Rabu, 02 Mei 2018

MANAJEMEN RISIKO: SEBUAH SURVEI TERHADAP LEMBAGA KEUANGAN ISLAM_210314


Tulisan ini meneliti aspek-aspek yang berbeda terkait manajemen risiko dalam lembaga keuangan Islam. Penelitian ini dilakukan lewat kuesioner dan wawancara di lapangan  dengan pegawai bank. Kuesioner dikirimkan kepada 68 bank di 28 negara dan kunjungan ke Bahrain, Mesir, Malaysia, dan Uni Emirat Arab untuk membahas tentang manajemen risiko lembaga keuangan Islam. 17 kuesioner dikembalikan dari 10 negara. Pertanyaan yang diajukan secara garis besar dibagi kepada dua jenis, yaitu pertama serangkaian pertanyaan yang berhubungan dengan persepsi pegawai bank terkait persoalan-persoalan berbeda. Kedua, serangkaian pertanyaan dengan jawaban afirmatif atau negasi (Khan dan Ahmed, 2001: 59-60).
A.  Berbagai Persepsi tentang Risiko
1.    Risiko menyeluruh yang dihadapi lembaga keuangan Islam
Berdasarkan penelitian, diperoleh hasil terkait risiko secara keseluruhan yang dihadapi oleh lembaga keuangan Islam. Risiko mark-up dipandang sebagai risiko yang paling tinggi karena tidak bisa dihargai ulang dan tidak bisa menggunakan swap untuk memindahkan risikonya. Sementara itu, risiko operasional juga tergolong tinggi karena perbankan Islam masih tergolong baru maka hal-hal terkait operasinya masih perlu dibentuk yang mencakup pelatihan pegawai, pembuatan program komputer, dan dokumen hukum. Risiko likuiditas lembaga keuangan Islam juga tinggi dibandingkan risiko kredit. Hal ini barangkali terjadi karena kekurangan instrumen pasar uang untuk mengatur likuiditas. Risiko kredit tergolong rendah mungkin karena dengan pembiayaan berbasis aset atau komoditasnya, lembaga keuangan Islam bisa meminimalisir risiko dengan menjadikan aset/ komoditas sebagai jaminan. Risiko pasar terjadi pada instrumen seperti komoditas dan ekuitas yang diperdagangkan di pasar (Khan dan Ahmed, 2001: 61).
2.    Risiko dalam model pembiayaan yang berbeda-beda
a.    Risiko kredit
Risiko kredit paling sedikit didapat pada praktik murabahah dan paling banyak pada praktik musyarakah. Hal ini menunjukkan bahwa pembiayaan berbasis bagi hasil memberikan risiko yang lebih tinggi bagi bank. Risiko ini barangkali muncul ketika penerima pembiayaan tidak memberikan hak bagi hasil bank. Aset bank Islam terkonsentrasi pada aset dengan pendapatan tetap seperti murabahah dan ijarah. Alasannya barangkali adalah karena dua instrumen ini dipandang sebagai yang paling minim risiko kreditnya (Khan dan Ahmed, 2001: 62-63).
b.    Risiko mark-up
Risiko mark-up paling tinggi timbul pada kontrak istishna’ dan salam. Sedangkan risiko mark-up paling kecil ada pada kontrak murabahah. Tingginya risiko mark-up pada kontrak istishna’ mungkin karena pada dasarnya kontrak ini berjangka panjang. Murabahah paling sedikit risiko mark-upnya karena biasanya untuk jangka pendek (Khan dan Ahmed, 2001: 63-64).
c.    Risiko likuiditas
Risiko likuiditas instrumen akan semakin kecil jika aset bisa dijual di pasar dan/ atau punya jatuh tempo jangka pendek. Mudharabah merupakan instrumen yang paling kecil risiko likuiditasnya, lalu diikuti dengan Murabahah (keduanya biasanya merupakan instrumen pembiayaan jangka pendek) (Khan dan Ahmed, 2001: 64).
d.   Risiko operasional
Risiko operasional bank Islam bisa muncul terkait risiko hukum yang tercakup dalam kontrak, pemahaman pegawai terhadap tipe pembiayaan, pembuatan program komputer, dan dokumen hukum untuk instrumen yang berbeda. Risiko operasional terlihat rendah pada aset pendapatan tetap Murabahah dan Ijarah dan paling tinggi pada kontrak jual beli tangguh Salam dan Istishna’. Tingginya angka risiko ini menunjukkan bahwa bank mendapati kontrak tersebut kompleks dan sulit untuk dipakai (Khan dan Ahmed, 2001: 64).
3.    Persoalan tambahan terkait risiko yang dihadapi lembaga keuangan Islam
Perbankan Islam merupakan industri yang relatif baru sehingga para bankir merasakan kekurangan dalam memahami risiko terkait berbagai jenis pembiayaan Islami. Selain itu, para bankir juga menghadapi risiko lain yaitu pertama, pada level pemerintahan menghadapi persoalan hukum dan pajak dan kedua, pada level bank sentral menghadapi risiko regulasi dan legislasi bank sentral, tidak adanya cabang Islam untuk memberikan pinjaman ketika dibutuhkan. Risiko-risiko lainnya adalah tidak adanya pertukaran mata uang asing jangka pendek, bencana alam, industri tertentu, ekonomi dan politik domestik, serta lingkungan keuangan dan pasar internasional (Khan dan Ahmed, 2001: 65-66).
B.  Sistem dan Proses Manajemen Risiko
1.    Membentuk lingkungan manajemen risiko yang tepat dan kebijakan serta prosedur yang baik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 13 institusi memiliki sistem manajemen risiko formal, 16 institusi memiliki komite yang bertanggungjawab untuk mengidentifikasi, memonitor, dan mengotrol beragam risiko, 16 institusi memiliki panduan, aturan, dan prosedur yang jelas terkait manajemen risiko. Berdasarkan sampel, 13 bank memiliki kebijakan yang jelas untuk mempromosikan kualitas aset, 14 bank memiliki panduan yang digunakan untuk pemberian pinjaman dan hanya 12 bank yang menentukan tingkat mark-up terhadap pinjaman dengan memperhitungkan nilai pinjaman atau risiko yang dialami (Khan dan Ahmed, 2001: 66).


2.    Mempertahankan proses pengukuran, mitigasi dan monitoring risiko yang tepat
Terkait proses pengukuran dan mitigasi risiko, hanya sebagian kecil bank Islam yang memiliki sistem komputerisasi untuk mengestimasi variabilitas pendapatan  untuk tujuan manajemen risiko. Sedangkan pada mitigasi risiko, mayoritas bank memberikan batasan kredit untuk nasabah individu dan 13 institusi mempunyai sistem untuk mengatur persoalan pinjaman. Kebanyakan banak memiliki satu kebijakan untuk mendiversifikasi investasi antar sektor dan industri, dan sebagian kecilnya tidak memiliki kebijakan ini. Dalam rangka pengukuran dan pengaturan risiko likuiditas, 12 institusi menyusun diagram jatuh tempo guna memonitor arus kas dan selisihnya. Untuk mengukur risiko tolak ukur, sebagian kecil bank menggunakan analisis simulasi dan tiga perempatnya memiliki sistem pelaporan reguler terkait manajemen risiko kepada manajemen senior (Khan dan Ahmed, 2001: 67).
3.    Pengendalian internal yang cukup
Berdasarkan hasil penelitian, tujuh bank memiliki beberapa sistem pengendalian internal untuk mengidentifikasi risiko-risiko yang muncul dari perubahan lingkungan. Tujuh bank  juga memiliki pengukuran dan perencanaan kontijensi untuk menghadapi bencana dan kecelakaan. Sebagian besar bank memisahkan tugas siapa yang menimbulkan risiko dan siapa yang mengatur serta mengendalikan risiko. Tiga belas bank memiliki auditor internal untuk meriview dan memverifikasi sistem manajemen risiko, panduan dan laporan risiko. Angka paling besar menunjukkan bahwa institusi memiliki backup software dan data (Khan dan Ahmed, 2001: 71).
C.  Persoalan Lain
Lembaga keuangan konvensional belakangan menggunakan derivatif untuk mengurangi risiko sekaligus untuk menghasilkan pendapatan. Sementara itu, sebagian besar lembaga keuangan Islam tidak menggunakan derivatif. Berdasarkan hasil penelitian, satu bank menggunakan kontrak forward untuk mendapatkan pendapatan, sementara beberapa bank menggunakan derivatif untuk mengurangi risiko. Lebih spesifiknya, tiga bank menggunakan forward mata uang dan masing-masing satu bank menggunakan forward komoditas, swap mata uang, swap komoditas, dan swap mark-up (Khan dan Ahmed, 2001: 72).
            Beberapa persoalan yang dihadapi lembaga keuangan Islam dalam mengatur risiko antara lain; pertama, kurangnya manajemen risiko likuiditas pada instrumen keuangan. Kedua, harga asset yang tidak bisa diatur ulang, dan ketiga kekhawatiran terkait risiko hukum dan regulasi(Khan dan Ahmed, 2001: 73-74).
D.  Manajemen Risiko di Lembaga Keuangan Islam: Sebuah Penilaian
Model pembiayaan berbasis bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) dan jual-beli pesanan (salam dan istisna’) dianggap lebih berisiko dibanding murabahah dan ijarah. Risiko lainnya dihadapi bank islam ketika mereka memberikan bagi hasil kepada depositor dalam jumlah yang tidak ditentukan sebelumnya (Khan dan Ahmed, 2001: 75).
Bank islam mampu membuat kebijakan dan prosedur manajemen risiko lebih baik daripada sekadar mengukur, mengurangi dan memonitor risiko (Khan dan Ahmed, 2001: 76).

Referensi:  Khan, Tariqullah dan Habib Ahmed, Risk management: an Analysis of Issues in Islamic Financial Industry, Occasional Paper, Jeddah (KT): 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam Selamat Datang

 Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh Selamat datang dan terimakasih kepada teman-teman yang sudah mampir ke laman rumahdialekis. ...