A. Prolog
Obligasi merupakan surat pengakuan
utang. Dalam pasar modal konvensional, obligasi diperdagangkan dengan tingkat
suku bunga tertentu. Dalam pasar modal syariah sendiri, kita mengenal ada
istilah sukuk atau obligasi syariah. Islam melarang adanya jual beli utang.
Utang tidak untuk diperdagangkan, lalu bagaimana dengan obligasi syariah,
bukankah itu termasuk perdagangan utang?
Menjawab pertanyaan teresebut, definisi
obligasi konteks syariah harus dibedakan dengan konvensional. Dalam pasar modal
syariah, obligasi atau sukuk merupakan sertifikat penyertaan dalam bentuk akad
sesuai syariah seperti mudharabah, ijarah, istishna’ dan sebagainya. Dengan
begitu, transaksi jual-beli sertifikat sukuk bukan sepenuhnya jual-beli utang
sehingga diperbolehkan dalam syariah.
Salah satu bentuk sukuk adalah bay’
al-inah dan bay’ al-dayn yang ada di pasar modal syariah di Malaysia. Dalam
tulisan ini akan dilihat apa itu bay’ al-inah dan bay’ al-dayn. Bagaimana Islam
memandang keduanya, seperti apa praktiknya di Malaysia yang diaplikasikan pada
sukuk. Agar sampai pada aplikasi bay’ al-inah dan bay’ al-dayn, akan
dibicarakan terlebih dahulu sukuk, jenis-jenis dan risiko perdagangannya.
B.
Sukuk
1.
Pengertian
Sukuk
Kata sukuk berasal dari bahasa Arab,
jamak dari sakk yang berarti sertifikat. AAOIFI mendefinisikan sukuk
sebagai sertifikat bernilai sama yang merupakan bukti kepemilikan atas suatu
asset, hak manfaat, jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek maupun kegiatan
investasi tertentu yang tidak dibagikan.[1]
Sukuk pertama kali diperkenalkan sebagai
instrument keuangan Islam pada yurisprudensi keuangan Islam Islamic Development
Bank pada tahun 2002. Sukuk berarti sertifikat dengan nilai nominal tertentu
yang dilengkapi dengan bukti pembayaran kegiatan dalam jumlah tertentu yang
disebutkan oleh pembeli kepada penerbit sukuk, dan pemegang sertifikat tersebut
akan menjadi pemilik sejumlah asset atau keuntungan yang didapat dari asset,
ataupun keuntungan yang diperoleh dari proyek atau investasi khusus.[2]
Berdasarkan definisinya, sukuk memiliki
karakteristik berupa: (1) bukti kepemilikan asset atau hak manfaat, (2)
pendapatan dari sukuk berupa imbalan atau kupon, margin, bagi hasil sesuai
dengan akad yang digunakan, (3) bebas dari unsure riba, gharar dan maysir, (4) diterbitkan
melalui Special Purpose Vehicle, (5) memerlukan underlying asset, dan
(6) proceed harus digunakan sesuai syariah.
Keuntungan atau manfaat yang dapat
diperoleh dari sukuk ini antara lain: (1) sukuk merupakan produk pasar modal
sesuai dengan syariah yang dapat diperdagangkan dan memberikan return tetap
ataupun variabel, untuk jangka menengah ataupun untuk jangka panjang, (2) pendapatan
periodic dalam jumlah tertentu mengalir selama periode investasi secara mudah
dan efektif serta apresiasi modal sukuk, dan (3) sukuk merupakan instrument
likuid yang bisa diperdagangkan di pasar sekunder.[3]
2.
Penggunaan
Underlying Asset
Dalam rangka menerbitkan sukuk,
diperlukan sejumlah asset tertentu yang akan menjadi objek perjanjian (underlying
asset). Asset sebagai objek perjanjian tersebut harus memiliki nilai
ekonomis yang data berupa asset berwujud maupun asset tidak berwujud. Fungsi
underlying asset ini sendiri adalah:[4]
a. Untuk menghindari riba
b. Sebagai prasyarat untuk dapat
memperdagangkan sukuk di pasar sekunder
c. Sebagai penentu jenis struktur sukuk
Pada sukuk Ijarah al-Muntahiya
Bittamlik ataupun Ijarah Sale and Lease Back, penjualan asset tidak
disertai dengan penyerahan fisik asset tapi yang dialihkan adalah hak manfaat
sementara kepemilikan asset (legal title) tetap pada obligor. Pada akhir
periode sukuk, SPV wajib menjual kembali asset tersebut kepada obligor.
3.
Pihak
yang Terlibat dalam Penerbitan Sukuk[5]
a. Obligor sebagai pihak yang
bertanggungjawab atas pembayaran imbalan dan nilai nominal sukuk yang
diterbitkan sampai dengan waktu jatuh temponya sukuk.
b. Special Purpose Vehicle
sebagai badan hokum yang didirikan khusus untuk penerbitan sukuk dengan fungsi
(1) sebagai penerbit sukuk, (2) menjadi counterpart obligor dalam
pengalihan asset, (3) sebagai wali amanat untuk mewakili kepentingan investor
c. Investor sebagai pemegang sukuk yang
memiliki hak atas imbalan, margin dan nilai nominal sukuk sesuai dengan
partisipasi masing-masing
4.
Perbandingan
Sukuk dan Obligasi
Hal mendasar yang membedakan sukuk
dengan obligasi antara lain adalah (1) penggunaan konsep imbalan dengan bagi
hasil sebagai pengganti bunga, (2) adanya transaksi pendukung atau underlying
transaction sebagai dasar penerbitan sukuk, dan (3) adanya akad/ perjanjian
antara pihak-pihak terkait. Lebih jelasnya, perbandingan sukuk dan obligasi
dapat dilihat sebagai berikut:[6]
|
Deskripsi
|
Sukuk
|
Obligasi
|
|
Penerbit
|
Pemerintah,
korporasi
|
Pemerintah, Korpo-
|
|
|
|
rasi
|
|
Sifat instrumen
|
Sertifikat ke-
|
Instrumen pengakuan
|
|
|
pemilikan
/penyertaan
|
utang
|
|
|
atas suatu aset
|
|
|
Penghasilan
|
Imbalan, bagi
hasil, margin
|
Bunga/kupon, capital
gain
|
|
Jangka waktu
|
Pendek - menengah
|
Menengah - panjang
|
|
Underlying asset
|
Perlu
|
Tidak perlu
|
|
Pihak yang ter-kait
|
Obligor, SPV,
inves-tor, Trustee
|
Obligor/issuer,
inves-tor
|
|
Price
|
Market Price
|
Market Price
|
|
Investor
|
Islami,
konvensional
|
konvensional
|
|
Pembayaran
|
Bullet atau amortisasi
|
Bullet atau amortisasi
|
|
pokok
|
|
|
|
Penggunaan hasil
|
Harus sesuai
syariah
|
Bebas
|
|
penerbitan
|
|
|
5. Jenis-jenis Sukuk[7]
Klasifikasi asset dapat menentukan jenis
atau tipe sertifikat yang akan diterbitkan. Asset-aset tersebut dapat disiapkan
untuk menerbitkan sertifikat trust dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan
entitas penerbit.
a. Sukuk Ijarah murni
Sertifikat ini diterbitkan atas asset
tunggal. Asset tersebut dapat berupa sebidang tanah atau peralatan yang dapat
disewakan seperti kapal dan pesawat terbang. Tingkat return dalam bentuk sewa
pada sukuk ini bisa tetap atau bervariasi tergantung originator tertentu.
b. Sukuk Hybrid/ Pooled
Sekelompok underlying asset dapat
terdiri dari Istishna’, Murabahah, dan Ijarah. Portofolio asset
yang terdiri dari jenis yang berbeda dapat menyebabkan mobilisasi dana yang
besar di mana persentase terbesar merupakan asset Ijarah. Meskipun
piutang Murabahah dan Istishna’ merupakan bagian dari kelompok
asset ini, tetap saja return dari sertifikat tersebut bisa berupa tingkat
return tetap yang ditentukan di awal
c. Variable Rate Redeemable Sukuk
Dua tipe sukuk sebelumnya, sukuk ijarah
murni dan sukuk hybrid secara parsial mencerminkan kekuatan neraca penerbit.
Dalam beberapa kondisi, sukuk yang memperlihatkan kekuatan penuh neraca
penerbit sukuk tersebut akan memberikan manfaat. Beberapa entitas perusahaan
mengacu pada sukuk-suku ini seperti Musyarakah Term Finance Certificates (MTFCs).
MTFCs dapat menjadi alternative sukuk karena posisinya yang lebih utama dalam
hal ekuitas penerbit sukuk, sifatnya yang mudah didapatkan kembali, dan tingkat
keuntungan yang relative lebih stabil dibandingkan pembagian dividen. Adapun
,manfaat MTFCs ini antara lain:
1) Keuntungan pelaku Musyarakah
lebih disukai dari sudut pandang ahli hukum polanya memperkuat paradigm
perbankan Islam yang memandang kemitraan sebagai perwujudan prinsip inti dalam
Islam
2) Tingkat keuntungan sertifikat yang
mengambang tidak akan tergantung pada benchmark dengan referensi pasar
melainkan tergantung pada aktualisasi neraca perusahaan.
d. Zero Coupon non-Tradable Sukuk
Ada juga jenis sukuk yang diterbitkan
sementara asset yang akan dimobilisasi belum ada sama sekali. Sebagai
konsekuensinya, tujuan dari mobilisasi dana adalah untuk menciptakan lebih
banyak asset di neraca perusahaan melalui Istishna’. Pada dasarnya,
sertifikat semacam ini belum bisa diperdagangkan karena batasan syariah. Kelompok
asset utama yang akan dibuat dijamin dengan Istishna’ dan kontrak
jual-beli angsuran yang akan menimbulkan kewajiban utang. Sertifikat
berdasarkan kontrak tersebut bisa dikatakan sebagai fixed rate zero coupon
sukuk.
e. Embedded Sukuk
Jenis sukuk yang satu ini bisa saja sukuk dengan zero-coupon, Ijarah
murni atau hybrid dengan hak opsi yang melekat padanya untuk mengganti dengan
asset lain tergantung pada kondisi tertentu.
C.
Risiko
Sukuk[8]
Sama halnya dengan instrument keuangan
lain, sukuk selain memiliki keunggulan yang dapat menjadi peluang kemajuan
ekonomi tentunya tidak luput dari risiko-risiko yang akan ditemui dalam
praktiknya. Risiko pasar, risiko operasional, risiko kredit, risiko
kesesuaiannya dengan syariah dan sebagainya.
1.
Risiko
Pasar
Risiko pasar dimaknai sebagai risiko
pada instrument yang diperdagangkan dalam pasar yang telah disusun dengan baik.
Ada dua jenis risiko pasar yang dapat diidentifikasi yaitu yang bersifat umum
atau sistematis dan non-sistematis atau spesifik perusahaan. Risiko pasar terdiri
dari risiko tingkat keuntungan, risiko perdagangan luar negeri, risiko harga
ekuitas dan risiko komoditas.
a.
Risiko
tingkat keuntungan
Risiko ini berlaku pada sukuk yang
didasarkan pada rate tetap. Naiknya tingkat bunga pasar akan menyebabkan
turunnya nilai sukuk dengan income tetap. Semua asset dengan return tetap
seperti Ijarah, Istishna’, dan Salam akan menghadapi risiko ini. Hal ini juga
akan berujung pada risiko re-investment dan opportunity cost untuk investasi
dengan tingkat keuntungan baru, terlebih lagi pada asset yang tidak likuid
seperti sukuk zero coupon yang didak bisa diperdagangkan. Jatuh tempo juga
memainkan peranan yang sangat penting dalam meningkatkan dampak risiko
tersebut.
b.
Risiko
perdagangan luar negeri
Risiko mata uang muncul karena fluktuasi
tingkat perdagangan yang tidak diinginkan yang tanpa diinginkan akan berdampak
terhadap posisi perdagangan luar negeri. Perbedaan antara unit mata uang di
mana asset kelompok sukuk diterbitkan, dan mata uang di mana dana sukuk
diakumulasikan, investor sukuk akan mengalami risiko perdagangan.
2.
Risiko
Kredit dan Counterparty
Risiko kredit mengacu pada probabilitas
bahwa suatu asset atau pinjaman tidak dapat diperoleh kembali karena kegagalan
atau keterlambatan dalam penyelesainnya. Jika hubungan mempengaruhi susunan
kontrak maka kemudian risiko counterparty merupakan probabilitas bahwa
counterparty menarik kembali persyaratan kontrak. Konsekuensinya, akan terjadi
penurunan nilai asset bank. Pada keuangan Islam, bank Islam tidak memiliki
akses terhadap instrument derivative dan mekanisme manajemen risiko kredit
lainnya karena pertimbangan syariah.
3.
Risiko
Sesuai Syariah
Risiko sesuai syariah mengarah pada
kehilangan nilai asset sebagai dampak dari penebusan penerbit sukuk atas
tanggung jawab kemitraannya dengan menjunjung tinggi kepatuhan terhadap
syariah. Atau bisa juga dikatakan bahwa risiko sesuai syariah adalah tingkat
keuntungan lebih dahulu dibandingkan tingkat pasar, sebagai dampak dari
ketaatan terhadap syariah. Asosiasi supervisor syariah dengan penerbitan sukuk
akan menjamin kepercayaan investor.
4.
Risiko
Operasional
Ada
beberapa risiko operasional yang dihadapi sukuk. Risiko-risiko tersebut
mencerminkan mereka yang eksis di pasar obligasi konvensional dan beroperasi
pada rasio bahwa mereka inheren dengan struktur penerbitan daripada dengan
prinsip-prinsip Islam yang mendasarinya.
a.
Risiko
default
Masing-masing prospektus memiliki
pandangan kedepan untuk mengakhiri sertifikat ketika terjadi default pada
penerbit obligasi atau sukuk. Ketika penerbit gagal atau tidak mampu membayar
sewa berdasarkan kontrak Ijarah yang menimbulkan pembayaran kupon, pemegang
sertifikat sukuk bisa saja mengeksekusi haknya untuk membatalkan kontrak dan
memaksa penerbit untuk membeli kembali asetnya. Tidak hanya itu, ketika
penerbit tidak mampu membayar kembali dana pokok maka pemegang sertifikat sukuk
bisa melakukan tindakan hukum dan memaksa penerbit untuk melanjutkan utang.
b.
Risiko
pembayaran kupon
Penerbit boleh jadi gagal membayar kupon
yang diminta tepat pada waktunya. Setiap kupon yang tertunda akan menimbulkan
pembayaran dalam jumlah tertentu yang akan diakumulasikan dengan SPV. Dana yang
diakumulasikan tersebut direkomendasikan oleh dewan Syariah untuk didonasikan
guna tujuan derma.
c.
Risiko
penebusan asset
Penerbit harus membeli kembali
underlying asset dari pemegang sertifikat sukuk. Dana pokok yang dibayarkan
tidak boleh sama dengan jumlah penerbitan sukuk, dan akibatnya, terdapat risiko
yang tidak dapat ditebus sepenuhnya oleh asset.
d.
Risiko
spesifik SPV
SPV pada dasarnya didesain untuk menjadi
badan independen penghubung dari penerbit. Mungkin saja ada kemungkinan risiko
penyelesaian terkait dengan SPV di mana penerbit harus menyalurkan pembayaran
melalui clearinghouse. Sementara itu, pemegang sertifikat kemudian akan
membayar kembali melalui clearinghouse.
e.
Risiko
spesifik investor
Pemegang sertifikat terkait dengan
beberapa risiko yang berhubungan dengan struktur sukuk. Risiko-risiko tersebut
terutama berkaitan dengan likuiditas. Struktur sukuk, ketika dikaitkan dengan
isu manajemen likuiditas dalam keuangan Islam, diarahkan kepada risiko
likuiditas karena di sana tidak ada pasar sekunder dengan struktur yang baik
dan cukup likuid. Sertifikat-sertifikat dilist pada beberapa pasar local tapi
ini saja tidak menandakan likuiditas sertifikat-sertifikat tersebut. Sertifikat
sukuk merupakan kontrak jangka menengah dan jangka panjang dan akan terus
sukses tergantung pada kemampuannya untuk berkembang ke dalam dana investasi
yang sangat likuid dengan mekanisme manajemen risiko yang memadai.
f.
Berbagai risiko terkait asset
Underlying asset sertifikat sukuk
memiliki banyak risiko. Terutama, risiko kehilangan asset. Risiko ini tergolong
minim jika pada asset Ijarah semisal sepetak lahan. Namun, dalam kasus
peralatan dan tipe konstruksi dalam skala besar pada asset IDB, risiko
kehilangan barangkali tidak dapat disepelekan. Berdasarkan prinsip syariah, SPV
biasanya akan selalu dibutuhkan untuk mengemban tanggung jawab untuk memastikan
pemeliharaan asset.
5.
Rigiditas
Institusi
Sukuk
mula-mula muncul di negara-negara berkembang. Infrastruktur di beberapa negara
berkembang tersebut seperti Bahrain dan Malaysia juga mulai berkembang dengan
baik. Namun begitu, pada umumnya infrastruktur ini lemah jika berada di negara
yang ekonominya maju. Selain itu, sukuk juga memerlukan struktur unik yang
sesuai dengan syariah. Hal ini menciptakan sebuah kondisi, yang bisa
dikategorikan sebagai sebuah rigiditas institusional dan tidak bisa dipindahkan
dalam waktu singkat, secara terus menerus akan meningkatkan risiko sukuk. Bentuk-bentuk
dari kondisi tersebut antara lain:
a. Kurang lindung-nilai dan proses
engineering keuangan
b. Tidak adanya pasar uang antar bank
c. Kurangnya standar dan penguasa pengaturan praktis terbaik
d. Lemahnya proses pengadilan dan dukungan
kerangka hukum, terutama dalam hal ancaman default
e. Tidak satunya system akuntansi, audit
dan pengakuan untung-rugi
f. Penilaian
investasi, infrastruktur promosi dan monitoring yang tidak sehat
g. System penaksiran kredit eksternal yang
tidak efektif
h. Kondisi pasar keuangan yang belum
sempurna
i. Lemahnya
jaringan dan dukungan antar segmen
D.
Sukuk
di Malaysia
1.
Aplikasi
dan Konsep Sekuritas Utang di Malaysia
Pasar modal Syariah di Malaysia muncul
dan mengalami pertumbuhan yang begitu signifikan. Sekarang, pasar modal syariah
di Malaysia dilengkapi berbagai produk, infrastruktur, institusi, agen-agen dan
para investor yang memberikan kontribusi bagi perkembangan dan perluasan pasar
modal. Pasar modal di Malaysia terdiri dari dua pasar utama:[9]
a.
Pasar
ekuitas yang berhubungan dengan saham dan surat-surat berharga perusahaan
b.
Pasar
obligasi yang berkaitan dengan sekuritas utang pribadi dan publik
Pertumbuhan dan perkembangan pasar
obligasi syariah di Malaysia begitu luar biasa. Terjadi peningkatan angka dari
RM0,3 milyar pada tahun 1994 menjadi RM42 milyar di tahun 2006. Selain itu,
pasar modal Malaysia menguasai 67% sukuk dunia yang diterbitkan sekaligus
Malaysia merupakan di antara yang pertama menerbitkan Sekuritas Utang Islami.
Sukuk
atau obligasi syariah bisa dikembangkan berdasarkan variasi kontrak dalam Islam
semisal Murabahah, Bay’ Bithaman Ajil (BBA), Mudharabah, Musyarakah, Ijarah,
dan Istishna’. Surat utang Murabahah merupakan bentuk pembiayaan syariah yang
paling populer di Malaysia. Karena terdapat kontroversi syariah terkait konsep
Bay’ al Inah dan Bay’ al-Dayn dalam obligasi syariah, maka Malaysia mengadopsi
konsep Ijarah dalam isu baru obligasi syariah.[10]
Obligasi dengan konsep Mudharabah dan
Musyarakah baru belakangan ini diaplikasikan di Malaysia. Tahun 2006, 27 dari
64 sukuk yang diterbitkan di Malaysia berdasarkan konsep Mudharabah dan
Musyarakah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil. Tidak seperti
pembiayaan konvensional, shahibul maal obligasi syariah dengan dua onsep ini
juga harus menanggung risiko ekuitas selain risiko kredit. Oleh karena itu,
insentif pajak yang ditawarkan pemerintah akan mengurangi biaya obligasi tipe
ini dan menyebabkan aliran kas masuk di masa mendatang menjadi lebih menarik.
2.
Obligasi
Syariah di Malaysia
Sejak tahun 1992, Agen Rating Malaysia
dan Korporasi Agen Rating Malaysia menilai 20 sekuritas utang pribadi yang
diterbitkan di Malaysia. Kebanyak obligasi yang diterbitkan dan diperdagangkan
berdasarkan pada bay’ al-inah dan bay’ al-dayn. Agar lebih dapat memahami peran
bay’ al-dayn dalam pasar obligasi syariah, akan lebih baik diperhatikan
terlebih dahulu tiga tahapan utama yang tercakup dalam penerbitan obligasi
yaitu (1) sekuritisasi yang merupakan tahapan pengadaan asset bay’ al-inah, (2)
penerbitan obligasi yaitu penerbitan sertifikat obligasi (shahdah al-dayn),
dan (3) perdagangan sertifikat utang di mana sertifikat utang diperjualbelikan
di pasar kedua dengan menggunakan akad bay’ al dayn.[11]
a.
Tahapan
pertama: Pengadaan asset Bay’ al-Inah
Sekuritisasi asset merupakan esensi
penerbitan obligasi syariah di mana obligasi harus berperan sebagai harta atau
property agar layak menjadi objek perdagangan. Jika sertifikat oligasi didukung
dengan sebuah asset yang terbukti melalui proses sekuritisasi, maka obligasi
tersebut berubah menjadi sebuah nilai objek dan layak untuk menjadi objek
perdagangan yang dapat diperjualbelikan di pasar perdana dan sekunder. Kemudian,
investor akan memiliki hak untuk menjual obligasi-obligasi tersebut. Pada sekuritisasi
asset bay’ al-inah, pemodal membeli sebuah asset dari penerbit dan menjualnya
kembali kepada pihak yang sama dengan harga kredit. Kontrak pembelian kembali
ini akan memastikan bahwa penerbit akan menerima uang dalam bentuk kas
sementara pemodal dibayar di depan atau jumlah yang disepakati di masa yang
akan dating. Pembayaran utang akan tercipta melalui angsuran setelah penerbitan
obligasi.[12]
b.
Tahapan
kedua: Penerbitan surat utang syariah
Tahapan
ini biasanya berlangsung di pasar perdana di mana dalam penyelesaian utang,
perusahaan yang menerbitkan sertifikat akan menjual sertifikat utang alias
obligasi kepada investor. Penerbitan sertifikat utang akan sah hanya jika
penerbitan tersebut didukung dengan sebuah asset. Dengan kata lain, obligasi
harus disekuritisasi. Dalam hal ini, underlying sekuritasnya adalah asset bay’
bitsamanin ajil atau asset murabahah, meskipun bisa juga menggunakan kontrak
yang lain. Penerbitan obligasi syariah yang baru bisa dikategorikan ke dalam
dua jenis yaitu yang disebut dengan penerbitan obligasi disertai kupon dan
penerbitan obligasi yang tidak disertai kupon. [13]
c.
Tahapan
ketiga: Perdagangan sertifikat utang-Diskonto Bay’ al-dayn
Perdagangan obligasi di pasar sekunder
sangat penting untuk tujuan likuiditas. Obligasi bisa dijual oleh investor
kepada penerbit ataupun kepada pihak ketiga jika terdapat pasar kedua bagi
obligasi syariah. Perdagangan atau jualbeli sertifikat ini dinamakan bay
al-dayn. Ulama Timur Tengah tidak sepakat dengan kontrak bay’ al-dayn pada
diskonto (karena dapat menimbulkan praktik riba), tapi di Malaysia, konsep ini
diterima.[14]
3.
Melihat
Praktik Bay’ al-Inah dan Bay’ al-Dayn di Malaysia dengan Perspektif Islam
a.
Bay’
al inah dan proses sekuritisasi
Obligasi sama seperti pinjaman di mana
dalam investasi obligasi, investor secara efektif meminjamkan uang kepada
penerbit obligasi untuk jangka waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Investor
akan mendapatkan keuntungan berupa bunga. Bunga yang diperoleh investor dari
obligasi lebih tinggi daripada bunga deposito di bank. Hal ini berlaku dalam
dunia konvensional. Sementara dalam syariah, pinjaman itu adalah kontrak ribawi
dan ketika peminjam menjamin keuntungan tergantung waktu peminjaman atau karena
hal lainnya maka hal tersebut adalah riba.[15]
Oleh karena itu, untuk melihat apakah
obligasi syariah di Malaysia mengandung riba atau tidak, maka perlu
diperhatikan terkait definisi dan sifat-sifat obligasi itu sendiri.
1)
Pengertian
bay’ al-inah
Bay’ al-inah umumnya dikenal dengan
perdagangan berbasis transaksi nasi’ah (penundaan). Aplikasinya, seorang yang
berhutang menjual sesuatu kepada yang mempiutangi untuk mendapatkan uang kas
secara langsung, dan di waktu bersamaan yang mempiutangi membeli objek yang
sama secara langsung untuk mendapatkan jumlah yang lebih besar di masa yang
akan dating. Transaksi ini sama dengan pinjaman dan perbedaan kedua harga akan
menimbulkan bunga. Lalu bagaimana
pandangan Islam terkait kontrak seperti ini apakah perdagangan semacam ini
diperbolehkan atau tidak.[16]
2)
Pandangan
ulama tentang bay’ al-inah[17]
Menurut syafi’iyah, perdagangan semacam
bay’ al-inah diperbolehkan karena kontraknya sah dengan fakta-fakta eksternal
yang mereka penuhi yaitu niat kedua belah pihak untuk melakukan tindakan
tersebut.
Sementara itu, Malikiyah dan pengikut
Hambali menganggap bahwa bay’ ak-inah itu tidak sah karena menurut mereka motif
kedua belah pihak terhadap kontrak menentukan legal atau tidaknya kontrak
tersebut, dan dalam kontrak bay’ al-inah ini, motif kedua belah pihak adalah
illegal sehingga jual beli tidak sah.
Dari dua pandangan yang berbeda tersebut
bisa dikatakan bahwa ternyata bay’ al-inah merupakan praktik legal guna
menanggulangi larangan riba dengan asumsi bahwa tidak seorangpun mau melakukan
perdagangan semacam itu jika ia tidak bisa mendapatkan keuntungan. Namun
begitu, praktik ini dilarang jika dia berbasis pada peningkatan yang tidak adil
atau menerima keuntungan moneter tanpa memberikan countervalue.
b.
Sifat
bay’ al-dayn[18]
Persoalan terkait ba’ al-dayn muncul
ketika obligasi atau sukuk diperdagangkan di pasar skunder pada tingkat diskon.
Pantaslah jika dikatakan bahwa para pembeli di pasar sekunder merupakan
speculator yang tidak berencana untuk menyimpan obligasi dengan tujuan
investasi jangka panjang. Tujuan utama mereka adalah mendapatkan capital gain
dengan cepat berdasarkan likuiditas pasar dan pergerakan tingkat suku bunga. Bagaimanapun,
tidak ada kontroversi terkait bay’ al-dayn jika obligasi dijual pada par
valuenya. Justru yang akan dikaji di sini adalah sifat bay’ al-dayn dalam
pandangan Islam. Bay’ al-dayn bisa diartikan sebagai penjualan hak piutang
kepada yang berhutang itu sendiri atau kepada pihak ketiga. Penjualan tersebut
boleh jadi untuk pembayaran langsung ataupun tangguh. Perdagangan utang dengan
pembayaran langsung boleh-boleh saja selama di bayar penuh dan tidak memberikan
manfaat bagi yang membeli dengan rasionalisasi bahwa transaksi keuangan yang
melibatkan utang tidak akan pernah membolehkan pembayaran berlawan dengan lama
periode pinjaman. Jika hal itu terjadi maka itu adalah riba.
Jika dikaitkan dengan sukuk di Malaysia yang
menggunakan prinsip bay’ al-Inah dan bay’ al-dayn, maka praktik perdagangan
sukuk semacam itu masih diragukan kesesuainnya dengan syariah. Alasannya adalah
keberadaan speculator di pasar kedua yang menjadi tempat diperdagangkannya bay’
al-dayn.
E.
Simpulan
Bay’
al-inah umumnya dikenal dengan perdagangan berbasis transaksi nasi’ah
(penundaan). Aplikasinya, seorang yang berhutang menjual sesuatu kepada yang
mempiutangi untuk mendapatkan uang kas secara langsung, dan di waktu bersamaan
yang mempiutangi membeli objek yang sama secara langsung untuk mendapatkan
jumlah yang lebih besar di masa yang akan dating. Transaksi ini sama dengan
pinjaman dan perbedaan kedua harga akan menimbulkan bunga. Bay’ al-dayn diartikan
sebagai penjualan hak piutang kepada yang berhutang itu sendiri atau kepada
pihak ketiga. Penjualan tersebut boleh jadi untuk pembayaran langsung ataupun
tangguh. Perdagangan utang dengan pembayaran langsung boleh-boleh saja selama
di bayar penuh dan tidak memberikan manfaat bagi yang membeli dengan
rasionalisasi bahwa transaksi keuangan yang melibatkan utang tidak akan pernah
membolehkan pembayaran berlawan dengan lama periode pinjaman.
Jika
dikaitkan dengan sukuk di Malaysia yang menggunakan prinsip bay’ al-Inah dan
bay’ al-dayn, maka praktik perdagangan sukuk semacam itu masih diragukan
kesesuainnya dengan syariah. Alasannya adalah keberadaan speculator di pasar
kedua yang menjadi tempat diperdagangkannya bay’ al-dayn.
DAFTAR
BACAAN
Direktorat Kebijakan Pembiayaan Syariah Direktorat
Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, Mengenal Sukuk: Instrumen
Investasi dan Pembiayaan Berbasis Syariah
Mohamed, Zureena Bt. “Sukuk-A Brief Introduction”,
dalam AZMI & Associates: a Member of Terralex World Wide, 2008
Pireh, Majid. “Islamic Financial Instrument”, dalam Securities
and Exchange Organization, Tehran, Iran
Rosly, Saifuk Azhar dan Mahmood M. Sanusi. “The
Application of Bay’ al-Inah and Bay’ al-Dayn in Malaysian Islamic Bonds: An
Islamic Analysis”, dalam International Journal of Islamic Financial Services.
Vol. 1. No. 2
Sukor M. Edil Abd., dkk. “Malaysian Sukuk: Issues in
Accounting Standard”, dalam Syariah Journal. Vol. 16. No. 1, 2008
Tariq, Ali Arsalan. “Managing Financial Risks of
Sukuk Structures”, Disertasi, Master of Sciences Loughborough
University, UK, 2004
[1] Direktorat
Kebijakan Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen
Keuangan, Mengenal Sukuk: Instrumen Investasi dan Pembiayaan Berbasis
Syariah
[2] Majid
Pireh, “Islamic Financial Instrument”, dalam Securities and Exchange
Organization, Tehran, Iran, hlm. 3
[3] Zureena
Bt. Mohamed, “Sukuk-A Brief Introduction”, dalam AZMI & Associates: a
Member of Terralex Worl Wide, 2008, hlm. 1
[7] Ali
Arsalan Tariq, “Managing Financial Risks Of Sukuk Structures”, Disertasi,
Master of Sciences Loughborough University, UK, 2004, hlm. 20-23
[9] M.
Edil Abd. Sukor, dkk., “Malaysian Sukuk: Issues in Accounting Standard”, Syariah
Journal, Vol. 16, No. 1, 2008, hlm. 66
[11] Saiful
Azhar Rosly dan Mahmood M. Sanusi, “The Application of Bay’ al-Inah and Bay’
al-Dayn in Malaysian Islamic Bonds: An Islamic Analysis”, dalam International
Journal of Islamic Financial Services, vol. 1, no. 2, hlm. 2
[12] Saiful
Azhar Rosly dan Mahmood M. Sanusi, “The Application of Bay’ al-Inah and Bay’
al-Dayn in Malaysian Islamic Bonds: ……, hlm. 3
[13] Saiful Azhar Rosly dan Mahmood M.
Sanusi, “The Application of Bay’ al-Inah and Bay’ al-Dayn in Malaysian Islamic
Bonds: ……, hlm. 3
[14] Saiful Azhar Rosly dan Mahmood M.
Sanusi, “The Application of Bay’ al-Inah and Bay’ al-Dayn in Malaysian Islamic
Bonds: ……, hlm. 6
[15] Saiful Azhar Rosly dan Mahmood M.
Sanusi, “The Application of Bay’ al-Inah and Bay’ al-Dayn in Malaysian Islamic
Bonds: ……, hlm. 7
[16] Saiful
Azhar Rosly dan Mahmood M. Sanusi, “The Application of Bay’ al-Inah and Bay’
al-Dayn in Malaysian Islamic Bonds: ……, hlm. 8
[17] Saiful
Azhar Rosly dan Mahmood M. Sanusi, “The Application of Bay’ al-Inah and Bay’
al-Dayn in Malaysian Islamic Bonds: ……, hlm. 8
[18] Saiful
Azhar Rosly dan Mahmood M. Sanusi, “The Application of Bay’ al-Inah and Bay’
al-Dayn in Malaysian Islamic Bonds: ……, hlm. 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar