Pengantar
Bank sentral sebagai pilar
stabilitas keuangan darimanakah asalnya dan apa fungsinya? Indonesia punya Bank
Indonesia (BI) sebagai bank sentral dengan kedudukan, fungsi dan tugas layaknya
bank sentral di negara-negara lain. Tapi kemudian muncul lembaga lain yang
mengambil alih fungsi pengawasan BI. Lembaga yang mengambilalih fungsi
pengawasan BI tersebut adalah OJK. Kenapa tugas pengawasan BI diambilalih OJK?
Lantas apa yang akan terjadi jika fungsi BI diambilalih? Apakah BI tidak akan
bermanfaat lagi bagi masyarakat?
Sistem keuangan di tanah air
menganut dual sistem yaitu konvensional dan syariah. Begitu juga perbankan, ada
Bank Konvensional dan Bank Syariah. Pada awalnya pengaturan dan pengawasan bank
ini berada pada BI. Pengaturan dan pengawasan tersebut mencakup aspek
permodalan dan operasional bank. Pada dasarnya tidak ada perbedaan aturan
antara dua sistem bank tersebut. Tidak adanya perbedaan aturan inilah yang
barangkali perlu ditinjau ulang agar Bank Syariah tidak bernasib sama dengan
Bank Konvensional. Hanya saja, dalam pengawasan, tidak seperti Bank
Konvensional yang sepenuhnya diawasi BI, Bank Syariah selain diawasi BI juga
mendapat pengawasan dari Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang mencakup pengawasan aspek
kesyariahan bank tersebut (Sekadar pengawasan aspek kesyariahan saja tidaklah
cukup. Diperlukan aturan khusus untuk Bank Syariah).
Pengawasan bank umum kemudian beralih
ke OJK, maka pengawasan Bank Syariah juga beralih ke OJK yang tentunya tetap
ditemani DPS. Meskipun pengawasan bank umum berpindah ke OJK, tidak menutup
kemungkinan bahwa BI dan OJK dapat bersama-sama menentukan kebijakan yang dapat
meningkatkan pertumbuhan perbankan syariah.
Permodalan Bank Syariah sebagai
bagian penting dalam kerangka investasi syariah hendaknya mendapat perhatian
khusus. Prinsipnya yang berbeda dengan Bank Konvensional harusnya diikuti
dengan aturan dan kebijakan yang berbeda pula. Untuk itu, makalah ini akan mencoba
membahas kebijakan apa yang mungkin dibuat oleh BI dan OJK untuk menciptakan
lingkugan inestasi yang sehat bagi perbankan syariah dengan urutan sebagai
berikut: pertama, membahas tentang bank sentral; kedua, membahas BI sebagai
bank sentral di Indonesia; ketiga, fungsi BI pasca OJK; keempat, permodalan
Bank Syariah yang sehat lewat kebijakan dan aturan BI serta OJK.
Pembahasan
A.
Bank Sentral
Awalnya,
bank sentral merupakan bank umum biasa yang memiliki tugas sama dengan
bank-bank lain. Bank tersebut kemudian berkembang secara bertahap dengan
perubahan tugas dan tanggung jawab yang lebih besar dibanding bank lain.
Tugas-tugas tersebut misalnya saja menerbitkan uang, sebagai agen dan banker
pemerintah dan sebagainya. Perubahan tugas ini kemudian menjadikan bank sentral
tidak lagi sama dengan bank lain dan tidak bisa lagi menerima dana dari dan
memberikan kredit kepada masyarakat.[1]
Bank
sentral tidak ditujukan untuk mencari keuntungan seperti bank umum lainnya,
melainkan memiliki tujuan sosial ekonomi terkait kepentingan nasional dan
kesejahteraan umum. Misalnya saja, bank sentral menjaga stabilitas harga dan
perkembangan ekonomi negara, menjaga aktivitas perbankan agar dapat berjalan
dengan lancar sehingga dapat mendorong aktivitas ekonomi lainnya.[2]
Dalam
rangka mencapai tujuan sosial ekonomi yang berhubungan dengan kesejahteraan
masyarakat dan kepentingan negara, sebuah bank sentral memiliki tugas antara
lain:[3]
a.
Menerbitkan
uang sebagai komponen inti basis moneter
b.
Banker
bagi pemerintah dan bank komersial dengan cara mengelola semua deposito
pemerintah, mengelola cadangan devisa negara dan menjadi lender of last
resort.
c.
Menentukan
kebijakan moneter. Tugas ini pada tahun 1950-an baru sebagai tugas tambahan
bagi bank sentral. Namun, sejak tahun 1990-an tugas ini menjadi tugas baku bagi
bank sentral.
d.
Menjaga
sistem keuangan modern[4].
Tugas ini mencakup pengawasan dan pembinaan sistem keuangan nasional.
e.
Fungsi
riset. Tugas bank sentral dalam hal ini adalah menganalisis perkembangan makro
ekonomi dan juga memantau daya tahan makro ekonomi tersebut terhadap tekanan
dalam ataupun luar negeri.
Bank
sentral dalam sejarahnya memiliki tiga komponen utama, yaitu independensi,
fokus memerangi inflasi dan kebijakan moneter lewat metode tidak langsung.[5] Selain
tiga komponen tersebut, bank sentral sebenarnya memiliki tiga peran yang kurang
diperhatikan. Tiga peran tersebut adalah[6]:
a.
Peran
distributif dari kebijakan bank sentral. Kebijakan bank sentral seringkalinya
punya dampak yang beragam terhadap kelompok dan kelas tertentu. Dampak satu
kebijakan bank sentral akan berbeda antara terhadap kaum pekerja dengan
terhadap kaum pemodal, kelompok debitur dengan kreditur atau antara level
keuangan dengan industri. Misalnya saja kebijakan moneter ekspansi. Para bankir
akan menolak kebijakan ini karena akan menurunkan suku bunga dan menaikkan
inflasi. Sementara itu, di sisi lain para pekerja dan industry barangkali
menyukai kebijakan ini.
b.
Peran
politis bank sentral. Sebagai lembaga yang independen, bank sentral memiliki
peran politis dalam membangun kesatuan dan kedaulatan dengan melakukan
penyatuan keuangan.
c.
Peran
alokatif. Kebijakan bank sentral akan mempengaruhi tingkat profitabilitas dan
juga akses terhadap kredit bagi beragam industri.
Sementara
itu, dalam ekonomi Islam, bank sentral menjadi pusat sistem perbankan Islam dan
jadi institusi pemerintah yang otonom serta bertanggungjawab mewujudkan
sejumlah sasaran sosio-ekonomi perekonomian melalui uang dan perbankan.[7]
Dengan
kedudukan tersebut, bank sentral dalam ekonomi Islam berfungsi dan bertugas
sebagai berikut:[8]
a.
Tugas
pokok stabilisasi uang riil dengan mengeluarkan uang.
b.
Mengusahakan
stabilitas baik internal ataupun eksternal.
c.
Menjadi
banker bagi pemerintah dan juga bank-bank umum lain
d.
Kliring
dan penyelesaian cek serta transfer
e.
Lender of last resort
f.
Memberikan
bimbingan, supervisi serta menetapkan regulasi bagi bank umum lain, lembaga
keuangan non-bank, lembaga kredit khusus dan lembaga keuangan lainnya.
g.
Menghambat
kemungkinan terjadinya konsentrasi kekuasaan serta kekayaan ditangan
pihak-pihak tertentu di lembaga keuangan
h.
Mengimplementasikan
kebijakan moneter negara.
i.
Menjadi
teladan dengan aktif dalam usaha islamisasi serta evolusi kontinu sistem
perbankan.
Alternatif
sistem bank sentral dalam keuangan Islam yang diusulkan Chapra adalah[9]:
a.
Pengaturan
monetary base (M0) dengan pembagian ketersediaan uang untuk pemerintah
(dengan pinjaman tanpa bunga) dan untuk bank komersia serta lembaga keuangan
khusus (dengan sistem mudharabah).
b.
Deposito
berjangka untuk publik yang ditetapkan pada level 25% dialihkan kepada
pemerintah untuk digunakan pada pembiayaan proyek yang bermanfaat bagi
masyarakat.
c.
Cadangan
minimal 10-20% yang biasanya ditetapkan oleh bank sentral tidak diperlukan
karena sistem mudharabah tidak memerlukan hal ini.
Selain
itu, Khan menambahkan bahwa bank sentral dalam keuangan Islam harus memberikan
insentif bagi bank yang menyalurkan pembiayaan berbasis ekuitas dibanding
berbasis utang dengan cara[10]:
a.
Pengurangan
cadangan minimal agar ketersediaan dana untuk pembiayaan menjadi lebih tinggi
b.
Memperkuat
liabilitas yang tidak terbatas
c.
Penurunan
tingkat suku bunga secara kontinu agar investasi dengan instrumen berbasis
utang kurang diminati dan menggantinya dengan instrumen berbasis ekuitas
d.
Menjadikan
dividen sebagai biaya pengurang pajak
e.
Menyediakan
insentif keuangan bagi perusahaan non-leverage dan sebaliknya tidak
disediakan insentif bagi perusahaan dengan leverage.
B.
BI sebagai Bank Sentral
1.
Status
dan Kedudukan BI
Lembaga
negara berdasarkan fungsinya dapat dibedakan menjadi lembaga dengan fungsi
pemerintahan, fungsi perwakilan, fungsi pengadilan dan fungsi moneter.
Lembaga-lembaga tersebut ada yang bersifat dependen dan ada yang independen. BI
merupakan lembaga negara dengan fungsi moneter yang bersifat independen. Bebas
campur tangan pemerintah dan pihak lain dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya. Status ini didasari oleh keberadaan UU No. 6 tahun 2009.
Status khusus ini penting bagi BI dalam rangka menjalankan tugasnya secara
efektif dan efisien pada fungsi moneternya.[11]
Selain
sebagai lembaga independen, BI juga memiliki status sebagai badan hukum publik
dan hukum perdata. Status badan hukum public memberikan kewenangan dan tugas
bagi BI untuk menetapkan sejumlah peraturan pelaksanaan Undang-undang. Status
badan hukum ini menjadikan peraturan tersebut mengikat bagi seluruh masyarakat
dan lembaga yang berada di bawah pengawasan BI. Sedangkan status badan hukum
perdata memberikan BI kewenangan untuk diri BI sendiri dan atas namanya sendiri
di dalam pengadilan ataupun di luar pengadilan.[12]
2.
Peran
dan Tugas BI
BI
berperan mencapai dan mempertahankan stabilitas finansial. Dalam rangka
mempertahankan stabilitas sistem finansial, BI memiliki sejumlah tugas utama,
yaitu:[13]
a.
Mempertahankan
stabilitas moneter lewat instrumen-instrumen tertentu, misalnya suku bunga pada
operasi pasar terbuka.
b.
Menciptakan
kinerja lembaga keuangan sehat, terutama perbankan melalui mekanisme pengawasan
dan pengaturan.
c.
Mengatur
dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dengan pengembangan mekanisme dan
pengaturan dalam rangka mengurangi risiko sistem pembayaran yang condong
meningkat.
d.
Mengakses
berbagai informasi yang dianggap mengancam stabilitas finansial lewat fungsi
riset dan pemantauan.
e.
Menjadi
jaring pengaman sistem finansial lewat fungsinya sebagai lender of the
resort.
Ginting
menyebutkan bahwa stabilitas finansial dicapai BI dengan tiga tugas utama yaitu
menetapkan dan menjalankan kebijakan moneter, mengatur dan mempertahankan
kelancaran sistem pembayaran, dan mengatur serta mengawasi perbankan di tanah
air. Masing-masing tugas tersebut diwujudkan dengan rincian pelaksanaan sebagai
berikut:[14]
a.
Menetapkan
dan menjalankan kebijakan moneter dengan menetapkan piranti moneter sebagai
alat (operasi pasar terbuka, penentuan tingkat diskonto, reserve requirement),
kebijakan nilai tukar, mengelola cadangan devisa, lender of the last resort.
b.
Mengatur
dan mempertahankan kelancaran sistem pembayaran dengan mengeluarkan uang
sebagai alat pembayaran yang sah. Pengeluaran uang tersebut mencakup proses
mencetak, mengedarkan dan mengatur jumlah uang beredar.
c.
Mengatur
dan mengawasi perbankan dengan memberi dan mencabut izin kelembagaan serta
aktivitas usaha tertentu dari sebuah bank, menetapkan regulasi perbankan,
melakukan pengawasan bank secara langsung atau tidak langsung, dan memberikan
sanksi pada bank berdasarkan aturan yang berlaku. Fungsi ini kemudian beralih
ke OJK.
3.
Perbankan
Syariah di Bawah Naungan BI
Bank syariah memiliki karakteristik sendiri barupa
sistem bagi hasil yang dipandang sebagia alternatif menguntungkan, baik untuk
bank dan juga untuk masyarakat. Tidak hanya itu, bank syariah dianggap sebagai
bank yang beroperasi dengan mengutamakan nilai keadilan transaksi, melakukan
investasi dengan etika, dalam berproduksi mengutamakan nilai-nilai persaudaraan
dan kebersamaan serta menghindari aktivitas spekulatif dalam transaksi
keuangannya. Pada skala makro, meluasnya produk dan instrumen keuangan dengan
prinsip syariah diharapkan dapat memperkuat keterkaitan antara sektor keuangan
dan sektor riil.[15]
Pencapaian tujuan tersebut diwujudkan BI dengan
menyusun Grand Strategi pengembangan pasar perbankan syariah yang
mencakup enam poin yaitu penerapan visi baru pengembangan perbankan syariah,
program pencitraan baru, program pemetaan baru yang lebih akurat untuk potensi
pasar bank syariah, program pengembangan produk lewat variasi, peningkatan
kualitas pelayanan lewat SDM yang kompeten dan teknologi informasi yang baik,
dan program sosialisasi serta edukasi masyarakat secara luas dan efisien.[16]
Dual sistem pada keuangan di tanah air menjadikan bank
syariah harus secara bersama-sama dengan bank konvensional mendukung mobilisasi
dana masyarakat secara lebih luas dalam rangka meningkatkan kemampuan
pembiayaan untuk sektor perekonomian nasional. Dalam rangka pencapaian tersebut
kemudian kedua jenis bank tersebut berada di bawah naungan BI.[17]
Namun semenjak tahun 2014, pengaturan dan pengawasan bank tidak lagi berada di
bawah BI, melainkan dialihkan ke OJK (Otoritas Jasa Keuangan) sebagai lembaga
yang berfungsi mengatur dan mengawasi aktivitas lembaga keuangan (tidak hanya
bank).[18]
C.
Fungsi BI Pasca OJK
Pemisahan
fungsi pengawasan dari bank sentral bukanlah barang baru sebenarnya.[19] Lebih kurang 40% negara di dunia telah berhasil memisahkan fungsi
pengawasan dari bank sentral mereka. Dari sekian banyak yang berhasil, tidak
sedikit pula yang gagal. Salah satu contoh negara yang gagal tersebut adalah
Inggris. Skema pembagian tugas yang lemah dan kurangnya akses informasi antara Bank
of England (BoE) sebagai bank sentral dan Financial Services Authority
(FSA) merupakan penyebab kegagalan tersebut. Akibat kegagalan tersebut adalah
kolapsnya Northern Rock Bank.[20]
Poin
penting yang harus diperhatikan terkait pemisahan fungsi pengawasan dari BI ke
OJK adalah pembagian tugas yang jelas dan tegas yang disertai dengan koordinasi
yang baik antara kedua lembaga tersebut.[21]
Keberadaan OJK menjadikan tugas micro dan macro-prudential
supervisory yang diemban BI terbagi dua. Macro-prudential supervisory
(persoalan makro ekonomi semisal kebijakan moneter dan penanganan krisis) tetap
menjadi tugas BI. Sementara itu, micro-prudential supervisory (tugas
mikro yakni melakukan pengawasan terhadap bank-bank) menjadi tugas OJK.[22]
Pengambilalihan
tugas pengawasn BI oleh OJK tidak lantas menghilangkan manfaat BI bagi
masyarakat. BI hanya tidak lagi mengawasi individual bank. Sementara tuga
pengawasan risiko sistemik terkait stabilitas keuangan nasional tetap menjadi
tanggung jawab BI. Selain itu, BI masih bertugas mengawasi stabilitas moneter dan
stabilitas sistem pembayaran.[23]
D.
Duo Lembaga untuk Lingkungan Investasi Syariah Lebih
Sehat
OJK mengambil alih pengawasan bank dari BI. Artinya
tugas dan peran BI yang barangkali “hilang” hanyalah pengawasan bank. Kemudian
bagaimana dengan perbankan syariah, apakah kehadiran OJK mendampingi BI dapat
memberikan pengaruh positif terhadap petumbuhan dan kemajuan perbankan syariah?
1.
Bank syariah sebagai bagian penting lingkungan investasi syariah
Berbicara tentang Bank Syariah selalu mengarahkan kita
pada keyakinan atau barangkali lebih tepatnya harapan bahwa Bank Syariah
berbeda dari Bank Konvensional dan memiliki keunggulan tersendiri. Syafi’i
Antonio mengidentifikasi adanya tujuh keunggulan Bank Syariah dibanding Bank
Konvensional yang mencakup visi-misi, aspek filosofis, struktur organisasi,
aspek legal, produk yang ditawarkan, laporan keuangan, dan budaya korporasi.[24]
Barangkali kita terlalu fokus pada tujuh keunggulan
yang dimiliki oleh Bank Syariah sehingga kita lupa pada satu hal yang
barangkali jauh lebih penting yaitu persoalan permodalan Bank Syariah.
Modal merupakan sesuatu atau bagian yang menjadi
perwakilan kepentingan pemilik dalam sebuah perusahaan.[25]
Begitu juga dengan bank syariah, modal bank syariah merupakan bagian yang
mewakili kepentingan para pemilik bank syariah. Sumber modal bank syariah
terdiri dari dua bagian yaitu modal inti dan kuasi ekuitas. Modal inti berasal
dari pemilikan bank yang terdiri dari modal disetor (dari pemegang saham)
ditambah cadangan dan laba ditahan. Sementara itu, kuasi ekuitas merupakan
berbagai macam dana yang terangkum dalam rekening-rekening bagi hasil.[26]
Kepemilikan saham (modal) bank umum secara keseluruhan
ditentukan berdasarkan kategori pemegang saham (saham biasa dan saham preferen)
dan keterkaitan antar pemegang saham (hubungan saudara, keluarga dan rekan
kerja).[27]
Adanya pengkategorian kepemilikan saham pada bank umum menyebabkan kuatnya
kendali asing pada perbankan nasional.[28]
Secara keseluruhan, sektor perbankan terbuka untuk asing sebesar 99% sejak
tahun 1999.[29]
Kebijakan yang cenderung memberikan keleluasaan bagi pemodal asing ini dapat
menyebabkan penguasaan bank-bank di tanah air oleh asing.[30]
Persoalan penguasaan asing terhadap bank-bank di tanah
air tersebut memunculkan gagasan bahwa diperlukan kebijakan dan aturan yang
harus dipatuhi meskipun kepemilikan saham asing di perbankan nasional sangat
besar. Pada tahun 2012 BI mengeluarkan surat edara terkait kepemilikan bank
umum (Surat Edaran BI No. 15/4/DPNP/Juli 2012 tentang Kepemilikan Bank Saham
Bank Umum) yang mana di dalamnya disebutkan beberapa syarat khusus bagi asing
untuk bisa memiliki saham lebih dari 40% pada bank umum. Syarat-syarat tersebut
adalah penilaian tingkat kesehatan, kewajiban penyediaan modal minimum sesuai
profil risiko dan modal inti, serta tatakelola yang baik semala tiga tahun
berturut-turut.[31]
Lalu bagaimana dengan permodalan Bank Syariah?
2.
Peran BI dengan adanya OJK bagi investasi Syariah
Sementara itu, pada Bank Syariah juga ditemui adanya
pemegang saham pengendali yang muncul akibat adanya klasifikasi atau
pengkategorian pemilik saham.[32]
Pengkategorian pemilik saham ini pada hakikatnya tidak diperbolehkan dalam
Islam. Di Indonesia sendiri, tidak berlaku adanya pemilik saham dengan hak-hak
istimewa (saham preferen).[33]
Bank Syariah, dalam pembentukan dan operasionalnya
mengikuti aturan yang berlaku untuk bank umum secara keseluruhan, termasuk di
dalamnya terkait kategori pemilik saham dan kepemilikan asing atas saham bank
umum. Padahal diketahui bersama bahwa investasi saham dalam keuangan Islam
tidak mengenal adanya saham istimewa sehingga tidak akan ada pemilik saham
pengendali.
OJK sebagai lembaga baru yang berwenang dan
bertanggungjawab dalam pengaturan dan pengawan bank, harusnya menentukan
kebijakan ataupun aturan khusus terkait kepemilikan saham Bank Syariah agar
Bank Syariah – yang dipandang sebagai salah satu jawaban atau solusi krisis
keuangan tanah air – tidak bernasib sama dengan bank umum lainnya yang pada
akhirnya dikuasai oleh asing (pada dasarnya penguasaan asing tidak berdampak
positif/ menguntungkan untuk masyarakat[34]).
OJK tidak dapat bekerja sendiri dalam menentukan
kebijakan dan aturan khusus tersebut. BI sebagai pusat aktivitas keuangan
nasional akan memiliki peran yang sangat kuat dalam proses penentuan kebijakan
khusus tersebut. Bagaimana tidak, dalam pengembangan Bank Syariah, sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya, BI telah menetapkan Grand Strategy mencakup
enam hal, yaitu:[35]
a.
Penerapan visi baru pengembangan perbankan syariah,
b.
Program pencitraan baru,
c.
Program pemetaan baru yang lebih akurat untuk potensi pasar bank
syariah,
d.
Program pengembangan produk lewat variasi,
e.
Peningkatan kualitas pelayanan lewat SDM yang kompeten dan
teknologi informasi yang baik, dan
f.
Program sosialisasi serta edukasi masyarakat secara luas dan
efisien.
Enam poin Grand Strategy ini merupakan upaya
yang dilakukan BI untuk terus meningkatkan pasar dan peluang perbankan syariah.
Hanya saja, terkait dengan adanya kekhawatiran terjadinya penguasaan asing atas
Bank Syariah, maka BI barangkali perlu menambahkan satu poin penting lagi dalam
Grand Strategy-nya tersebut yaitu penghapusan saham pengendali dalam
permodalan Bank Syariah.
Langkah ini dapat dilakukan BI sebagai pengendali
moneter nasional dan juga dapat berkoordinasi dengan OJK sebagai lembaga baru
yang bertanggungjawab terhadap pengaturan dan pengawasan aktivitas keuangan
(salah satunya adalah Bank Syariah).
Penutup
Bank sentral suatu negara pada
awalnya merupakan bank umum biasa. Namun, bank tersebut kemudian mengalami
perubahan tugas. Bank ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan layaknya
bank umum,melainkan punya tugas tersendiri terkait kepentingan negara dan kesejahteraan
masyarakat.
BI sebagai bank sentral di
Indonesia mempunyai fungsi dan tugas yang sama dengan bank sentral di
negara-negara lain. Sampai tahun 2013, BI masih menjalankan tugasnya mengawasi
perbankan. Namun tahun 2014, karena sejumlah alasan barangkali (salah satunya
kegagalan BI mengatasi krisis), fungsi pengawasan perbankan tersebut dialihkan
kepada OJK. Pengalihan fungsi ini tidak lantas menghilangkan manfaat BI bagi
masyarakat. Fungsi BI yang dialihkan ke OJK hanyalah fungsi level mikro, sedangkan
fungsi level makro tetap berada di tangan BI.
Salah satu hal penting terkait
perbankan yang diatur BI adalah aspek permodalan. Bank Syariah sendiri,
permodalannya sama aturannya dengan bank umum lain. Bank umum konvensional
dengan aturan kepemilikan modal yang ada akhirnya berada di bawah penguasaan
asing. Hal ini wajar saja terjadi karena dalam sistem keuangan konvensional,
kepemilikan saham istimewa dan saham pengendali adalah hal yang tidak dilarang.
Sementara itu Bank Syariah harusnya tidak mengikuti aturan yang sama
sebagaimana adanya sekarang karena dalam sistem keuangan Syariah tidak diakui
adanya saham istimewa apalagi saham pengendali. Oleh karena itu, diperlukan
adanya aturan khusus untuk Bank Syariah terkait aspek permodalan yang sesuai dengan
sistem keuangan Syariah sehingga Bank Syariah tidak ikut arus penguasaan asing.
BI sebenarnya telah menyusun Grand Strategi pengembangan
pasar perbankan syariah yang mencakup enam poin yaitu penerapan visi baru
pengembangan perbankan syariah, program pencitraan baru, program pemetaan baru
yang lebih akurat untuk potensi pasar bank syariah, program pengembangan produk
lewat variasi, peningkatan kualitas pelayanan lewat SDM yang kompeten dan
teknologi informasi yang baik, dan program sosialisasi serta edukasi masyarakat
secara luas dan efisien. Namun dalam poin-poin ini perlu ditambah dengan
penghapusan keberadaan saham istimewa dan saham pengendali untuk permodalan
Bank Syariah.
Langkah ini dapat dilakukan oleh BI sebagai bank sentral dan juga
berkoordinasi dengan OJK sebagai pengatur dan pengawas aktivitas jasa keuangan
yang baru (bank).
Referensi
Antonio, M. Syafi’i, Bank
Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
,
“Keunggulan Investasi di Bank Syariah,” www.syariahmandiri.co.id, akses 09
Juni 2014.
Bappenas, “PP RI No. 29 Tahun 1999
tentang Pembelian Saham Bank Umum,” www.dapp.bappenas.co.id,
akses 08 Juni 2014.
BI, “Status dan Kedudukan BI,” www.bi.g.id, akses 10 April 2014.
,
“Memahami Tugas BI Pasca Terbentuknya OJK, Mengerti Kiat Pemanduan Museum,” Tentang
BI, www.bi.go.id, akses 10 April 2014.
, “Sekilas
Perbankan Syariah di Indonesia,” www.bi.g.id,
akses 24 Mei 2014.
,
“Peraturan BI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah,” www.bi.go.id, akses 27 Mei 2014
, “Peraturan BI
No. 14/8/PBI/2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum,” www.bi.go.id, akses 27 Mei 2014.
Chapra, Umer, Sistem Moneter
Islam, terj. Ikhwan Abidin, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Corbo, Vittorio, “Financial
Stability in a Crisis: What is the Role of the Central Bank?,” www.bis.org, akses 20 April 2014.
Djumena, Erlangga, “Regulasi
Pemerintah Sulit Kendalikan Asing,” www.bisniskeuangan.kompas.com,
Sabtu, 09 November 2013, akses 27 Mei 2014.
DSN, “Fatwa DSN No.
40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip
Syariah di Bidang Pasar Modal,”
Epstein, Gerald, “Central Bank as
Agents of Economic Development,” UNU-WIDER Research Paper, No. 54, 2006.
Goodhart, Charles dan Dirk
Schoenmaker, “Should the Functions of Monetary Policy and Banking Supevision be
Separated?,” Oxford Economic Papers, Vol.47, No.4, Oktober 1995, hlm.
539-560.
Ginting, Jamin, “Kedudukan dan
Fungsi Bank Sentral sebagai Lembaga Negara,” Law Review, Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 3, Februari 2008, hlm. 76-77.
Hossain, Akhand Akhtar, Bank
Sentral dan Kebijakan Moneter di Asia Pasifik, terj. Haris Munandar,
Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN,
2002.
OJK, “Tentang OJK,” www.ojk.go.id,
akses 23 Februari 2014
Redaksi,
“Harmonisasi BI dan OJK,” 23 November 2013, www.ekonomi.kompasiana.com,
akses 10 April 2014.
Redaksi,
“Waspadai Cara Asing Kuasai Perbankan: Diam-diam Investor Asing Membeli Saham
Bank Swasta Nasional Melalui Bursa,” www.hukumonline.com,
Kamis, 04 april 2013, akses 27 Mei 2014.
Redaksi, “Kepemilikan Asing di Perbankan Perlu di atur Ulang: Harapan
Bertumpu pada OJK,” www.hukumonline.com,
Selasa 22 Juni 2013, akses 27 Mei 2014.
Shaikh, Salman, “Role of Central
Bank in Islamic Finance,” MPRA Paper, No. 26702, November 2010.
Sutedi, Adrian, Aspek Hukum
Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014.
Wibowo, M. Ghafur, Pengantar
Ekonomi Moneter: Tinjauan Ekonomi Konvensional dan Islam, Yogyakarta:
Biruni Press, 2007.
[1]Wibowo,
Pengantar Ekonomi Moneter: Tinjauan Ekonomi Konvensional dan Islam,
(Yogyakarta: Biruni Press, 2007), hlm. 59.
[2]Wibowo,
Pengantar Ekonomi Moneter:……, hlm. 59.
[3]Hossain,
Bank Sentral dan Kebijakan Moneter di Asia Pasifik, terj. Haris Munandar,
(Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 37-40.
[4]Pada
dasarnya bank sentral ditujukan untuk menjaga stabilitas keuangan dengan
menangani krisis keuangan yang terjadi. Tidak hanya bertugas menangani krisis,
bank sentral juga dituntuk untuk mencegah terjadinya krisis. Pencegahan
tersebut dapat dilakukan bank sentral dengan beberapa langkah: (1)tidak
mendukung tindakan spekulatif lewat penggunaan rasio nilai pinjaman terhadap
asset, rasio kebutuhan modal rata-rata, dan sebagainya, (2)mengurangi risiko
sistematis dengan cara improvisasi pembayaran dan keamanan sistem serta
menyediakan insentif untuk transaksi derifatif tertentu yang diselesaikan pada
institusi lain, (3)mendesain prosedur terkait kegagalan institusi-institusi
yang secara sistematis merupakan bagian penting aktivitas keuangan,
(4)mendesain prosedur intervensi dalam rangka menghindari ketidaksesuaian
tingkat kurs ril, dan (5)bekerjasama dengan institusi keuangan. Corbo,
“Financial Stability in a Crisis: What is the Role of the Central Bank?,” www.bis.org, akses 20 April 2014.
[5]Epstein,
“Central Bank as Agents of Economic Development,” UNU-WIDER Research Paper,
No. 54, 2006, hlm. 2.
[7]Chapra,
Sistem Moneter Islam, terj. Ikhwan Abidin, (Jakarta: Gema Insani Press,
2000), hlm. 102.
[8]
Chapra, Sistem Moneter Islam……, hlm. 102 & 106.
[9]Shaikh,
“Role of Central Bank in Islamic Finance,” MPRA Paper, No. 26702,
November 2010, hlm. 6.
[10]
Shaikh, “Role of Central Bank in Islamic Finance……, hlm.7-8.
[11]Ginting,
“Kedudukan dan Fungsi Bank Sentral sebagai Lembaga Negara,” Law Review,
(Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VIII, No. 3, Februari 2008),
hlm. 76-77. Juga dalam BI, “Status dan Kedudukan BI,” www.bi.g.id, akses 10 April 2014.
[12] BI,
“Status dan Kedudukan BI,” www.bi.g.id, akses
10 April 2014.
[13]OJK,
“Peran Bank Indonesia dalam Stabilitas Keuangan,” www.ojk.go.id,
akses 10 April 2014.
[14]
Ginting, “Kedudukan dan Fungsi Bank Sentral……, hlm. 79-81.
[18]OJK dibentuk pada tahun 2011 berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 yang mulai
beroperasi pada Januari 2013 untuk Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank.
Sementara untuk perbankan, operasinya baru dimulai tahun 2014. Lembaga ini
ditujukan untuk penyelenggaraan yang teratur, adil, transparan dan akuntabel
pada seluruh aktivitas dalam sector jasa keuangan. Tidak hanya itu, OJK
hendaknya mampu mewujudkan stabilitas dan kontinuitas pertumbuhan
sistem keuangan serta melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat luas. OJK, “Tentang OJK,” www.ojk.go.id,
akses 23 Februari 2014.
[19]Perdebatan
terkait pemisahan fungsi bank sentral sudah diperdebatkan sejak tahun 1914-an.
Ketika itu, bank sentral layaknya sekarang memiliki dua fungsi utama yaitu
pengaturan moneter dan lender of the last resort. Pada dasarnya, bank
sentral mengampu semua tanggung jawab keuangan mulai skal makro (stabilitas
mata uang) hingga skala mikro (menyelamatkan bank dari krisis). Hanya saja,
fungsi bank sentral pada skala mikro tersebut mengalami keterbatasan (skala dan
skop). Pertama, bank sentral hanya mampu menyelamatkan bank dalam krisis
sebatas dana yang dimiliki pemegang saham bank sentral. Kedua, bank sentral
bukanlah agen resmi atau lembaga masyarakat sehinga punya keterbatasan
regulatoris dan supervisi. Keterbatasn inilah yang kemudian memunculkan ide pemisahan
fungsi pengawasan bank sentral. Meskipun ada yang berpendapat bahwa pemisahan
tersebut dapat mengganggu stabilitas sistemik sistem keuangan. Goodhart dan
Schoenmaker, “Should the Functions of Monetary Policy and Banking Supevision be
Separated?,” Oxford Economic Papers, Vol.47, No.4, Oktober 1995, hlm.
540-544.
[20]Redaksi,
“Harmonisasi BI dan OJK,” 23 November 2013, www.ekonomi.kompasiana.com,
akses 10 April 2014.
[21]Selain aspek pembagian tugas yang jelas serta koordinasi dan sinkronisasi
dua lembaga tersebut, aspek-aspek lain yang juga harus diperhatikan agar OJK
tidak mengalami kegagalan layaknya lembaga pengawasan di negara-negara lain
adalah aspek pertanggungjawaban masing-masing pihak, sumber daya manusia yang
mumpuni untuk melaksanakan tanggung jawab di dalam lembaga, teknologi informasi
sebagai pendukung aktivitas pengawasan dan juga anggaran yang jelas dan
memadai. Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan......, hlm. 44-49.
[22]Ciptaswara,
“Implikasi Pembentukan OJK terhadap Pengaturan dan Pengawasan Perbankan
Indonesia…….
[23]BI,
“Memahami Tugas BI Pasca Terbentuknya OJK, Mengerti Kiat Pemanduan Museum,” Tentang
BI, www.bi.go.id, akses 10 April 2014.
[27]BI, “Peraturan BI No. 14/8/PBI/2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum,” www.bi.go.id, akses 27 Mei 2014.
[28]Modal asing yang masuk ke tanah air dipandang sebagai salah satu cara untuk
menguasai cadangan devisa. Hanya saja, kekuata asing yang masuk ke tanah air
terbukti selalu bisa mengendalikan regulasi di dalam negeri yang pada akhirnya
akan berdampak negatif bagi perkembangan ekonomi nasional jangka panjang.
Erlangga Djumena, “Regulasi Pemerintah Sulit Kendalikan Asing,” www.bisniskeuangan.kompas.com,
Sabtu, 09 November 2013, akses 27 Mei 2014.
[29]Bappenas, “PP RI No. 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum,” www.dapp.bappenas.co.id, akses 08
Juni 2014.
[30]Redaksi, “Kepemilikan Asing di Perbankan Perlu di atur Ulang: Harapan
Bertumpu pada OJK,” www.hukumonline.com,
Selasa 22 Juni 2013, akses 27 Mei 2014.
[31]Redaksi, “Waspadai Cara Asing Kuasai Perbankan: Diam-diam Investor Asing
Membeli Saham Bank Swasta Nasional Melalui Bursa,” www.hukumonline.com, Kamis, 04 april
2013, akses 27 Mei 2014.
[32]BI, “Peraturan BI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah,” www.bi.go.id, akses 27 Mei 2014.
[33] DSN, “Fatwa DSN No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum
Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar