Tulisan
ini meneliti aspek-aspek yang berbeda terkait manajemen risiko dalam lembaga
keuangan Islam. Penelitian ini dilakukan lewat kuesioner dan wawancara di
lapangan dengan pegawai bank. Kuesioner
dikirimkan kepada 68 bank di 28 negara dan kunjungan ke Bahrain, Mesir,
Malaysia, dan Uni Emirat Arab untuk membahas tentang manajemen risiko lembaga
keuangan Islam. 17 kuesioner dikembalikan dari 10 negara. Pertanyaan yang
diajukan secara garis besar dibagi kepada dua jenis, yaitu pertama serangkaian
pertanyaan yang berhubungan dengan persepsi pegawai bank terkait
persoalan-persoalan berbeda. Kedua, serangkaian pertanyaan dengan jawaban
afirmatif atau negasi (Khan dan Ahmed, 2001: 59-60).
A. Berbagai Persepsi tentang Risiko
1. Risiko menyeluruh yang
dihadapi lembaga keuangan Islam
Berdasarkan penelitian, diperoleh hasil terkait
risiko secara keseluruhan yang dihadapi oleh lembaga keuangan Islam. Risiko mark-up
dipandang sebagai risiko yang paling tinggi karena tidak bisa dihargai ulang
dan tidak bisa menggunakan swap untuk memindahkan risikonya. Sementara itu,
risiko operasional juga tergolong tinggi karena perbankan Islam masih tergolong
baru maka hal-hal terkait operasinya masih perlu dibentuk yang mencakup
pelatihan pegawai, pembuatan program komputer, dan dokumen hukum. Risiko
likuiditas lembaga keuangan Islam juga tinggi dibandingkan risiko kredit. Hal
ini barangkali terjadi karena kekurangan instrumen pasar uang untuk mengatur
likuiditas. Risiko kredit tergolong rendah mungkin karena dengan pembiayaan
berbasis aset atau komoditasnya, lembaga keuangan Islam bisa meminimalisir
risiko dengan menjadikan aset/ komoditas sebagai jaminan. Risiko pasar terjadi
pada instrumen seperti komoditas dan ekuitas yang
diperdagangkan di pasar (Khan dan Ahmed, 2001: 61).
2. Risiko dalam model pembiayaan
yang berbeda-beda
a.
Risiko kredit
Risiko
kredit paling sedikit didapat pada praktik murabahah dan paling banyak pada praktik
musyarakah. Hal ini menunjukkan bahwa pembiayaan berbasis bagi hasil memberikan
risiko yang lebih tinggi bagi bank. Risiko ini barangkali muncul ketika
penerima pembiayaan tidak memberikan hak bagi hasil bank. Aset bank Islam
terkonsentrasi pada aset dengan pendapatan tetap seperti murabahah dan ijarah.
Alasannya barangkali adalah karena dua instrumen ini dipandang sebagai yang
paling minim risiko kreditnya (Khan dan Ahmed, 2001: 62-63).
b.
Risiko mark-up
Risiko
mark-up paling tinggi timbul pada kontrak istishna’ dan salam. Sedangkan risiko
mark-up paling kecil ada pada kontrak murabahah. Tingginya risiko mark-up pada
kontrak istishna’ mungkin karena pada dasarnya kontrak ini berjangka panjang.
Murabahah paling sedikit risiko mark-upnya karena biasanya untuk jangka pendek (Khan dan Ahmed, 2001: 63-64).
c.
Risiko likuiditas
Risiko
likuiditas instrumen akan semakin kecil jika aset bisa dijual di pasar dan/
atau punya jatuh tempo jangka pendek. Mudharabah merupakan instrumen yang
paling kecil risiko likuiditasnya, lalu diikuti dengan Murabahah (keduanya
biasanya merupakan instrumen pembiayaan jangka pendek) (Khan dan Ahmed, 2001: 64).
d.
Risiko operasional
Risiko
operasional bank Islam bisa muncul terkait risiko hukum yang tercakup dalam
kontrak, pemahaman pegawai terhadap tipe pembiayaan, pembuatan program
komputer, dan dokumen hukum untuk instrumen yang berbeda. Risiko operasional
terlihat rendah pada aset pendapatan tetap Murabahah dan Ijarah dan paling
tinggi pada kontrak jual beli tangguh Salam dan Istishna’. Tingginya angka
risiko ini menunjukkan bahwa bank mendapati kontrak tersebut kompleks dan sulit
untuk dipakai (Khan dan Ahmed, 2001: 64).
3. Persoalan tambahan terkait
risiko yang dihadapi lembaga keuangan Islam
Perbankan
Islam merupakan industri yang relatif baru sehingga para bankir merasakan
kekurangan dalam memahami risiko terkait berbagai jenis pembiayaan Islami.
Selain itu, para bankir juga menghadapi risiko lain yaitu pertama, pada level
pemerintahan menghadapi persoalan hukum dan pajak dan kedua, pada level
bank sentral menghadapi risiko regulasi dan legislasi bank sentral, tidak adanya cabang Islam untuk
memberikan pinjaman ketika dibutuhkan. Risiko-risiko lainnya adalah tidak
adanya pertukaran mata uang asing jangka pendek, bencana alam, industri
tertentu, ekonomi dan politik domestik, serta lingkungan keuangan dan pasar
internasional (Khan dan Ahmed, 2001: 65-66).
B. Sistem dan Proses Manajemen Risiko
1.
Membentuk lingkungan manajemen risiko yang tepat dan kebijakan serta
prosedur yang baik
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa 13 institusi memiliki sistem manajemen risiko
formal, 16 institusi memiliki komite yang bertanggungjawab untuk
mengidentifikasi, memonitor, dan mengotrol beragam risiko, 16 institusi
memiliki panduan, aturan, dan prosedur yang jelas terkait manajemen risiko.
Berdasarkan sampel, 13 bank memiliki kebijakan yang jelas untuk mempromosikan
kualitas aset, 14 bank memiliki panduan yang digunakan untuk pemberian pinjaman
dan hanya 12 bank yang menentukan tingkat mark-up terhadap pinjaman dengan
memperhitungkan nilai pinjaman atau risiko yang dialami (Khan dan Ahmed, 2001: 66).
2.
Mempertahankan proses pengukuran, mitigasi dan monitoring risiko yang tepat
Terkait
proses pengukuran dan mitigasi risiko, hanya sebagian kecil bank Islam yang
memiliki sistem komputerisasi untuk mengestimasi variabilitas pendapatan untuk tujuan manajemen risiko. Sedangkan pada
mitigasi risiko, mayoritas bank memberikan batasan kredit untuk nasabah
individu dan 13 institusi mempunyai sistem untuk mengatur persoalan pinjaman.
Kebanyakan banak memiliki satu kebijakan untuk mendiversifikasi investasi antar
sektor dan industri, dan sebagian kecilnya tidak memiliki kebijakan ini. Dalam
rangka pengukuran dan pengaturan risiko likuiditas, 12 institusi menyusun
diagram jatuh tempo guna memonitor arus kas dan selisihnya. Untuk mengukur
risiko tolak ukur, sebagian kecil bank menggunakan analisis simulasi dan tiga
perempatnya memiliki sistem pelaporan reguler terkait manajemen risiko kepada
manajemen senior (Khan dan Ahmed, 2001: 67).
3.
Pengendalian internal yang cukup
Berdasarkan
hasil penelitian, tujuh bank memiliki beberapa sistem pengendalian internal untuk
mengidentifikasi risiko-risiko yang muncul dari perubahan lingkungan. Tujuh
bank juga memiliki pengukuran dan
perencanaan kontijensi untuk menghadapi bencana dan kecelakaan. Sebagian besar
bank memisahkan tugas siapa yang menimbulkan risiko dan siapa yang mengatur
serta mengendalikan risiko. Tiga belas bank memiliki auditor internal untuk
meriview dan memverifikasi sistem manajemen risiko, panduan dan laporan risiko. Angka paling
besar menunjukkan bahwa institusi memiliki backup software dan data (Khan dan Ahmed, 2001: 71).
C. Persoalan Lain
Lembaga
keuangan konvensional belakangan menggunakan derivatif untuk mengurangi risiko
sekaligus untuk menghasilkan pendapatan. Sementara itu, sebagian besar lembaga keuangan Islam tidak
menggunakan derivatif. Berdasarkan hasil penelitian, satu bank menggunakan kontrak forward untuk
mendapatkan pendapatan, sementara beberapa bank menggunakan derivatif untuk
mengurangi risiko. Lebih spesifiknya, tiga bank menggunakan forward mata uang
dan masing-masing satu bank menggunakan forward komoditas, swap mata uang, swap
komoditas, dan swap mark-up (Khan dan Ahmed, 2001: 72).
Beberapa persoalan yang dihadapi lembaga keuangan Islam
dalam mengatur risiko antara lain; pertama, kurangnya manajemen risiko
likuiditas pada instrumen keuangan. Kedua, harga asset yang tidak bisa diatur
ulang, dan ketiga
kekhawatiran
terkait risiko hukum dan regulasi(Khan dan Ahmed, 2001: 73-74).
D. Manajemen Risiko di Lembaga Keuangan Islam:
Sebuah Penilaian
Model
pembiayaan berbasis bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) dan jual-beli
pesanan (salam dan istisna’) dianggap lebih berisiko dibanding murabahah dan
ijarah. Risiko lainnya dihadapi bank islam ketika mereka memberikan bagi hasil
kepada depositor dalam jumlah yang tidak ditentukan sebelumnya (Khan dan Ahmed, 2001: 75).
Bank
islam mampu membuat kebijakan dan prosedur manajemen risiko lebih baik daripada
sekadar mengukur,
mengurangi dan memonitor risiko (Khan dan Ahmed, 2001: 76).
Referensi: Khan, Tariqullah dan Habib Ahmed, “Risk management: an Analysis of Issues in Islamic Financial
Industry,” Occasional Paper, Jeddah (KT): 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar