MUDHARABAH
Pengertian Mudharabah
Syarikah mudharabah memiliki dua istilah. Yaitu mudharabah dan qiradh sesuai dengan penggunaannya di kalangan kaum Muslimin.
Syarikah mudharabah memiliki dua istilah. Yaitu mudharabah dan qiradh sesuai dengan penggunaannya di kalangan kaum Muslimin.
Penduduk Iraq menggunakan istilah mudharabah untuk
menyebut transaksi syarikah ini. Disebut sebagai mudharabah, karena diambil
dari kata dharb di muka bumi. Yang artinya, melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan
berperang. Allah berfirman.
“Artinya : (Dia mengetahui bahwa akan ada di
antara kamu) orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia
Allah ; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah”
[Al-Muzzammil : 20]
Ada juga yang mengatakan diambil dari kata dharb
(mengambil) keuntungan dengan saham yang dimiliki.
Dalam istilah bahasa Hijaz, disebut juga dengan
qiradh, karena diambil dari kata muqaradhah, yang artinya penyamaan dan
penyeimbangan. Seperti yang dikatakan.
“Dua orang penyair melakukan muqaradhah”, yakni
saling membandingkan syair-syair mereka. Adapun yang dimaksud dengan qiradh
disini, yaitu perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal yang dimiliki
pihak pemodal, sehingga keduanya seimbang.
Ada juga yang menyatakan, bahwa kata itu diambil
dari qardh, yakni memotong. Tikus itu melakukan qardh terhadap kain, yakni
menggigitnya hingga putus. Artinya, dalam masalah ini, pemilik modal memotong
sebagian hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong
keuntungan usahanya.
Sedangkan menurut para ulama, istilah syarikah
mudharabah memiliki pengertian, yaitu pihak pemodal (investor) menyerahkan
sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan pemodal berhak mendapat bagian
tertentu dari keuntungan.
Dengan kata lain, mudharabah adalah akad
(transaksi) antara dua pihak. Salah satu pihak menyerahkan harta (modal) kepada
yang lain agar diperdagangkan, dengan pembagian keuntungan di antara keduanya
sesuai dengan kesepakatan. Sehingga
mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua pihak atau lebih. Dalam hal ini,
pemilik modal (shahib al mal atau investor) mempercayakan sejumlah modal kepada
pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.
Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi
100% modal dari shahib al mal dan keahlian (pengelola) dari mudharib.
Rukun Mudharabah
Pertama : Adanya Dua Pelaku Atau Lebih
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Pada rukun pertama ini, keduanya disyaratkan memiliki kompetensi (jaiz al-tasharruf), dalam pengertian, mereka berdua baligh, berakal, rasyid (normal) dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya.
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Pada rukun pertama ini, keduanya disyaratkan memiliki kompetensi (jaiz al-tasharruf), dalam pengertian, mereka berdua baligh, berakal, rasyid (normal) dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya.
Sebagian ulama mensyaratkan, keduanya harus muslim
atau pengelola harus muslim. Sebab, seorang muslim tidak dikhawatirkan melakukan
perbuatan riba atau perkara haram. Namun
sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan
bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya, dengan syarat harus
terbukti adanya pematauan terhadap pengelolaan modal dari pihak muslim,
sehingga terbebas dari praktek riba dan haram.
Kedua: Objek Transaksi Kerjasama
[A]. Modal
Ada empat syarat modal yang harus dipenuhi.
[1]. Modal harus berupa alat tukar atau satuan mata uang (al-naqd). Dasarnya adalah Ijma’. atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rajih.
[2]. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.
[3]. Modal diserahkan harus tertentu
[4]. Modal diserahkan kepada pihak pengelola, dan pengelola menerimanya langsung, dan dapat beraktivitas dengannya.
Ada empat syarat modal yang harus dipenuhi.
[1]. Modal harus berupa alat tukar atau satuan mata uang (al-naqd). Dasarnya adalah Ijma’. atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rajih.
[2]. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.
[3]. Modal diserahkan harus tertentu
[4]. Modal diserahkan kepada pihak pengelola, dan pengelola menerimanya langsung, dan dapat beraktivitas dengannya.
Jadi dalam mudharabah, modal yang diserahkan,
disyaratkan harus diketahui. Dan penyerahan jumlah modal kepada mudharib
(pengelola modal) harus berupa alat tukar, seperti emas, perak dan satuan mata
uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang, kecuali bila nilai
tersebut dihitung berdasarkan nilai mata uang ketika terjadi akan (transaksi),
sehingga nilai barang tersebut menjadi modal mudharabah.
Conothnya, seorang memiliki sebuah mobil yang akan
diserhak kepada mudharib (pengelola modal). Ketika akad kerja sama tersebut
disepakati, maka mobil tersebut wajib ditentukan nilai mata uang saat itu,
misalnya disepakati Rp.80.000.000, maka modal mudharabah tersebut adalah
Rp.80.000.000.
Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat, karena
untuk menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan
tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga
dan nilainya, seiring berjalannya waktu, sehingga dapat menimbulkan ketidak
jelasan dalam pembagian keuntungan.
[B]. Jenis Usaha
Jenis usaha disini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
[1]. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
[2]. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya. Misalnya, harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya.
[3]. Asal dari usaha dalam mudharabah adalah di bidang perniagaan dan yang terkait dengannya, serta tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram, seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.
[4]. Pembatasan waktu penanaman modal. Menurut pendapat madzhab Hambaliyah, dalam kerja sama penanaman modal ini, dipebolehkan membatasi waktu usaha, dengan dasar diqiyaskan (dianalogikan) dengan system sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai criteria lain yang dibolehkan, pada sisi lainnya.
Jenis usaha disini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
[1]. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
[2]. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya. Misalnya, harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya.
[3]. Asal dari usaha dalam mudharabah adalah di bidang perniagaan dan yang terkait dengannya, serta tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram, seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.
[4]. Pembatasan waktu penanaman modal. Menurut pendapat madzhab Hambaliyah, dalam kerja sama penanaman modal ini, dipebolehkan membatasi waktu usaha, dengan dasar diqiyaskan (dianalogikan) dengan system sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai criteria lain yang dibolehkan, pada sisi lainnya.
[C]. Keuntungan
Setiap usaha yang dilakukan adalah untuk mendapatkan keuntungan. Demikian juga dengan mudharabah. Namun dalam mudharabah pendapatan keuntungan itu disyaratkan dengan empat syarat.
[1]. Keuntungan, khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama, ayitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya sebagian keuntungan disyaratkan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan “Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 keuntungan untukku dan 1/3 lagi untuk isteriku atau orang lain”, maka tidak sah, kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiradh bersama dua orang. Seandainya dikatakan “Seapruh keuntungan untukku dan sepruhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk isteriku”, maka ini sah, karena ini akad janji hadiah kepada isteri.
[2]. Pembagian keuntungan untuk berdua, tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan : “Saya bekerja sama mudharabah denganmu, dengan keuntungan sepenuhnya untukmu”, maka yang demikian ini menurut madzhab Syafi’i tidak sah.
[3]. Keuntungan harus diketahui secara jelas.
[4]. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi sebagaimana telah ditentukan prosentasenya, seperti : setengah, sepertiga atau seperempat. Apabila ditentukan nilainya, contohnya jika dikatakan, “Kita bekerja sama mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta, dan sisanya untukku”, maka akad mudharabah demikian ini tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas prosentasenya, seperti “Sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku”.
Setiap usaha yang dilakukan adalah untuk mendapatkan keuntungan. Demikian juga dengan mudharabah. Namun dalam mudharabah pendapatan keuntungan itu disyaratkan dengan empat syarat.
[1]. Keuntungan, khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama, ayitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya sebagian keuntungan disyaratkan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan “Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 keuntungan untukku dan 1/3 lagi untuk isteriku atau orang lain”, maka tidak sah, kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiradh bersama dua orang. Seandainya dikatakan “Seapruh keuntungan untukku dan sepruhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk isteriku”, maka ini sah, karena ini akad janji hadiah kepada isteri.
[2]. Pembagian keuntungan untuk berdua, tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan : “Saya bekerja sama mudharabah denganmu, dengan keuntungan sepenuhnya untukmu”, maka yang demikian ini menurut madzhab Syafi’i tidak sah.
[3]. Keuntungan harus diketahui secara jelas.
[4]. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi sebagaimana telah ditentukan prosentasenya, seperti : setengah, sepertiga atau seperempat. Apabila ditentukan nilainya, contohnya jika dikatakan, “Kita bekerja sama mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta, dan sisanya untukku”, maka akad mudharabah demikian ini tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas prosentasenya, seperti “Sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku”.
Adapun Dalam Pembagian Keuntungan Perlu Sekali
Melihat Hal-Hal Berikut.
[1]. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal.
[1]. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal.
Ibnu Qudamah di dalam Syrahul Kabir menyatakan,
keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua. Lalu dijelaskan dengan pernyataan,
maksudnya, dalam seluruh jenis sayrikah. Hal itu tidak terdapat perselisihan
dalam mudharabah murni.
Ibnu Mundzir menyatakan, para ulama bersepakat,
bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau
½, atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam
bentuk prosentase.
[2]. Pengelola modal hendaknya menentukan
bagiannya dari keuntungannya. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut,
maka pengelola mendapatkan gaji yang umum, dan seluruh keuntungan merupakan
milik pemilik modal (investor).
Ibnu Qudamah menyatakan, di antara syarat sah
mudharabah adalah, penentuan bagian (bagian) pengelola modal, karena ia berhak
mendapatkan keuntungan dengan syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali
dengannya. Seandainya dikatakan “ambil harta ini secara mudharabah” dan ketika
akan tidak dsiebutkan bagian untuk pengelola sedikitpun dari keuntungan, maka
keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal. Demikian pula kerugian ditanggung oleh
pemilik modal. Adapun pengelola modal, ia mendapatkan gaji sebagaimana umumnya.
Inilah pendapat Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashab Ar-Ra’i
(Hanafiyah). . Ibnu Qudamah merajihkan pendapat ini.
[3]. Pengelola modal tidak berhak menerima
keuntungan sebelum menyerahkan kembali modal secara sempurna. Berarti, tidak
seorangpun berhak mengambil bagian keuntungan sampai modal diserahkan kepada
pemilik modal. Apabila ada kerugian dan keuntungan, maka kerugian ditutupi dari
keuntungan tersebut, baik kerugian dan keuntungan dalam satu kali, atau
kerugian dalam satu perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang lainnya.
Atau yang satu dalam satu perjalnan niaga, dan yang lainnya dari perjalanan
lain. Karena makna keuntungan adalah, kelebihan dari modal. Dan yang tidak ada
kelebihannya, maka bukan keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal
ini.
[4]. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih
berjalan, kecuali apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat.
Ibnu Qudamah menyatakan, jika dalam mudharabah
tampak adanya keuntungan, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun
darinya tanpa izin pemilik modal. Dalam masalah ini, kami tidak menemukan
adanya perbedaan di antara para ulama.
Tidak Dapat Melakukannya Karena Tiga Hal
[a]. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak adanya kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut, sehingga berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan.
[b]. Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
[c]. Kepemilikannya atas hal itu tidak tetap karena mungkin sekali keluar dari tangannya untuk menutupi kerugian.
[a]. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak adanya kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut, sehingga berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan.
[b]. Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
[c]. Kepemilikannya atas hal itu tidak tetap karena mungkin sekali keluar dari tangannya untuk menutupi kerugian.
Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk
mengambil sebagiannya, maka diperbolehkan karena hak tersebut milik mereka
berdua.
[5]. Hak mendapatkan keuntungan tidak akan
diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir atas usaha
tersebut.
Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan bersifat tidak tetap, sebelum berakhirnya pernjanjian dan sebelum seluruh usaha bersama tersebut dihitung. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi di kemudian, sebelum dilakukan perhitungan akhir.
Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan bersifat tidak tetap, sebelum berakhirnya pernjanjian dan sebelum seluruh usaha bersama tersebut dihitung. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi di kemudian, sebelum dilakukan perhitungan akhir.
Perhitungan Akhir Untuk Menetapkan Hak Kepemilikan Keuntungan,
Aplikasinya Bisa Dua Macam.
[a]. Perhitungannya di akhir usaha. Dengan cara ini, pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.
[b]. Finish Cleansing terhadap kalkulasi keuntungan.Yakni dengan cara asset yang dimilikinya dituangkan terlebih dahulu, lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif. Apabila pemilik modal mau, maka dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus dilakukan perjanjian usha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.
[a]. Perhitungannya di akhir usaha. Dengan cara ini, pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.
[b]. Finish Cleansing terhadap kalkulasi keuntungan.Yakni dengan cara asset yang dimilikinya dituangkan terlebih dahulu, lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif. Apabila pemilik modal mau, maka dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus dilakukan perjanjian usha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.
Ketiga : Pelafalan Perjanjian
(Shighah Transaksi)
Shighah adalah, ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul
Shighah adalah, ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul
Transaksi mudharabah atau syarikah dianggap sah dengan perkataan dan
perbuatan yang menunjukkan maksudnya.
Jenis-Jenis
Mudharabah
Mudharabah
Mutlaqah
Adalah kerjasama
antara dua pihak dimana shahibul maal menyediakan modal dan memberikan
kewenangan penuh kepada mudharib dalam menentukan jenis dan tempat investasi,
sedangkan keuntungan dan kerugian dibagi menurut kesepakatan dimuka.
Mudharabah
Muqayyadah
Adalah kerjasama
antara dua pihak dimana shahibul
maal menyediakan modal dan memberikan kewenangan terbatas kepada mudharib dalam menentukan jenis
dan tempat investasi, dimana keuntungan dan kerugian dibagi menurut kesepakatan
di muka.
MUSYARAKAH
Definisi
Musyarakah
Musyarakah secara bahasa diambil dari bahasa arab yang berarti
mencampur. Dalam hal ini
mencampur satu modal dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Kata syirkah dalam bahasa arab berasal dari kata syarika (fi’il
madhi), yashruku (fi’il mudhari’) syarikan/syirkatan/syarikatan (masdar/kata
dasar); ertinya menjadi sekutu atau syarikat (kamus al Munawar) Menurut erti
asli bahasa arab, syirkah bererti mencampurkan dua bahagian atau lebih sehingga
tidak boleh dibezakan lagi satu bahagian dengan bahagian lainnya, (An-Nabhani)
Adapun menurut makna syara’, syirkah adalah suatu
akad antara 2 pihak atau lebih yang sepakat untuk melakukan kerja dengan tujuan
memperoleh keuntungan. (An-Nabhani)
Rukun Syirkah
Rukun syirkah yang asas ada 3 perkara iaitu: a)
akad (ijab-kabul) juga disebut sighah b) dua pihak yang berakad (‘aqidani),
mesti memiliki kecekapan melakukan pengelolaan harta c) objek aqad(mahal) juga
disebut ma’qud alaihi, samada modal atau pekerjaan
Manakala syarat sah perkara yang boleh
disyirkahkan adalah adalah objek tersebut boleh dikelola bersama atau boleh
diwakilkan.
Syarat-syarat umum syirkah
1. Jenis usaha fisik yang dilakukan dalam syirkah
ini harus dapat diwakilkan kepada orang lain. Hal ini penting karena dalam
kenyataan, sering kali satu patner mewakili perusahaan untuk melakukan dealing
dengan perusahaan lain. Jika syarat ini tidak ada dalam jenis usaha, maka akan
sulit menjalankan perusahaan dengan gesit.
2. Keuntungan yang didapat nanti dari hasul usaha harus diketahui dengan jelas. Masing-masing patner harus mengetahui saham keuntungannya seperti 10 % atau 20 % misalnya.
3. Keuntungan harus disebar kepada semua patner.
2. Keuntungan yang didapat nanti dari hasul usaha harus diketahui dengan jelas. Masing-masing patner harus mengetahui saham keuntungannya seperti 10 % atau 20 % misalnya.
3. Keuntungan harus disebar kepada semua patner.
Syarat-syarat khusus
1. Modal yang disetor harus berupa barang yang
dihadirkan. Tidak diperbolehkan modal masih berupah utang atau uang yang tidak
dapat dihadirkan ketika akad atau beli. Tidak disyaratkan modal yang disetor
oleh para patner itu dicampur satu sama lain. Karena syirkah ini dapat
diwujudkan dengan akad dan bukan dengan modal.
2. Modal harus berupa uang kontan. Tidak diperbolehkan modal dalam bentuk harta yang tidak bergerak atau barang. Karena barang-barang ini tidak dapat dijadikan ukuran sehingga akan menimbulkan persengketaan di kemudian hari karena keuntungan yang dihasilkannya juga menjadi tidak jelas proporsinya dengan modal yang disetor akibat sulitnya dinilai.
2. Modal harus berupa uang kontan. Tidak diperbolehkan modal dalam bentuk harta yang tidak bergerak atau barang. Karena barang-barang ini tidak dapat dijadikan ukuran sehingga akan menimbulkan persengketaan di kemudian hari karena keuntungan yang dihasilkannya juga menjadi tidak jelas proporsinya dengan modal yang disetor akibat sulitnya dinilai.
Macam-Macam Syirkah
Pandangan Mazhab Fiqih tentang Syirkah Mazhab
Hanafi berpandangan ada empat jenis syirkah yang syari’e iaitu syirkah inan,
abdan, mudharabah dan wujuh. ( Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa
Adillatuhu) Mazhab Maliki hanya 3 jenis syirkah yang sah iaitu syirkah inan,
abdan dan mudharabah. Menurut mazhab syafi’e, zahiriah dan Imamiah hanya 2
syirkah yang sah iaitu inan dan mudharabah. Mazhab hanafi dan zaidiah
berpandangan ada 5 jenis syirkah yang sah iaitu syirkah inan, abdan,
mudharabah, wujuh dan mufawadhah.
1) Syirkah Inan
Syirkah inan adalah syirkah yang mana 2 pihak atau
lebih, setiap pihak menyumbangkan modal dan menjalankan kerja. Contoh bagi syirkah
inan: Khalid dan Faizal berkongsi menjalankan perniagaan burger bersama-sama
dan masing-masing mengeluarkan modal RM500 setiap seorang. Perkongsian ini
diperbolehkan berdasarkan As-Sunnah dan ijma’sahabah. Disyaratkan bahawa modal
yang dikongsi adalah berupa wang. Modal dalam bentuk harta benda seperti kereta
mestilah diakadkan pada awal transaksi. Perkongsian ini dibangunkan oleh konsep
perwakilan(wakalah) dan kepercayaan(amanah). Sebab masing-masing pihak, dengan
memberi/berkongsi modal kepada rakan kongsinya bererti telah memberikan
kepercayaan dan mewakilkan kepada rakan kongsinya untuk mengelolakan
perniagaan. Keuntungan adalah berdasarkan kesepakatan semua pihak yang
berkongsi manakala kerugian berdasarkan peratusan modal yang dikeluarkan. Abdurrazzak
dalam kitab Al-Jami’ meriwayatkan dari Ali r.a yang mengatakan: “kerugian
bergantung kepada modal, sedangkan keuntungan bergantung kepada apa yang mereka
sepakati”
2) Syirkah Abdan
Perkongsian abdan adalah perkongsian 2 orang atau
lebih yang hanya melibat tenaga(badan) mereka tanpa melibatkan perkongsian
modal. Sebagai contoh: Jalal adalah tukang buat rumah dan Rafi adalah
juruelektrik yang berkongsi menyiapkan projek sebuah rumah. Perkongsian mereka
tidak melibatkan perkongsian kos. Keuntungan adalah berdasarkan persetujuan
mereka. Syirkah abdan hukumnya mubah berdasarkan dalil As-sunnah. Ibnu mas’ud
pernah berkata” aku berkongsi dengan Ammar bin Yasir dan Saad bin Abi Waqqash
mengenai harta rampasan perang badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan sementara
aku dan Ammar tidak membawa apa pun” (HR Abu Dawud dan Atsram). Hadith ini
diketahui Rasulullah saw dan baginda membenarkannya.
3) Syirkah Mudharabah
Syirkah Mudharabah adalah syirkah dua pihak atau
lebih dengan ketentuan, satu pihak menjalankan kerja (amal) sedangkan pihak
lain mengeluarkan modal (mal). (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudharabah
dipakai oleh ulama Iraq, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qiradh. (Al-Jaziri,
1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Sebagai contoh: Khairi sebagai pemodal memberikan
modalnya sebanyak RM 100 ribu kepada Abu Abas yang bertindak sebagai pengelola
modal dalam pasaraya ikan.
Ada 2 bentuk lain sebagai variasi syirkah
mudharabah. Pertama, 2 pihak (misalnya A dan B) sama-sama memberikan
mengeluarkan modal sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan menjalankan
kerja sahaja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal
dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan
konstribusi modal tanpa konstribusi kerja. Kedua-dua bentuk syirkah ini masih
tergolong dalam syirkah mudharabah (An-Nabhani, 1990:152). Dalam syirkah
mudharabah, hak melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola. Pemodal
tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat
dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. Jika ada keuntungan, ia
dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola, sedangkan kerugian
ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudharabah berlaku wakalah
(perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerosakan harta atau
kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun
demikian, pengelola turut menanggung kerugian jika kerugian itu terjadi kerana
melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. 4) Syirkah Wujuh
Disebut syirkah wujuh kerana didasarkan pada
kedudukan, ketokohan atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat.
Syirkah wujuh adalah syirkah antara 2 pihak (misalnya A dan B) yang sama-sama
melakukan kerja (amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang mengeluarkan
modal (mal). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah
semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudharabah sehingga berlaku
ketentuan-ketentuan syirkah mudharabah padanya. (An-Nabhani, 1990:154) Bentuk
kedua syirkah wujuh adalah syirkah antara 2 pihak atau lebih yang bersyirkah
dalam barangan yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang
kepada keduanya tanpa sumbangan modal dari masing-masing pihak. Misalnya A dan
B tokoh yang dipercayai pedagang. Lalu A dan B bersyirkah wujuh dengan cara
membeli barang dari seorang pedagang C secara kredit. A dan B bersepakat
masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual
barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya
dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah kedua ini, keuntungan dibagi
berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan nisbah barang dagangan yang
dimiliki. Sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing pengusaha wujuh
usaha berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya termasuk
dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990:154). Namun demikian, An-Nabhani
mengingatkan bahawa ketokohan (wujuh) yang dimaksud dalam syirkah wujuh adalah
kepercayaan kewangan (tsiqah maliyah), bukan semata-mata ketokohan di
masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh
(katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur atau
suka memungkiri janji dalam urusan kewangan. Sebaliknya sah syirkah wujuh yang
dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap
memiliki kepercayaan kewangan (tsiqah maliyah) yang tinggi misalnya dikenal
jujur dan tepat janji dalam urusan kewangan.
5) Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufawadhah adalah syirkah antara 2 pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inan, ‘abdan, mudharabah dan
wujuh). Syirkah mufawadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah
boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah berdiri sendiri maka sah pula
ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya. Keuntungan yang diperoleh
dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan
jenis syirkahnya; iaitu ditanggung oleh pemodal sesuai dengan nisbah modal
(jika berupa syirkah inan) atau ditanggung pemodal sahaja (jika berupa syirkah
mudharabah) atau ditanggung pengusaha usaha berdasarkan peratusan barang
dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujuh). Contoh: A adalah pemodal,
menyumbang modal kepada B dan C, dua jurutera awam yang sebelumnya sepakat
bahawa masing-masing melakukan kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk
menyumbang modal untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan
pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah
‘abdan iaitu B dan C sepakat masing-masing bersyirkah dengan memberikan
konstribusi kerja sahaja. Lalu,
ketika A memberikan modal kepada B dan C, bererti di antara mereka bertiga
wujud syirkah mudharabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai
pengelola. Ketika B dan C sepakat bahawa masing-masing memberikan suntikan
modal di samping melakukan kerja, bererti terwujud syirkah inan di antara B dan
C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang
kepada keduanya bererti terwujud syirkah wujuh antara B dan C.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar