Selasa, 17 April 2018

MANAJEMEN RISIKO: KONSEP DASAR DAN TEKNIS_040414


A.  Berbagai Risiko Institusi Keuangan
Risiko dapat dipahami sebagai variabilitas atau volatilitas hasil-hasil yang tidak diinginkan dan munculnya ketika ada satu kemungkinan lebih dari satu hasil dan hasil yang paling pokok tidak diketahui. Ada berbagai cara mengelompokkan risiko. Ada yang membedakan risiko ke dalam risiko bisnis dan risiko keuangan, dan  ada juga yang membedakannya ke dalam risiko sistematis dan risiko tidak sistematis. Sementara itu, Oldfield dan Santomero membedakan risiko menjadi tiga jenis, yaitu (1) risiko yang bisa dieliminasi, (2) risiko yang dapat dipindahkan kepada yang lain, dan (3) risiko yang dapat dikelola oleh institusi (Khan dan Ahmed, 2001: 25-26).
Industri keuangan sendiri (bank) menghadapi risiko yang terbagi ke dalam dua kategori, yaitu risiko keuangan yang terdiri dari risiko pasar dan risiko kredit, dan risiko non-keuangan yang terdiri dari risiko operasional, regulatoris, dan hukum (Khan dan Ahmed, 2001: 27).
1.    Risiko Pasar merupakan risiko yang muncul dalam berbagai instrument dan asset yang diperdagangkan di pasar tertentu.
2.    Risiko Suku Bunga merupakan keterbukaan kondisi keuangan bank terhadap pergerakan suku bunga.
3.    Risiko Kredit adalah risiko ketika pihak peminjam gagal memnuhi kewajibannya tepat waktu dan tepat jumlah sesuai kesepakatan. Ketika peminjam tidak mampu memenhui kewajibannya pada waktu yang telah ditentukan, maka akan menyebabkan loan credit risk. Sementara itu, ketika peminjam tidak mampu atau tidak ingin mengakhiri kewajiban-kewajiban kontraktual dalam masa kontrak, maka akan menyebabkan trading book credit risk.
4.    Risiko Likuiditas adalah risiko yang muncul karena likuiditas yang tidak cukup untuk kebutuhan operasional normal.
5.    Risiko Operasional merupakan konsep yang tidak pasti dan barangkali timbul dari kesalahan atau kecelakaan manusia dan tekhnis.
6.    Risiko Hukum berhubungan dengan tidak mengikatnya kontrak keuangan (Khan dan Ahmed, 2001: 27-28).
B.  Manajemen Risiko: Latar Belakang dan Evolusi
Penelitian resmi terkait manajemen risiko telah dimulai pertengahan akhir abad lalu. Temuan Markowitz (1959) mengindikasikan bahwa pemilihan portofolio merupakan persoalan maksimalisasi return yang diharapkan dan meminimalisir risiko. Dia juga mengemukakan tentang komponen-komponen risiko sistematis dan tidak sistematis. Risiko tidak sistematis dapat dikurangi lewat diversifikasi asset, sedangkan risiko sistematis harus ditanggung oleh investor. Model Markowitz ini mengalami kelemahan ketika dihadapkan pada banyak asset terlibat (Khan dan Ahmed, 2001: 28-29).
Tahun 1964, Capital Asset Pricing Model (CAPM)-nya Sharpe memperkenalkan konsep risiko sistematis dan residual. Risiko residu bisa didiversifikasi, beta mengukur sensitivitas portofolio terhadap lingkaran bisnis. Ketergantungan CAPM terhadap indeks tunggal untuk menjelaskan risiko yang melekat pada aset terlalu sederhana (Khan dan Ahmed, 2001: 29).
Tahun 1976, Ross mengajukan Arbitrage Pricing Theory yang mengasumsikan bahwa banyak faktor yang memperngaruhi tingkat pengembalian sebuah aset. Implikasi penggunaan Model Banyak Faktor ini adalah bahwa total risiko merupakan jumlah beragam faktor yang berhubungan dengan risiko dan risiko residu. Meskipun model ini diterima luas, namun tidak terdapat kesepakatan terkait faktor-faktor yang mempengaruhi risiko sebuah aset atau bagaimana risiko tersebut diestimasi (Khan dan Ahmed, 2001: 29).
Proses dan strategi manajemen risiko modern mengadopsi bentuk teori-teori Markowitz, Shape dan Ross tersebut dan mengadopsi banyak instrumen untuk menganalisis risiko. Pada dasarnya ada dua pendekatan untuk mengukur keterbukaan risiko yang dihadapi lembaga keuangan. Pertama adalah dengan mengukur risiko lewat jalan segmentasi. Kedua adalah dengan mengukur keterbukaan risiko lewat jalan konsolidasi (Khan dan Ahmed, 2001: 29-30).
C.  Manajemen Risiko: Proses dan Sistem
1.    Menciptakan lingkungan manajemen risiko yang tepat dan prosedur serta kebijakan yang terukur
Pada tahapan ini seluruh tujuan dan strategi bank terhadap risiko dan kebijakan manajemen risiko. Dewan direksi bertanggung jawab menjelaskan tujuan kebijakan dan strategi keseluruhan manajemen risiko lembaga keuangan. Dewan direksi juga harus memastikan bahwa manajemen mengambil tindakan yang penting untuk mengidentifikasi, mengukur, memonitor dan mengendalikan risiko-risiko tersebut (Khan dan Ahmed, 2001: 30).
Manajemen senior bertanggung jawab melaksanakan spesifikasi yang telah disetujui oleh dewan direksi tersebut lewat penetapan kebijakan dan prosedur yang akan digunakan untuk mengatur risiko. Hal ini mencakup proses review manajemen risiko, batas penangan risiko yang tepat, sistem pengukuran risiko yang cukup, sistem pelaporan komprehensif dan pengendalian internal yang efektif (Khan dan Ahmed, 2001: 30-31).
2.    Mempertahankan proses pengukuran, mitigasi dan monitoring manajemen risiko yang tepat
Bank harus memiliki sistem informasi reguler untuk mengkur, memonitor, mengendalikan dan melaporkan berbagai kemungkinan risiko. Bank juga bisa menggunakan sumber-sumber eksternal untuk menekan risiko misalnya dengan menggunakan reting kredit atau kriteria penanganan risiko supervisori seperti CAMEL (Khan dan Ahmed, 2001: 31).
3.    Kontrol internal yang tepat
Bank harus memiliki pengendalian internal untuk memastikan bahwa semua kebijakan dijalankan. Sebuah sistem pengendalian yang efektif mencakup proses yang cukup untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi berbagai jenis risiko dan memiliki sistem informasi yang cukup sebagai pendukung.
Bagian penting pengendalian internal adalah memastikan pemisahan tugas-tugas mereka yang mengatur, memonitor dan mengendalikan risiko (Khan dan Ahmed, 2001: 31).
D.  Proses Manajemen terhadap Risiko Tertentu
1.    Manajemen risiko kredit
Manajemen senior bank bertanggung jawab mengembangkan prosedur tertulis yang menunjukkan strategi keseluruhan dan memastikan pelaksanaannya. Prosedur tersebut mencakup kebijakan-kebijakan untuk mengidentifakasi, mengukur, memonitor dan mengendalikan risiko kredit.
Bank harus memiliki sebuah sistem untuk administrasi beragam portofolio yang menanggung risiko kredit. Bank harus beroperasi berdasarkan kriteria kredit yang baik agar bisa melakukan penanganan yang komprehensif terhadap risiko yang ditimbulakan oleh peminjam atau pihak ketiga.
Bank harus mengidentifiakasi dan mengatur risiko kredit dengan cara hati-hati mereview karakteristik risiko aset atau aktifitas.
Bank harus memiliki satu sistem untuk memonitor kredit individu termasuk menentukan kecukupan pengembalian. Bank harus mengembangkan sistem peringkat risiko internal untuk mengatur risiko kredit. Bank juga harus memiliki laporan kredit berjalan independen untuk dewan direksi dan manajemen senior (Khan dan Ahmed, 2001: 33-34).

2.    Manajemen risiko suku bunga
Bank harus mempertahankan proses review manajemen risiko suku bunga, batasan penangan risiko yang tepat, sistem pengukuran risiko yang tepat, sistem pelaporan risiko suku bunga yang komprehensif dan pengendalian internal yang efektif. Bank harus secara jelas menentukan kebijakan dan prosedur untuk membatasi dan mengendalikan risiko suku bunga dengan menentukan tanggung jawab akuntabilitas melalui keputusan manajemen risiko suku bunga dan menentukan instrumen yang tepat, strategi lindung nilai dan kesempatan pengambilalihan posisi.
Bank harus memiliki sistem manajemen risiko suku bunga yang mengukur dampak perubahan suku bunga terhadap pendapatan sekaligus nilai ekonomis. Bank harus mengembangkan sebuah sistem batasan suku bunga guna mengontrol dan memonitor risiko suku bunga.
Bank harus memiliki sistem kontrol internal yang efektif untuk risiko suku bunga yang mencakup proses identifikasi dan evaluasi risiko  dan sistem informasi pendukung (Khan dan Ahmed, 2001: 35-36).
3.    Manajemen risiko likuiditas
Risiko likuiditas muncul ketika terdapat selisih antara likuiditas dan profitabilitas dan ketidaksesusian antara permintaan dan penawaaran aset lancar. Keputusan manajemen likuiditas harus dilakukan dengan memperhatikan seluruh wilayah pelayanan dan departemen bank.
Bank harus mengembangkan proses pengukuran dan pemonitoran kebutuhan dana netto denhgan memperhatikan aliran kas masuk dan keluar. Bank harus memiliki pngendalian internal yang tepat dalam proses manajemen risiko likuiditas serta sistem informasi yang layak (Khan dan Ahmed, 2001: 36-38).


4.    Manajemen risiko operasional
Bank perlu mengembangkan standar umum untuk mengidentifikasi dan mengatur risiko operasional yang mungkin muncul. Kompleksitas risiko operasional menyebabkan risiko ini sulit diukur. Kebanyakan teknik pengukuran risiko operasional hanya bersifat sederhana dan eksperimental.
Sumber-sumber risiko operasional beragam, sehingga perlu ditangani dengan jalan yang berbeda. Misalnya saja risiko yang muncul dari orang-orang yang terlibat dalam operasional memerlukan manajemen, monitor, dan pengendalian yang efektif (Khan dan Ahmed, 2001:38-39)  
E.  Manajemen Risiko dan Teknik Mitigasi
1.    Analisis GAP
Analisis ini merupakan alat manajemen risiko suku bunga berbasis neraca. Analisis ini fokus pada variabilitas potensial pendapatan bunga netto selama interval waktu tertentu.
2.    Analisis GAP Durasi
Analisis ini merupakan alat lain untuk mengukur risiko suku bunga dan mengatur pendapatan bunga yang diperoleh dengan memperhitungkan semua pemasukan dan pengeluaran kas individu.
3.    VaR
Value at Risk (VaR) adalah alat manajemen risiko terbaru. Alat ini mengindikasikan sebebrapa banyak sebuah perusahaan bisa kehilangan atau memberikan probabilitas untuk jangka waktu tertentu.
4.    RAROC
Risk Adjusted Rate of Return (RAROC) dikembangkan pada akhir tahun 1970-an yang mengukur risiko dengan memperhatikan risiko dan pengembalian asset dan aktivitas yang berbeda.
5.    Sekuritisasi
Sekuritisasi merupakan sebuah prosedur yang dilakukan dibawah sistem keuangan terstruktur  atau nota kredit. Sekuritisasi asset dan pinjaman bank merupakan alat untuk meningkatkan dana baru dan mengurangi risiko bank.
6.    Derivatif
Derivatif merupakan sebuah instrumen yang nilainya tergantung pada nilai yang lain. Kategori uatama dari derivatif adalan futures, option, dan kontrak swap.
7.    Swap suku bunga
Swap suku bunga membentuk hampir setengah dari nilai semua derivatif. Swap suku bunga ini digunakan untuk mengurangi suku bunga. Ada dua bentuk dasar swap suku bunga disini yaitu; pertama, yang paling sederhana yang melibatkan dua pihak dimana satu pihak memiliki instrumen utang tetap dan yang lain punya kewajiban suku bunga mengambang. Kedua, swap suku bunga dimana kedua pihak meningkatkan dana dengan tingkat yang berbeda-beda

8.    Derivatif Kredit
Derivatif kredit merupakan instrumen yang digunakan untuk mengatasi risiko kredit. Model ini melibatkan bank yang menemukan pihak ketiga yang bersedia menanggung kredit dengan imbalan fee, sementara bank mempertahankan asset dalam catatnnya.
F.   Lembaga Keuangan Islam: Sifat Dasar dan Risiko
Ada dua bentuk bank islam berdasarkan struktur assetnya. Pertama, Mudharabah dua tingkat yang menggantikan bunga dengan bagi hasil. Kedua, mudharabah satu tingkat dengan beragam instrumen investasi. Produk bank Islam mencakup instrumen dengan pendapatan tetap seperti murabahah, jual beli angsuran seperti salam atau istisna’ dan ijarah. Risiko dasar yang dihadapi bank Islam adalah menggunakan instrumen bagi hasil (Khan dan Ahmed, 2001: 50-51).
1.    Risiko dasar yang dihadapi lembaga keuangan Islam (Khan dan Ahmed, 2001: 51-53)
a.    Risiko kredit yang muncul berbentuk risiko pembayaran yang muncul ketika satu pihak sepakat membayar sejumlah uang atau menyerahkan aset tertenu sebelum memiliki uang atau aset tersebut.
b.    Risiko tolak ukur. Prubahan suku bunga pasar memberikan sejumlah risiko bagi pendapatan lembaga keuangan islam karena lembaga tersebut menggunakan suku bunga sebagai tolak ukur dalam menentukan harga instrumen keuangannya (murabahah).
c.    Risiko likuiditas muncul bisa dari kesulitan memperoleh kas dari biaya pemiinjaman atau bisa juga dari kesulitan menjual asset.
d.   Risiko operasional muncul ketika bank barangkali tidak memiliki profesional di bidangnya, kapasitas dan kapabilitas untuk menjalankan oprasi keangan islam.
e.    Risiko hukum berhubungan dengan dokumentasi dan landasan hukum. Hal ini terjadi karena tidak ada format standar untu kontrak beragam instrumen keuangan. Biasanya bank islam menyiapkan kontrak tersebut hanya berdasarkan pemahaman mereka terhadap syariah, hukum lokal dan kebutuhan.
f.     Risiko penarikan. Beragam tingkat pengembalian tabungan atau investasi memberikan ketidakpastian terkait nilai riil deposito. Menyediakan asset guna meminimaliris risiko kehilangan karena rendahnya tingkat pengembalian barangkali menjadi faktor penting keputusan panarikan oleh depositor.
g.    Risiko jaminan. Tingkat pengembalian dari bunga pasar juga menimbulkan risiko jaminan, ketika penabung/investor mengartikan rendahnya tingkat pengembalian sebagai pelanggaran kontrak investasi atau kesalahan manajemen dana pihak bank.
h.    Risiko komersial digantikan ini merupakan transfer risiko yang berhubungan denga deposito kepada pemegang ekuitas. Risiko ini meuncul ketika dibawah tekanan komersial bank memberikan sebagian keuntungan untuk membayar depositor guna mencegah penarikan karena tingkat pengembalin yang rendah.
2.    Risiko model pembiayaan lembaga keuangan Islam (Khan dan Ahmed, 2001: 54-55)
a.    Pembiayaan Murabahah
Risiko paling penting yang dialami nasabah dalam Murabahah adalah sifat dasar kontrak yang tidak pasti yang dapat menimbulkan persoalan hukum. Selain itu, risiko juga dapat muncul terkait keterlambatan pembayaran oleh nasabah yang mana bank tidak dapat menetapkan beban melebihi harga yang telah disepakati.
b.    Pembiayaan Salam
Risiko dalam salam adalah kegagalan memenuhi pesanan tepat waktu atau tepat spesifikasi dan biaya penyimpanan dan biaya lain yang dikeluarkan bank.
c.    Pembiayaan Istishna’
Risiko yang dihadapi bank suplyer sama dengan yang dihadapi risiko salam. Risiko terkait pembali adalah kegagalan membayar secara penuh tepat waktu. Jika kontrak istishna’ dianggap pilihan dan tidak mengikat maka risiko bank ketika supplier memilih untuk membatalkan kontrak. Jika pembeli diberi pilihan untuk membatalkan kontrak dan tidak menerima barang yang sudah dibuatkan, maka bank akan mendapat risiko tambahan.
d.   Pembiayaan Musyarakah-Mudharabah
Pembiayaan ini dipandang sebagai kredit dengan risiko yang sangat tinggi, alasannya karena; pertama tidak ada jaminan, kedua tingkat moral hazard yang tinggi dan ketiga kopetensi bank dalam evaluasi proyek dan teknik terkait  terbatas. Salah satu cara yang mungkin untuk mengurangi risiko pada pembiayaan berbasis bagi hasil adalah bank islam berfungsi sebagai bank universal.

Referensi:  Khan, Tariqullah dan Habib Ahmed, Risk management: an Analysis of Issues in Islamic Financial Industry, Occasional Paper, Jeddah (KT): 2001.

Rabu, 11 April 2018

ATURAN DAN KEBIJAKAN PERMODALAN BANK SYARIAH: KOORDINASI BI DAN OJK_120614


Pengantar
Bank sentral sebagai pilar stabilitas keuangan darimanakah asalnya dan apa fungsinya? Indonesia punya Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral dengan kedudukan, fungsi dan tugas layaknya bank sentral di negara-negara lain. Tapi kemudian muncul lembaga lain yang mengambil alih fungsi pengawasan BI. Lembaga yang mengambilalih fungsi pengawasan BI tersebut adalah OJK. Kenapa tugas pengawasan BI diambilalih OJK? Lantas apa yang akan terjadi jika fungsi BI diambilalih? Apakah BI tidak akan bermanfaat lagi bagi masyarakat?
Sistem keuangan di tanah air menganut dual sistem yaitu konvensional dan syariah. Begitu juga perbankan, ada Bank Konvensional dan Bank Syariah. Pada awalnya pengaturan dan pengawasan bank ini berada pada BI. Pengaturan dan pengawasan tersebut mencakup aspek permodalan dan operasional bank. Pada dasarnya tidak ada perbedaan aturan antara dua sistem bank tersebut. Tidak adanya perbedaan aturan inilah yang barangkali perlu ditinjau ulang agar Bank Syariah tidak bernasib sama dengan Bank Konvensional. Hanya saja, dalam pengawasan, tidak seperti Bank Konvensional yang sepenuhnya diawasi BI, Bank Syariah selain diawasi BI juga mendapat pengawasan dari Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang mencakup pengawasan aspek kesyariahan bank tersebut (Sekadar pengawasan aspek kesyariahan saja tidaklah cukup. Diperlukan aturan khusus untuk Bank Syariah).
Pengawasan bank umum kemudian beralih ke OJK, maka pengawasan Bank Syariah juga beralih ke OJK yang tentunya tetap ditemani DPS. Meskipun pengawasan bank umum berpindah ke OJK, tidak menutup kemungkinan bahwa BI dan OJK dapat bersama-sama menentukan kebijakan yang dapat meningkatkan pertumbuhan perbankan syariah.
Permodalan Bank Syariah sebagai bagian penting dalam kerangka investasi syariah hendaknya mendapat perhatian khusus. Prinsipnya yang berbeda dengan Bank Konvensional harusnya diikuti dengan aturan dan kebijakan yang berbeda pula. Untuk itu, makalah ini akan mencoba membahas kebijakan apa yang mungkin dibuat oleh BI dan OJK untuk menciptakan lingkugan inestasi yang sehat bagi perbankan syariah dengan urutan sebagai berikut: pertama, membahas tentang bank sentral; kedua, membahas BI sebagai bank sentral di Indonesia; ketiga, fungsi BI pasca OJK; keempat, permodalan Bank Syariah yang sehat lewat kebijakan dan aturan BI serta OJK.


Pembahasan
A.  Bank Sentral
Awalnya, bank sentral merupakan bank umum biasa yang memiliki tugas sama dengan bank-bank lain. Bank tersebut kemudian berkembang secara bertahap dengan perubahan tugas dan tanggung jawab yang lebih besar dibanding bank lain. Tugas-tugas tersebut misalnya saja menerbitkan uang, sebagai agen dan banker pemerintah dan sebagainya. Perubahan tugas ini kemudian menjadikan bank sentral tidak lagi sama dengan bank lain dan tidak bisa lagi menerima dana dari dan memberikan kredit kepada masyarakat.[1]
Bank sentral tidak ditujukan untuk mencari keuntungan seperti bank umum lainnya, melainkan memiliki tujuan sosial ekonomi terkait kepentingan nasional dan kesejahteraan umum. Misalnya saja, bank sentral menjaga stabilitas harga dan perkembangan ekonomi negara, menjaga aktivitas perbankan agar dapat berjalan dengan lancar sehingga dapat mendorong aktivitas ekonomi lainnya.[2]
Dalam rangka mencapai tujuan sosial ekonomi yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara, sebuah bank sentral memiliki tugas antara lain:[3]
a.    Menerbitkan uang sebagai komponen inti basis moneter
b.   Banker bagi pemerintah dan bank komersial dengan cara mengelola semua deposito pemerintah, mengelola cadangan devisa negara dan menjadi lender of last resort.
c.    Menentukan kebijakan moneter. Tugas ini pada tahun 1950-an baru sebagai tugas tambahan bagi bank sentral. Namun, sejak tahun 1990-an tugas ini menjadi tugas baku bagi bank sentral.
d.   Menjaga sistem keuangan modern[4]. Tugas ini mencakup pengawasan dan pembinaan sistem keuangan nasional.
e.    Fungsi riset. Tugas bank sentral dalam hal ini adalah menganalisis perkembangan makro ekonomi dan juga memantau daya tahan makro ekonomi tersebut terhadap tekanan dalam ataupun luar negeri.
Bank sentral dalam sejarahnya memiliki tiga komponen utama, yaitu independensi, fokus memerangi inflasi dan kebijakan moneter lewat metode tidak langsung.[5] Selain tiga komponen tersebut, bank sentral sebenarnya memiliki tiga peran yang kurang diperhatikan. Tiga peran tersebut adalah[6]:
a.       Peran distributif dari kebijakan bank sentral. Kebijakan bank sentral seringkalinya punya dampak yang beragam terhadap kelompok dan kelas tertentu. Dampak satu kebijakan bank sentral akan berbeda antara terhadap kaum pekerja dengan terhadap kaum pemodal, kelompok debitur dengan kreditur atau antara level keuangan dengan industri. Misalnya saja kebijakan moneter ekspansi. Para bankir akan menolak kebijakan ini karena akan menurunkan suku bunga dan menaikkan inflasi. Sementara itu, di sisi lain para pekerja dan industry barangkali menyukai kebijakan ini.
b.      Peran politis bank sentral. Sebagai lembaga yang independen, bank sentral memiliki peran politis dalam membangun kesatuan dan kedaulatan dengan melakukan penyatuan keuangan.
c.       Peran alokatif. Kebijakan bank sentral akan mempengaruhi tingkat profitabilitas dan juga akses terhadap kredit bagi beragam industri.

Sementara itu, dalam ekonomi Islam, bank sentral menjadi pusat sistem perbankan Islam dan jadi institusi pemerintah yang otonom serta bertanggungjawab mewujudkan sejumlah sasaran sosio-ekonomi perekonomian melalui uang dan perbankan.[7]
Dengan kedudukan tersebut, bank sentral dalam ekonomi Islam berfungsi dan bertugas sebagai berikut:[8]
a.    Tugas pokok stabilisasi uang riil dengan mengeluarkan uang.
b.   Mengusahakan stabilitas baik internal ataupun eksternal.
c.    Menjadi banker bagi pemerintah dan juga bank-bank umum lain
d.   Kliring dan penyelesaian cek serta transfer
e.    Lender of last resort
f.    Memberikan bimbingan, supervisi serta menetapkan regulasi bagi bank umum lain, lembaga keuangan non-bank, lembaga kredit khusus dan lembaga keuangan lainnya.
g.   Menghambat kemungkinan terjadinya konsentrasi kekuasaan serta kekayaan ditangan pihak-pihak tertentu di lembaga keuangan
h.   Mengimplementasikan kebijakan moneter negara.
i.     Menjadi teladan dengan aktif dalam usaha islamisasi serta evolusi kontinu sistem perbankan.

Alternatif sistem bank sentral dalam keuangan Islam yang diusulkan Chapra adalah[9]:
a.       Pengaturan monetary base (M0) dengan pembagian ketersediaan uang untuk pemerintah (dengan pinjaman tanpa bunga) dan untuk bank komersia serta lembaga keuangan khusus (dengan sistem mudharabah).
b.      Deposito berjangka untuk publik yang ditetapkan pada level 25% dialihkan kepada pemerintah untuk digunakan pada pembiayaan proyek yang bermanfaat bagi masyarakat.
c.       Cadangan minimal 10-20% yang biasanya ditetapkan oleh bank sentral tidak diperlukan karena sistem mudharabah tidak memerlukan hal ini.
Selain itu, Khan menambahkan bahwa bank sentral dalam keuangan Islam harus memberikan insentif bagi bank yang menyalurkan pembiayaan berbasis ekuitas dibanding berbasis utang dengan cara[10]:
a.       Pengurangan cadangan minimal agar ketersediaan dana untuk pembiayaan menjadi lebih tinggi
b.      Memperkuat liabilitas yang tidak terbatas
c.       Penurunan tingkat suku bunga secara kontinu agar investasi dengan instrumen berbasis utang kurang diminati dan menggantinya dengan instrumen berbasis ekuitas
d.      Menjadikan dividen sebagai biaya pengurang pajak
e.       Menyediakan insentif keuangan bagi perusahaan non-leverage dan sebaliknya tidak disediakan insentif bagi perusahaan dengan leverage.

B.  BI sebagai Bank Sentral
1.      Status dan Kedudukan BI
Lembaga negara berdasarkan fungsinya dapat dibedakan menjadi lembaga dengan fungsi pemerintahan, fungsi perwakilan, fungsi pengadilan dan fungsi moneter. Lembaga-lembaga tersebut ada yang bersifat dependen dan ada yang independen. BI merupakan lembaga negara dengan fungsi moneter yang bersifat independen. Bebas campur tangan pemerintah dan pihak lain dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Status ini didasari oleh keberadaan UU No. 6 tahun 2009. Status khusus ini penting bagi BI dalam rangka menjalankan tugasnya secara efektif dan efisien pada fungsi moneternya.[11]
Selain sebagai lembaga independen, BI juga memiliki status sebagai badan hukum publik dan hukum perdata. Status badan hukum public memberikan kewenangan dan tugas bagi BI untuk menetapkan sejumlah peraturan pelaksanaan Undang-undang. Status badan hukum ini menjadikan peraturan tersebut mengikat bagi seluruh masyarakat dan lembaga yang berada di bawah pengawasan BI. Sedangkan status badan hukum perdata memberikan BI kewenangan untuk diri BI sendiri dan atas namanya sendiri di dalam pengadilan ataupun di luar pengadilan.[12]




2.      Peran dan Tugas BI
BI berperan mencapai dan mempertahankan stabilitas finansial. Dalam rangka mempertahankan stabilitas sistem finansial, BI memiliki sejumlah tugas utama, yaitu:[13]
a.    Mempertahankan stabilitas moneter lewat instrumen-instrumen tertentu, misalnya suku bunga pada operasi pasar terbuka.
b.   Menciptakan kinerja lembaga keuangan sehat, terutama perbankan melalui mekanisme pengawasan dan pengaturan.
c.    Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dengan pengembangan mekanisme dan pengaturan dalam rangka mengurangi risiko sistem pembayaran yang condong meningkat.
d.   Mengakses berbagai informasi yang dianggap mengancam stabilitas finansial lewat fungsi riset dan pemantauan.
e.    Menjadi jaring pengaman sistem finansial lewat fungsinya sebagai lender of the resort.
Ginting menyebutkan bahwa stabilitas finansial dicapai BI dengan tiga tugas utama yaitu menetapkan dan menjalankan kebijakan moneter, mengatur dan mempertahankan kelancaran sistem pembayaran, dan mengatur serta mengawasi perbankan di tanah air. Masing-masing tugas tersebut diwujudkan dengan rincian pelaksanaan sebagai berikut:[14]
a.       Menetapkan dan menjalankan kebijakan moneter dengan menetapkan piranti moneter sebagai alat (operasi pasar terbuka, penentuan tingkat diskonto, reserve requirement), kebijakan nilai tukar, mengelola cadangan devisa, lender of the last resort.
b.      Mengatur dan mempertahankan kelancaran sistem pembayaran dengan mengeluarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah. Pengeluaran uang tersebut mencakup proses mencetak, mengedarkan dan mengatur jumlah uang beredar.
c.       Mengatur dan mengawasi perbankan dengan memberi dan mencabut izin kelembagaan serta aktivitas usaha tertentu dari sebuah bank, menetapkan regulasi perbankan, melakukan pengawasan bank secara langsung atau tidak langsung, dan memberikan sanksi pada bank berdasarkan aturan yang berlaku. Fungsi ini kemudian beralih ke OJK.

3.      Perbankan Syariah di Bawah Naungan BI
Bank syariah memiliki karakteristik sendiri barupa sistem bagi hasil yang dipandang sebagia alternatif menguntungkan, baik untuk bank dan juga untuk masyarakat. Tidak hanya itu, bank syariah dianggap sebagai bank yang beroperasi dengan mengutamakan nilai keadilan transaksi, melakukan investasi dengan etika, dalam berproduksi mengutamakan nilai-nilai persaudaraan dan kebersamaan serta menghindari aktivitas spekulatif dalam transaksi keuangannya. Pada skala makro, meluasnya produk dan instrumen keuangan dengan prinsip syariah diharapkan dapat memperkuat keterkaitan antara sektor keuangan dan sektor riil.[15]
Pencapaian tujuan tersebut diwujudkan BI dengan menyusun Grand Strategi pengembangan pasar perbankan syariah yang mencakup enam poin yaitu penerapan visi baru pengembangan perbankan syariah, program pencitraan baru, program pemetaan baru yang lebih akurat untuk potensi pasar bank syariah, program pengembangan produk lewat variasi, peningkatan kualitas pelayanan lewat SDM yang kompeten dan teknologi informasi yang baik, dan program sosialisasi serta edukasi masyarakat secara luas dan efisien.[16]
Dual sistem pada keuangan di tanah air menjadikan bank syariah harus secara bersama-sama dengan bank konvensional mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas dalam rangka meningkatkan kemampuan pembiayaan untuk sektor perekonomian nasional. Dalam rangka pencapaian tersebut kemudian kedua jenis bank tersebut berada di bawah naungan BI.[17] Namun semenjak tahun 2014, pengaturan dan pengawasan bank tidak lagi berada di bawah BI, melainkan dialihkan ke OJK (Otoritas Jasa Keuangan) sebagai lembaga yang berfungsi mengatur dan mengawasi aktivitas lembaga keuangan (tidak hanya bank).[18]

C.  Fungsi BI Pasca OJK
Pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral bukanlah barang baru sebenarnya.[19] Lebih kurang 40% negara di dunia telah berhasil memisahkan fungsi pengawasan dari bank sentral mereka. Dari sekian banyak yang berhasil, tidak sedikit pula yang gagal. Salah satu contoh negara yang gagal tersebut adalah Inggris. Skema pembagian tugas yang lemah dan kurangnya akses informasi antara Bank of England (BoE) sebagai bank sentral dan Financial Services Authority (FSA) merupakan penyebab kegagalan tersebut. Akibat kegagalan tersebut adalah kolapsnya Northern Rock Bank.[20]
Poin penting yang harus diperhatikan terkait pemisahan fungsi pengawasan dari BI ke OJK adalah pembagian tugas yang jelas dan tegas yang disertai dengan koordinasi yang baik antara kedua lembaga tersebut.[21] Keberadaan OJK menjadikan tugas micro dan macro-prudential supervisory yang diemban BI terbagi dua. Macro-prudential supervisory (persoalan makro ekonomi semisal kebijakan moneter dan penanganan krisis) tetap menjadi tugas BI. Sementara itu, micro-prudential supervisory (tugas mikro yakni melakukan pengawasan terhadap bank-bank) menjadi tugas OJK.[22]
Pengambilalihan tugas pengawasn BI oleh OJK tidak lantas menghilangkan manfaat BI bagi masyarakat. BI hanya tidak lagi mengawasi individual bank. Sementara tuga pengawasan risiko sistemik terkait stabilitas keuangan nasional tetap menjadi tanggung jawab BI. Selain itu, BI masih bertugas mengawasi stabilitas moneter dan stabilitas sistem pembayaran.[23]



D.  Duo Lembaga untuk Lingkungan Investasi Syariah Lebih Sehat
OJK mengambil alih pengawasan bank dari BI. Artinya tugas dan peran BI yang barangkali “hilang” hanyalah pengawasan bank. Kemudian bagaimana dengan perbankan syariah, apakah kehadiran OJK mendampingi BI dapat memberikan pengaruh positif terhadap petumbuhan dan kemajuan perbankan syariah?
1.      Bank syariah sebagai bagian penting lingkungan investasi syariah
Berbicara tentang Bank Syariah selalu mengarahkan kita pada keyakinan atau barangkali lebih tepatnya harapan bahwa Bank Syariah berbeda dari Bank Konvensional dan memiliki keunggulan tersendiri. Syafi’i Antonio mengidentifikasi adanya tujuh keunggulan Bank Syariah dibanding Bank Konvensional yang mencakup visi-misi, aspek filosofis, struktur organisasi, aspek legal, produk yang ditawarkan, laporan keuangan, dan budaya korporasi.[24]
Barangkali kita terlalu fokus pada tujuh keunggulan yang dimiliki oleh Bank Syariah sehingga kita lupa pada satu hal yang barangkali jauh lebih penting yaitu persoalan permodalan Bank Syariah.
Modal merupakan sesuatu atau bagian yang menjadi perwakilan kepentingan pemilik dalam sebuah perusahaan.[25] Begitu juga dengan bank syariah, modal bank syariah merupakan bagian yang mewakili kepentingan para pemilik bank syariah. Sumber modal bank syariah terdiri dari dua bagian yaitu modal inti dan kuasi ekuitas. Modal inti berasal dari pemilikan bank yang terdiri dari modal disetor (dari pemegang saham) ditambah cadangan dan laba ditahan. Sementara itu, kuasi ekuitas merupakan berbagai macam dana yang terangkum dalam rekening-rekening bagi hasil.[26]
Kepemilikan saham (modal) bank umum secara keseluruhan ditentukan berdasarkan kategori pemegang saham (saham biasa dan saham preferen) dan keterkaitan antar pemegang saham (hubungan saudara, keluarga dan rekan kerja).[27] Adanya pengkategorian kepemilikan saham pada bank umum menyebabkan kuatnya kendali asing pada perbankan nasional.[28] Secara keseluruhan, sektor perbankan terbuka untuk asing sebesar 99% sejak tahun 1999.[29] Kebijakan yang cenderung memberikan keleluasaan bagi pemodal asing ini dapat menyebabkan penguasaan bank-bank di tanah air oleh asing.[30]
Persoalan penguasaan asing terhadap bank-bank di tanah air tersebut memunculkan gagasan bahwa diperlukan kebijakan dan aturan yang harus dipatuhi meskipun kepemilikan saham asing di perbankan nasional sangat besar. Pada tahun 2012 BI mengeluarkan surat edara terkait kepemilikan bank umum (Surat Edaran BI No. 15/4/DPNP/Juli 2012 tentang Kepemilikan Bank Saham Bank Umum) yang mana di dalamnya disebutkan beberapa syarat khusus bagi asing untuk bisa memiliki saham lebih dari 40% pada bank umum. Syarat-syarat tersebut adalah penilaian tingkat kesehatan, kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko dan modal inti, serta tatakelola yang baik semala tiga tahun berturut-turut.[31] Lalu bagaimana dengan permodalan Bank Syariah?

2.      Peran BI dengan adanya OJK bagi investasi Syariah
Sementara itu, pada Bank Syariah juga ditemui adanya pemegang saham pengendali yang muncul akibat adanya klasifikasi atau pengkategorian pemilik saham.[32] Pengkategorian pemilik saham ini pada hakikatnya tidak diperbolehkan dalam Islam. Di Indonesia sendiri, tidak berlaku adanya pemilik saham dengan hak-hak istimewa (saham preferen).[33]
Bank Syariah, dalam pembentukan dan operasionalnya mengikuti aturan yang berlaku untuk bank umum secara keseluruhan, termasuk di dalamnya terkait kategori pemilik saham dan kepemilikan asing atas saham bank umum. Padahal diketahui bersama bahwa investasi saham dalam keuangan Islam tidak mengenal adanya saham istimewa sehingga tidak akan ada pemilik saham pengendali.
OJK sebagai lembaga baru yang berwenang dan bertanggungjawab dalam pengaturan dan pengawan bank, harusnya menentukan kebijakan ataupun aturan khusus terkait kepemilikan saham Bank Syariah agar Bank Syariah – yang dipandang sebagai salah satu jawaban atau solusi krisis keuangan tanah air – tidak bernasib sama dengan bank umum lainnya yang pada akhirnya dikuasai oleh asing (pada dasarnya penguasaan asing tidak berdampak positif/ menguntungkan untuk masyarakat[34]).
OJK tidak dapat bekerja sendiri dalam menentukan kebijakan dan aturan khusus tersebut. BI sebagai pusat aktivitas keuangan nasional akan memiliki peran yang sangat kuat dalam proses penentuan kebijakan khusus tersebut. Bagaimana tidak, dalam pengembangan Bank Syariah, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, BI telah menetapkan Grand Strategy mencakup enam hal, yaitu:[35]
a.    Penerapan visi baru pengembangan perbankan syariah,
b.    Program pencitraan baru,
c.    Program pemetaan baru yang lebih akurat untuk potensi pasar bank syariah,
d.   Program pengembangan produk lewat variasi,
e.    Peningkatan kualitas pelayanan lewat SDM yang kompeten dan teknologi informasi yang baik, dan
f.     Program sosialisasi serta edukasi masyarakat secara luas dan efisien.
Enam poin Grand Strategy ini merupakan upaya yang dilakukan BI untuk terus meningkatkan pasar dan peluang perbankan syariah. Hanya saja, terkait dengan adanya kekhawatiran terjadinya penguasaan asing atas Bank Syariah, maka BI barangkali perlu menambahkan satu poin penting lagi dalam Grand Strategy-nya tersebut yaitu penghapusan saham pengendali dalam permodalan Bank Syariah.
Langkah ini dapat dilakukan BI sebagai pengendali moneter nasional dan juga dapat berkoordinasi dengan OJK sebagai lembaga baru yang bertanggungjawab terhadap pengaturan dan pengawasan aktivitas keuangan (salah satunya adalah Bank Syariah).

Penutup
Bank sentral suatu negara pada awalnya merupakan bank umum biasa. Namun, bank tersebut kemudian mengalami perubahan tugas. Bank ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan layaknya bank umum,melainkan punya tugas tersendiri terkait kepentingan negara dan kesejahteraan masyarakat.
BI sebagai bank sentral di Indonesia mempunyai fungsi dan tugas yang sama dengan bank sentral di negara-negara lain. Sampai tahun 2013, BI masih menjalankan tugasnya mengawasi perbankan. Namun tahun 2014, karena sejumlah alasan barangkali (salah satunya kegagalan BI mengatasi krisis), fungsi pengawasan perbankan tersebut dialihkan kepada OJK. Pengalihan fungsi ini tidak lantas menghilangkan manfaat BI bagi masyarakat. Fungsi BI yang dialihkan ke OJK hanyalah fungsi level mikro, sedangkan fungsi level makro tetap berada di tangan BI.
Salah satu hal penting terkait perbankan yang diatur BI adalah aspek permodalan. Bank Syariah sendiri, permodalannya sama aturannya dengan bank umum lain. Bank umum konvensional dengan aturan kepemilikan modal yang ada akhirnya berada di bawah penguasaan asing. Hal ini wajar saja terjadi karena dalam sistem keuangan konvensional, kepemilikan saham istimewa dan saham pengendali adalah hal yang tidak dilarang. Sementara itu Bank Syariah harusnya tidak mengikuti aturan yang sama sebagaimana adanya sekarang karena dalam sistem keuangan Syariah tidak diakui adanya saham istimewa apalagi saham pengendali. Oleh karena itu, diperlukan adanya aturan khusus untuk Bank Syariah terkait aspek permodalan yang sesuai dengan sistem keuangan Syariah sehingga Bank Syariah tidak ikut arus penguasaan asing.
BI sebenarnya telah menyusun Grand Strategi pengembangan pasar perbankan syariah yang mencakup enam poin yaitu penerapan visi baru pengembangan perbankan syariah, program pencitraan baru, program pemetaan baru yang lebih akurat untuk potensi pasar bank syariah, program pengembangan produk lewat variasi, peningkatan kualitas pelayanan lewat SDM yang kompeten dan teknologi informasi yang baik, dan program sosialisasi serta edukasi masyarakat secara luas dan efisien. Namun dalam poin-poin ini perlu ditambah dengan penghapusan keberadaan saham istimewa dan saham pengendali untuk permodalan Bank Syariah.
Langkah ini dapat dilakukan oleh BI sebagai bank sentral dan juga berkoordinasi dengan OJK sebagai pengatur dan pengawas aktivitas jasa keuangan yang baru (bank).



Referensi

Antonio, M. Syafi’i, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

         , “Keunggulan Investasi di Bank Syariah,” www.syariahmandiri.co.id, akses 09 Juni 2014.

Bappenas, “PP RI No. 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum,” www.dapp.bappenas.co.id, akses 08 Juni 2014.

BI, “Status dan Kedudukan BI,” www.bi.g.id, akses 10 April 2014.

         , “Memahami Tugas BI Pasca Terbentuknya OJK, Mengerti Kiat Pemanduan Museum,” Tentang BI, www.bi.go.id, akses 10 April 2014.

         , “Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia,” www.bi.g.id, akses 24 Mei 2014.

         , “Peraturan BI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah,” www.bi.go.id, akses 27 Mei 2014

         , “Peraturan BI No. 14/8/PBI/2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum,” www.bi.go.id, akses 27 Mei 2014.

Chapra, Umer, Sistem Moneter Islam, terj. Ikhwan Abidin, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Corbo, Vittorio, “Financial Stability in a Crisis: What is the Role of the Central Bank?,” www.bis.org, akses 20 April 2014.

Djumena, Erlangga, “Regulasi Pemerintah Sulit Kendalikan Asing,” www.bisniskeuangan.kompas.com, Sabtu, 09 November 2013, akses 27 Mei 2014.

DSN, “Fatwa DSN No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal,”

Epstein, Gerald, “Central Bank as Agents of Economic Development,” UNU-WIDER Research Paper, No. 54, 2006.

Goodhart, Charles dan Dirk Schoenmaker, “Should the Functions of Monetary Policy and Banking Supevision be Separated?,” Oxford Economic Papers, Vol.47, No.4, Oktober 1995, hlm. 539-560.

Ginting, Jamin, “Kedudukan dan Fungsi Bank Sentral sebagai Lembaga Negara,” Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 3, Februari 2008, hlm. 76-77.

Hossain, Akhand Akhtar, Bank Sentral dan Kebijakan Moneter di Asia Pasifik, terj. Haris Munandar, Jakarta: Rajawali Press, 2010.

Muhammad, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002.

OJK, “Tentang OJK,” www.ojk.go.id, akses  23 Februari 2014

Redaksi, “Harmonisasi BI dan OJK,” 23 November 2013, www.ekonomi.kompasiana.com, akses 10 April 2014.

Redaksi, “Waspadai Cara Asing Kuasai Perbankan: Diam-diam Investor Asing Membeli Saham Bank Swasta Nasional Melalui Bursa,” www.hukumonline.com, Kamis, 04 april 2013, akses 27 Mei 2014.

Redaksi, “Kepemilikan Asing di Perbankan Perlu di atur Ulang: Harapan Bertumpu pada OJK,” www.hukumonline.com, Selasa 22 Juni 2013, akses 27 Mei 2014.

Shaikh, Salman, “Role of Central Bank in Islamic Finance,” MPRA Paper, No. 26702, November 2010.

Sutedi, Adrian, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014.

Wibowo, M. Ghafur, Pengantar Ekonomi Moneter: Tinjauan Ekonomi Konvensional dan Islam, Yogyakarta: Biruni Press, 2007.



[1]Wibowo, Pengantar Ekonomi Moneter: Tinjauan Ekonomi Konvensional dan Islam, (Yogyakarta: Biruni Press, 2007), hlm. 59.
[2]Wibowo, Pengantar Ekonomi Moneter:……, hlm. 59.
[3]Hossain, Bank Sentral dan Kebijakan Moneter di Asia Pasifik, terj. Haris Munandar, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 37-40.
[4]Pada dasarnya bank sentral ditujukan untuk menjaga stabilitas keuangan dengan menangani krisis keuangan yang terjadi. Tidak hanya bertugas menangani krisis, bank sentral juga dituntuk untuk mencegah terjadinya krisis. Pencegahan tersebut dapat dilakukan bank sentral dengan beberapa langkah: (1)tidak mendukung tindakan spekulatif lewat penggunaan rasio nilai pinjaman terhadap asset, rasio kebutuhan modal rata-rata, dan sebagainya, (2)mengurangi risiko sistematis dengan cara improvisasi pembayaran dan keamanan sistem serta menyediakan insentif untuk transaksi derifatif tertentu yang diselesaikan pada institusi lain, (3)mendesain prosedur terkait kegagalan institusi-institusi yang secara sistematis merupakan bagian penting aktivitas keuangan, (4)mendesain prosedur intervensi dalam rangka menghindari ketidaksesuaian tingkat kurs ril, dan (5)bekerjasama dengan institusi keuangan. Corbo, “Financial Stability in a Crisis: What is the Role of the Central Bank?,” www.bis.org, akses 20 April 2014.
[5]Epstein, “Central Bank as Agents of Economic Development,” UNU-WIDER Research Paper, No. 54, 2006, hlm. 2.
[6]Epstein, “Central Bank as Agents of Economic Development ......, hlm. 3-4.
[7]Chapra, Sistem Moneter Islam, terj. Ikhwan Abidin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 102.
[8] Chapra, Sistem Moneter Islam……, hlm. 102 & 106.
[9]Shaikh, “Role of Central Bank in Islamic Finance,” MPRA Paper, No. 26702, November 2010, hlm. 6.
[10] Shaikh, “Role of Central Bank in Islamic Finance……, hlm.7-8.
[11]Ginting, “Kedudukan dan Fungsi Bank Sentral sebagai Lembaga Negara,” Law Review, (Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 3, Februari 2008), hlm. 76-77. Juga dalam BI, “Status dan Kedudukan BI,” www.bi.g.id, akses 10 April 2014.
[12] BI, “Status dan Kedudukan BI,” www.bi.g.id, akses 10 April 2014.
[13]OJK, “Peran Bank Indonesia dalam Stabilitas Keuangan,” www.ojk.go.id, akses 10 April 2014.
[14] Ginting, “Kedudukan dan Fungsi Bank Sentral……, hlm. 79-81.
[15]BI, “Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia,” www.bi.go.id, akses 24 Mei 2014.
[16] BI, “Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia.......
[17]BI, “Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia.......
[18]OJK dibentuk pada tahun 2011 berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 yang mulai beroperasi pada Januari 2013 untuk Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank. Sementara untuk perbankan, operasinya baru dimulai tahun 2014. Lembaga ini ditujukan untuk penyelenggaraan yang teratur, adil, transparan dan akuntabel pada seluruh aktivitas dalam sector jasa keuangan. Tidak hanya itu, OJK hendaknya mampu mewujudkan stabilitas dan kontinuitas pertumbuhan sistem keuangan serta melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat luas. OJK, “Tentang OJK,” www.ojk.go.id, akses  23 Februari 2014.
[19]Perdebatan terkait pemisahan fungsi bank sentral sudah diperdebatkan sejak tahun 1914-an. Ketika itu, bank sentral layaknya sekarang memiliki dua fungsi utama yaitu pengaturan moneter dan lender of the last resort. Pada dasarnya, bank sentral mengampu semua tanggung jawab keuangan mulai skal makro (stabilitas mata uang) hingga skala mikro (menyelamatkan bank dari krisis). Hanya saja, fungsi bank sentral pada skala mikro tersebut mengalami keterbatasan (skala dan skop). Pertama, bank sentral hanya mampu menyelamatkan bank dalam krisis sebatas dana yang dimiliki pemegang saham bank sentral. Kedua, bank sentral bukanlah agen resmi atau lembaga masyarakat sehinga punya keterbatasan regulatoris dan supervisi. Keterbatasn inilah yang kemudian memunculkan ide pemisahan fungsi pengawasan bank sentral. Meskipun ada yang berpendapat bahwa pemisahan tersebut dapat mengganggu stabilitas sistemik sistem keuangan. Goodhart dan Schoenmaker, “Should the Functions of Monetary Policy and Banking Supevision be Separated?,” Oxford Economic Papers, Vol.47, No.4, Oktober 1995, hlm. 540-544.
[20]Redaksi, “Harmonisasi BI dan OJK,” 23 November 2013, www.ekonomi.kompasiana.com, akses 10 April 2014.
[21]Selain aspek pembagian tugas yang jelas serta koordinasi dan sinkronisasi dua lembaga tersebut, aspek-aspek lain yang juga harus diperhatikan agar OJK tidak mengalami kegagalan layaknya lembaga pengawasan di negara-negara lain adalah aspek pertanggungjawaban masing-masing pihak, sumber daya manusia yang mumpuni untuk melaksanakan tanggung jawab di dalam lembaga, teknologi informasi sebagai pendukung aktivitas pengawasan dan juga anggaran yang jelas dan memadai. Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan......, hlm. 44-49.  
[22]Ciptaswara, “Implikasi Pembentukan OJK terhadap Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Indonesia…….
[23]BI, “Memahami Tugas BI Pasca Terbentuknya OJK, Mengerti Kiat Pemanduan Museum,” Tentang BI, www.bi.go.id, akses 10 April 2014.
[24]Antonio, “Keunggulan Investasi di Bank Syariah,” www.syariahmandiri.co.id, akses 09 Juni 2014.
[25]Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 146-147.
[26]Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002), hlm. 213.  
[27]BI, “Peraturan BI No. 14/8/PBI/2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum,” www.bi.go.id, akses 27 Mei 2014.
[28]Modal asing yang masuk ke tanah air dipandang sebagai salah satu cara untuk menguasai cadangan devisa. Hanya saja, kekuata asing yang masuk ke tanah air terbukti selalu bisa mengendalikan regulasi di dalam negeri yang pada akhirnya akan berdampak negatif bagi perkembangan ekonomi nasional jangka panjang. Erlangga Djumena, “Regulasi Pemerintah Sulit Kendalikan Asing,” www.bisniskeuangan.kompas.com, Sabtu, 09 November 2013, akses 27 Mei 2014.
[29]Bappenas, “PP RI No. 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum,” www.dapp.bappenas.co.id, akses 08 Juni 2014.
[30]Redaksi, “Kepemilikan Asing di Perbankan Perlu di atur Ulang: Harapan Bertumpu pada OJK,” www.hukumonline.com, Selasa 22 Juni 2013, akses 27 Mei 2014.
[31]Redaksi, “Waspadai Cara Asing Kuasai Perbankan: Diam-diam Investor Asing Membeli Saham Bank Swasta Nasional Melalui Bursa,” www.hukumonline.com, Kamis, 04 april 2013, akses 27 Mei 2014.
[32]BI, “Peraturan BI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah,” www.bi.go.id, akses 27 Mei 2014.
[33] DSN, “Fatwa DSN No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal,”
[34]Redaksi, “Kepemilikan Asing di Perbankan Perlu di atur Ulang.......
[35]BI, “Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia.......

Salam Selamat Datang

 Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh Selamat datang dan terimakasih kepada teman-teman yang sudah mampir ke laman rumahdialekis. ...