhun kemudian mengalami kerusakan yang disebabkan oleh murtahin maka murtahin wajib mengganti marhun tersebut. Namun jika bukan disebabkan oleh murtahin maka tidak wajib menggantinya dan piutangnya tetap menjadi tanggungan rahin. Dan jika rahin meninggal atau mengalami pailit maka murtahin lebih berhak (preferen) atas marhun daripada semua kreditur. Apabila hasil penjualan marhun tidak mencukupi piutangnya, maka murtahin memiliki hak yang sama bersama para kreditur terhadap harta peninggalan rahin .
Kapan ar-rahn (gadai) menjadi keharusan?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah keharusan Ar-Rahn. Apakah langsung seketika saat transaksi, ataukah setelah serah terima barang gadainya
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat.
[1]. Serah terima adalah menjadi syarat keharusan
terjadinya Ar-Rahn. Demikian pendapat Madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat
dalam madzhab Ahmad bin Hambal serta madzhab Dzohiriyah.
Dan Ar-Rahn adalah transaksi penyerta yang
memerlukan adanya penerimaan, sehingga perlu adanya serah terima (Al-Qabdh)
seperti hutang. Juga karena hal itu adalah Rahn (Gadai) yang belum diserah terimakan
maka tidak diharuskan menyerahkannya sebagaimana bila yang menggadaikannya
meninggal dunia. [Al Mughni 6/446]
[2]. Ar-Rahn langsung terjadi setelah selesai
transaksi. Dengan demikian bila pihak yang menggadaikan menolak menyerahkan
barang gadainya maka ia pun dipaksa untuk menyerahkannya. Demikian pendapat
madzhab Malikiyah dan riwayat dalam madzhab Al Hambaliyah.
Ar-Rahn adalah akad transaksi yang mengharuskan
adanya serah terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti hal jual
beli. Demikian juga menurut Imam Malik, bahwa serah terima hanyalah menjadi
penyempurna Ar-Rahn dan bukan syarat sahnya.
Menurut Prof. DR. Abdullah Al Thoyyar, yang rajih,
bahwasanya Ar-Rahn menjadi keharusan dengan adanya akad transaksi, karena hal
itu dapat merealisasikan faidah Ar-Rahn, yaitu berupa pelunasan hutang
dengannya atau dengan nilainya, ketika (hutangnya) tidak mampu dilunasi.
Kapan serah terima ar-rahn dianggap sah?
Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan seperti rumah dan tanah, Maka disepakati serah terimanya dengan mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.
Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan.
Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar
pada takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan
ditimbang pada takaran. Bila barang timbangan, maka serah terimanya dengan
ditimbang dan dihitung, bila barangnya dapat dihitung. Serta dilakukan
pengukuran, bila barangnya berupa barang yang diukur.
Namun bila barang gadai tersebut berupa tumpukan
bahan makanan yang dijual secara tumpukan, dalam hal ini perselisihan pendapat
tantang cara serah terimanya. Ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya
dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak
yang menggadaikannya, sedangkan murtahin dapat mengambilnya.
2. UTANG
Hukum Utang dalam padangan Islam
Dalam penyelengaraan utang, syariat telah menetapkan bagaimana
berutang yang menimbulkan kebaikan bagi masyarakat. Dari Rafi’ berkata, Nabi saw meminjam lembu muda, kemudian Nabi
saw menerima unta yang bagus, lalu beliau menyuruhku melunasi utang lembu mudanya kepada orang itu. Aku berkata :Aku tidak
mendapati pada unta itu selain unta yang ke empat kakinya bagus-bagus. Beliau bersabda berikan saja ia kepadanya, sebab
sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling baik ketika melunasi utangnnya.
Hadist ini
menunjukkan bahwa siapa saja boleh berutang asal mendatangkan kebaikan, tidak
mengakibatkan kerusakan. Menurut Abdurahman
al-Maliki dalam bukunya as-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mustla yang
di diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Politik Ekonomi Islam
mengatakan bahwa utang bagi individu hukumnya mubah, artinya utang boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan oleh
seorang muslim. Sebab dalil masalah utang bersifat umum tidak terdapat dalil yang mengkhususkan
sehingga tetap pada keumumannya. Apabila menimbulkan kerusakkan maka hukumnya
haram sesuai dengan kaidah fikih idzaa
hashala dzararun min fardi min afraadil
mubai yumnaghu dzalika fardhu, yang maknanya apabila terjadi bahaya
(kerusahan) akibat bagian di antara satu satuan yang mubah, maka satu itu saja yang dilarang)
Berbeda untuk utang negara, dalam
terminologi Islam utang luar negeri
termasuk perkara mubah dalam hal-hal
khusus. Jika negara mengalami masalah berhubungan dengan kewajiban yang dikeluarkan tidak dapat ditangguhkan akibat
untuk memenuhi pengeluaran rutin, misalnya
gaji untuk pegawai negeri dan militer, dan masalah-masalah darurat,
seperti adanya bencana alam atau kecelakaan
maka wajib bagi negara untuk menyediakan dana, bila dana tidak ada maka
hukumnya mubah untuk utang kepada
negara lain. Hal ini atas pertimbangan tidak terpenuhinya hak pegawai negeri
dan militer, penanganan korban bencana
dengan baik dan lain sebagainya akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah
bagi masyarakat dan negara.
Selain
karena faktor pengeluaran rutin dan pengeluaran darurat, negara tidak boleh
berutang dari pihak kedua, hukumnya tidak mubah
lagi . Pengadaan proyek-proyek
infrastruktur, seperti, jalan, jembatan, pembangunan sekolah atau rumah
sakit dan seterusnya. Bila memang negara tidak mempunyai dana untuk menyediakan fasilias tersebut, pedanaan
sepenuhnya dapat ditarik dari rakyat melalui pajak, tetapi jika fasilitas
tersebut memang sudah tersedia maka tidak wajib negara menarik pajak dari
rakyat. Dan kewajiban untuk menyediakan faslitas tersebut bisa bersifat
sementara dan penarikannya pun didasarkan atas kemampuan masyarakat perindividu
Negara
mempunyai sumber pendapatan yang telah ditentukan oleh syara, yang terdiri dari fai,
jizyah, kharaj, dan 1/5 dari rikasz.
Harta ini layak dimiliki oleh kaum
muslimin dan wajib diambil terus menerus, baik dibutuhkan atau pun tidak sebab nash-nash yang datang
wajib diperolehnya secara terus menerus.
Setiap harta yang wajib
dibelanjakan untuk
kepentingan-kepentingan kaum muslimin, maka merupakan hak Baitul
Mal, Baitul mal berhak atas-harta-harta
ini. Harta yang wajib dibelanjakan untuk
kepentingan-kepentingan kaum muslimin termasuk harta yang wajib
dikuasai Baitul Mal dan harta
yang digunakan untuk
kepentingan-kepentingan kaum muslimin berasal dari sumber pendapatan ini. Inilah garis besar tentang
sumber-sumber pendapatan Baitul Mal yang harus diterima negara dan pengeluaran-pengeluaran yang
wajib dikeluarkan negara.
Setiap harta yang berhak dimiliki kaum
muslimin dan syara menentukan
pemiliknya maka termasuk harta Baitul
Mal, misalnya zakat. Baitul Mal hanya sebagai tempat
menyimpanan, kemudian dibelanjakan kepada mereka yang telah ditentukan oleh syara
sebagai pemiliknya. Harta-harta ini tidak terkategori sebagai sumber-sumber
pedapatan negara dan tidak dikeluarkan
untuk kepentingan-kepentingan semua kaum
muslimin, sebab syara telah
menentukan pemilik dalam delapan
golongan sebagaimana syara telah menentukan harta-harta yang diperolehnya, sehingga tidak boleh
diambil dari selain harta-harta yang telah ditentukan oleh nash dan tidak boleh diberikan kepada
selain kelompok-kelompok yang telah ditentukan oleh syara
Bila
dikuatirkan tidak tersedianya pemasukan untuk kebutuhan rutin dan menimbulkan
kerusahakan maka negara boleh
melakukan pemungutan pajak demi untuk
memenuhi keberlangsungan pembangunan, negarapun boleh utang tetapi utang
disesuaikan dengan perkirakan yang
dihasilkan oleh pajak, sehingga utang dapat dilunasi atas pemungutan pajak
tersebut. Ini yang membedakan antara individu dan negara menyangkut utang,
dimana bagi individu utang adalah mubah,
kecuali berdampak pada kerusakan.
Sedangkan negara mubah dalam suatu keadaan saja.
Apabila Baitul Mal tidak punya
harta, dan kepentingan yang mengharuskan
negara hendak berutang
adalah termasuk perkara yang menjadi tanggung jawab kaum muslimin, dan apabila ditunda
dikuatirkan akan menjadi kerusakan, maka
dalam keadaan ini saja negara boleh berutang, sedangkan untuk kepentingan
selain negara tidak boleh utang secara mutlak
Dampak utang dalam Islam
Utang
diperboleh dalam Islam hanya karena alasan untuk menjaga kesejahteraan (maslahat) dan keadilan (adl), oleh karena bila ada pengeluaran
pada anggaran belanja rutin, mubah hukumnya
bagi negara untuk utang. Bila rakyat tidak mendapatkan pendapatan dari pengeluaran
rutin negara maka mempengaruhi daya beli rakyat dan ini akan mepengaruhi output
produksi sehingga pada gilirannya akan menurunkan tingkat investasi. Bila
tingkat investasi terus menurun maka semakin rendah pula kesejahteraan rakyat
di negara tersebut.
Dalam
konsep Islam tidak diperbolehkan negara berutang karena alasan untuk
menyediakan infrastruktur, akan mempengaruhi, satu meningkatnya tanggung jawab rakyat terhadap negara, dan
tanggung jawab negara terhadap rakyat, sebab persediaan infrastruktur
tergantung dari besar prosentasi pajak yang dikeluarkan rakyat. Mengakibatkan kontrol antara negara dan rakyat dalam mengelola dana
sesuai dengan spesifikasi kebutuhan yang harus di penuhi oleh keduanya. Kedua, menimbulkan kemandirian, bila tidak ada
campur tangan pihak asing maka negara
tersebut bertanggung jawab penuh atas masa depan rakyat. Sehingga negara akan
lebih baik dalam menentukan kebijakan-kebijakan jangka panjang dimana lebih banyak ditentukan oleh fenomena kehidupan negara di saat ini. Ketiga,
kebijakan lebih integratif, negara yang tidak punya utang akan mempengaruhi
kebebasan negara tersebut dalam mengelola negara, kepentingan rakyat di negara
akan banyak terakomodir oleh kebijakan pemerintah., Keempat, menghindari kerugian negara akibat karena kebijakan yang
dikeluarkan secara sepihak oleh negara kreditur, ataupun kebocoran utang karena
korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum pejabat pemerintah
Bila
suatu negara melegitimasi keberadaan
utang menjadi bagian yang terpisahkan dalam pembangunan—sehingga kesan yang
terjadi tanpa utang negara bangkrut. Negara seperti ini lebih banyak di
pengaruhi paradigma pembangunan yang mengandaikan kapital sebagai satu-satunya menyangga
mekanisme pasar. Hal ini menjadikan perhatian utama pemerintah lebih banyak
berkaitan dengan unsur-unsur yang mempengaruhi konsistensi produksi, tanpa
memperhitungkan besarnya biaya sosial (social
cost) yang dikeluarkan atas semua itu. Yang jelas saat ini, dampak utang
bagi negara kita adalah semakin turunnya pengaruh pemerintah dalam menentukan
kesejahteraan rakyat dan yang jelas korupsi tidak semakin turun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar