Rabu, 24 Januari 2018

PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBIAYAAN PERBANKAN SYARIAH: JAMINAN PRODUK PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH_011110


A.  Prolog
Perbankan syariah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya bank-bank syariah bermunculan, khususnya di Indonesia. Perkembangan ini tidak lepas dari naluriah setiap orang, muslim khususnya untuk melakukan transaksi keuangan secara syar’i. Tidak hanya itu, kemampuan bank syariah bertahan di tengah krisis ekonomi yang pernah melanda tanah air  membuat orang semakin percaya dengan keberadaan perbankan syariah.
Ketertarikan masyarakat terhadap bank syariah terletak pada produk-produk yang ditawarkannya, baik pendanaan, pembiayaan ataupun jasa yang diberikan. Setiap transaksi yang dilakukan sesuai dengan prinsip syariah, jauh dari riba, gharar, maysir dan setiap tindakan yang dapat merusak keadilan dan keseimbangan di tengah masyarakat.
Salah satu produk yang ditawarkan setiap bank syariah adalah pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Produk ini didasarkan pada akad mudharabah dan musyarakah yang ada dalam praktik muamalah. Mudharabah merupakan akad antara pemilik modal dengan pekerja dalam suatu usaha. Satu pihak sebagai pemilik modal dan yang lain sebagai pekerja. Sementara musyarakah adalah akad kerjasama dua atau lebih pihak di mana masing-masing pihak punya kontribusi yang sama baik modal ataupun tenaga.
Dua jenis pembiayaan tersebut di atas memiliki karakteristik dan aplikasi yang berbeda. Hanya saja, dalam prinsip syariah, keduanya memiliki kesamaan pada satu hal yaitu tidak boleh adanya jaminan yang diwajibkan oleh salah satu pihak (pemodal) kepada pihak lain (pekerja). Sementara itu dalam praktik perbankan syariah, kedua akad atau kontrak pembiayaan tersebut harus disertai jaminan yang wajib diserahkan oleh pekerja kepada pemodal.
Lalu bagaimanakah keberadan jaminan dalam praktik pembiayaan mudharabah dan musyarakah ini bisa diterima?

B.  Prinsip Pemberian Kredit[1]
Dalam dunia ekonomi, khususnya perbankan, sering didengar istilah konsep 5C yaitu character, capacity, collateral, capital, dan condition. Bagi dunia perbankan, nasabah yang memiliki lima kriteria tersebut merupakan orang yang layak bahkan sempurna untuk mendapatkan pembiayaan. Perimbangan-pertimbangan yang lazim digunakan dalam dunia perbankan untuk mengevaluasi calon nasabah adalah konsep 5C ini yaitu:
1.    Karakter yang merupakan data tentang kepribadian calon nasabah. Misalnya terkait sifat-sifat pribadi, berbagai kebiasaannya, cara hidup, keadaan dan latar belakang keluarga ataupun hobinya. Dari data ini akan dapat diketahui apakah nasabah merupakan orang yang jujur dalam berusaha untuk memenuhi kewajibannya.
2.    Kapasitas atau kemampuan calon nasabah dalam mengelola usahanya yang dapat dilihat dari segi pendidikan, pengalaman mengelola usaha dan sejarah perusahaan yang pernah dikelola. Aspek ini digunakan sebagai ukuran dari kemampuan calon nasabah untuk berusaha atau membayar.
3.    Kapital, kondisi kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang dikelolanya yang dapat dilihat dari neraca, laporan rugi-laba, struktur permodalan, rasio-rasio keuntungan yang diperoleh dan sebagainya. Kondisi ini juga merupakan penentu apakah nasabah layak untuk menerima pembiayaan.  
4.    Kolateral, jaminan yang barangkali dapat disita jika ternyata nasabah benar-benar tidak mampu memenuhi kewajibannya.
5.    Kondisi. Pembiayaan yang diberikan juga perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi yang berhubungan dengan prospek usaha calon nasabah.

C.  Mekanisme Pemberian Kredit/ Pembiayaan[2]
Pada dasarnya, mekanisme pembiayaan syariah identik dengan mekanisme pemberian kredit pada bank konvensional. Mekanisme tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Perencanaan Pembiayaan
Perencanaan merupakan sesuatu hal yang mutlak dilakukan. Pembiayaan sebagai kegiatan yang krusial bagi bank maka memerlukan perencanaan agar pembiayaan tersebut menjadi lebih lengkap dan berarti. Untuk itu, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam mempertimbangkan penyusunan rencana pembiayaan yaitu:
a.    Kondisi perekonomian dan perdagangan
Karena bank bergerak dalam kegiatan perekonomian dan perdagangan, maka harus dipertimbangkan kondisi sekarang dan kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul selama rencana disusun hingga pelaksanaan rencana tersebut. Dengan begitu, jika terjadi goncangan dan hambatan dapat dilakukan penyesuaian dengan cepat dan tepat.
b.    Lini bisnis
Perlu diketahui pada sektor apakah bank bergerak, pertanian, perekonomian, industri atau perdagangan umum. Indikator-indikator terkait dengan lini bisnis tersebut perlu diteliti dan dianalisis lebih mendalam untuk mengetahui mana yang lebih menjadi prioritas yang diarahkan pemerintah atau mana yang lebih menguntungkan. 
c.    Keadaan para nasahan yang ada
Diperlukan pengelompokan nasabah yang dibagi menurut kelancaran usaha dan sektor secara lengkap dan detail.
d.   Keadaan keuangan bank
Kondisi keuangan bank merupakan factor yang sangat penting karena kekuatan keuangan banklah sebagai penentu langkah-langkah nyata bagi perencanaan pembiayaan. Hal ini terkait dengan berapa jumlah yang akan dialokasikan pada pembiayaan, berapa dana yang tersedia dan benar-benar dapat dilepas.
e.    Organisasi bank
Jika organisasi bank besar, maka perlu dilakukan pengaturan terkait wewenang pemutusan pembiayaan.
f.       Skil dan personil pembiayaan di seluruh organisasi
Diperlukan spesialisasi skil bagi pejabat yang berwenang menangani pembiayaan, terutama menyusun perencanaan pembiayaan. Dalam tugasnya, pejabat yang berwenang ini harus memperhatikan dua hal:
1)   Plafon atau ceiling
Plafon atau ceiling merupakan batas alias jatah bank untuk mengoperasikan dananya. Sedangkan alat yang digunakan untuk menjamin fleksibilitas suatu perencanaan pembiayaan disebut dengan plafori. Ada dua jenis plafon, fixed plafon (plafon yang ditetapkan untuk sebuah unit atau cabang secara tetap berdasarkan posisi kekuatan dana keseluruhan) dan flexible plafon (tambahan atas fixed plafon jika ternyata pada suatu waktu yang telah ditetapkan dalam fixed plafon terjadi penambahan loanable fund dalam jumlah yang cukup signifikan). Pengalokasian tambahan plafon tersebut dinamakan flexible plafonci.  
2)   Penyusunan rancangan dan anggaran pembiayaan
Langkah pertama dalam penentuan rencana pembiayaan adalah menganalisis banyak aspek yang berhubungan dengan perencanaan pembiayaan tersebut.

2.    Analisis atas Permohonan Pembiayaan
Analisis terkait permohonan pembiayaan akan berbicara tentang penilaian pembiayaan, informasi dan aspek-aspek yang dipertimbangkan dalam pembiayaan.
a.    Penilaian pembiayaan
Proses ini dijalankan untuk meneliti prospek calon nasabah agar diperoleh indikasi kemungkinan terjadi default. Proses penilaian tersebut dipengaruhi oleh factor-faktor seperti jumlah pembiayaan, penggunaan pembiayaan, perangkat teknologi bank dan  hubungan historis nasabah dengan bank.
b.    Informasi pembiayaan
Bank harus memiliki banyak informasi sebelum melakukan analisis terhadap permohonan pembiayaan. Informasi-informasi tersebut dapat diperoleh dari laporan si pemohon pembiayaan, laporan dan record bank, dan sebagainya. Beda sumber, maka beda pula cara mendapatkan informasinya. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui wawancara dengan pemohon pembiayaan, inspeksi usahan nasabah, dan penilaian terhadap neraca serta laba-rugi perusahaan.

c.    Aspek-aspek pertimbangan pembiayaan
Aspek-aspek pertimbangan ini mencakup aspek umum dan manajemen, aspek teknis, aspek ekonomis dan komersial, aspek finansial dan aspek garansi atau jaminan.
d.   Administrasi pemberian pembiayaan
Pembiayaan harus disertai perjanjian tertulis antara bank dan nasabah pemohon pembiayaan. Dalam perjanjian tersebut dituliskan segala hak dan kewajiban masing-masing pihak seperti syarat pelaksanaan, syarat pembayaran kembali, pengikatan jaminan, serta jumlah dan lamanya pembiayaan akan dijalankan.

3.    Prosedur Operasional Pembiayaan
a.    Prosedur permohonan pembiayaan baru mencakup pengajuan permohonan dan pengisian formulir oleh nasabah dan pemeriksaan kelengkapan formulir dan dokumen lain oleh petugas penerima pengajuan pembiayaan
b.    Prosedur pengolahan dan persetujuan pembiayaan, mulai dari analisis kelayakan nasabah hingga pemutusan apakah permohonan pembiayaan akan diterima atau ditolak
c.    Administrasi pembiayaan
d.   Sistem pengendalian intern perbankan meliputi struktur organisasi, semua metode dan ketentuan untuk melindungi kekayaan, ketelitian, dan efisiensi usaha

D.  Pola dan Manajemen Pembiayaan Syariah
Pertumbuhan bank syariah menunjukkan pertumbuhan yang meningkat. Hal ini dikarenakan semakin bertambahnya kesadaran masyarakat untuk memilih produk yang halal dank arena jumlah penduduk muslim yang mayoritas. Kondisi ini merupakan potensi bagi keuangan syariah untuk menjadi bagian dalam pembiayaan ekonomi masyarakat.  Prinsip-prinsip pembiayaan syariah yang paling mendasar adalah keadilan dan kepercayaan. Tidak cukup sampai disitu. Prinsip-prinsip tersebut harus didukung ole informasi yang memadai. Informasi yang dimaksud adalah:[3]
1.    Informasi data nasabah
Uji kelayakan calon nasabah sebagai bahan pertimbangan apakah calon bisa menjadi nasabah atau tidak dan menentukan jenis pembiayaan yang akan diberikan kepada nasabah yang diterima.
2.    Informasi data penjualan, pembelian atau penyewaan riil
Informasi data usaha yang sudah terjadi di lapangan sebagai dasar perhitungan dari akad yang telah disepakati.
3.    Proyeksi laporan keuangan
Sebagai pelengkap informasi dalam menentukan persetujuan permohonan pembiayaan usaha nasabah. Proyeksi ini dibuat berdasarkan asumsi yang relative tetap sepanjang waktu.
4.    Akad pembiayaan
Kesepakatan antara pemilik modal dan pengelola sebagai landasan hukum syariah pada transaksi pembiayaan dan disesuaikan dengan jenis pembiayaan yang diterima.

Manajemen kredit bank syari’ah secara umum diterapkan dengan berpegang teguh kepada syariah Islam. Diharapkan lembaga keuangan maupun bank dengan sistem syariah dapat menjaga kestabilan keuangan mereka (income stability). Selain itu, bank syariah diharapkan dapat lebih memaksimalkan pelayanan mobilisasi dana masyarakat dan memberikan jaminan keuangan dengan pasti. Di sisi lain, penyaluran kembali dana masyarakat dalam bentuk pembiayaan, akan berjalan normal sesuai dengan harapan dan tujuan bersama.
Permasalahan yang biasanya dialami oleh lembaga keuangan syariah dalam kegiatan operasionalnya, antara lain :[4]
1. Modal (capital)
2. Kegiatan operasional (human resource activity)
3. Sistem manajemen operasional (operational management system)
4. Sistem manajemen keuangan (financial management system)
5. Loyalitas kredit (loyality of credit)  

E.  Dasar-dasar Efektifitas Kerjasama Mudharabah
1.    Dasar Kepercayaan atau Moralitas
Mudharabah didukung oleh unsure kepercayaan di antara pemilik modal dan pengelola usaha. Tidak mungkin seorang pemilik modal akan memberikan uangnya kepada orang lain untuk mengelola sebuah usah jika tidak ada saling percaya di antara mereka, sebab pemilik modal tidak diperkenankan ikut serta dalam pengelolaan.

2.    Pemberian Syarat dalam mudharabah
Dalam kontrak mudharabah, meskipun pemodal tidak bisa ikut campur dalam pengelolaan usaha, namun boleh memberikan syarat-syarat tertentu agar dana yang dikeluarkannya efektif dan efisien. Efektif jika tujuan dari pengeluaran dana tersebut dapat dicapai dan efisien ketika usaha tersebut dijalankan sesuai dengan prinsip ekonomi sehingga menghasilkan keuntungan yang maksimal.
Pesyaratan apapun yang diberikan oleh pemilik modal mempunyai makna positif, diantaranya; (1) syarat tersebut merupakan bagian yang diperbolehkan dalam mudharabah yang secara tidak langsung merupakan usaha untuk ikut memikirkan bisnis yang dijalankan oleh pengelola dana, (2) secara tidak langsung merupakan bagian dari control dalam bisnis yang dilakukan pengelola dana, dan (3) secara tidak langsung juga menjadi pendorong yang secara psikologis dapat memberikan semangat kerja sesuai dengan kesepakatan kontrak.[5]

3.    Profesionalitas Pelaku Usaha
Mudharabah, bertemunya modal dan keahlian sehingga keahlian dan profesionalitas merupakan hal yang sangat penting dalam kontrak mudharabah. Pemilik modal yang tidak mengetahui profesionalitas pelaku usaha akan mengalami risiko yang besar atas dana yang dikeluarkannya. Dengan demikian, untuk mengurangi risiko kerugian maka pemilik modal harus mengetahui skill dan profesionalitas pelaku usaha untuk mengetahui dalam bidang apa pelaku usaha tersebut layak diberikan modal.[6]

4.    Untung dan Rugi dalam Mudharabah
Kerjasama mudharabah selalu didasarkan pada prinsip mencari keuntungan yang ditentukan cara pembagiannya. Jika usaha yang dikelola menderita kerugian, maka kerugian yang bersifat financial ditanggung oleh pemilik modal dan pelaku atau pengelola hanya menangung kerugian waktu, tenaga dan keahliannya. Hanya saja, jika kerugian yang diderita adalah akibat kesalahan dan kelalaian pengelola maka dia tetap bertanggungjawab atas kerugian tersebut.[7]

  1. Jaminan dalam kontrak mudharabah
Kedudukan pemilik modal dan pengelola adalah sama. Yang membedakan keduanya hanyalah sumbangsih yang diberikan. Jika pemilik modal memberikan sumbangsih berupa dana, maka pengelola memberikan tenaga, waktu dan keahliannya untuk mencapai keuntungan yang akan dibagi bersama. Dengan alas an kesamaan kedudukan ini, maka pemiliki modal tidak diperkenankan meminta jaminan atas dana yang dikeluarkannya kepada pengelola usaha.[8]

F.   Jaminan Produk Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah Perbankan Syariah
1.    Incentive-Compatible Constraint
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa karakteristik pembiayaan mudharabah adalah kepercayaan yang tinggi antara nasabah dan bank,[9] begitu juga musyarakah. Karakteristik tersebut menyebabkan pembiayaan mudharabah menghadapi risiko yang relative tinggi, di mana bank akan selalu mendapati informasi asimetris dan moral hazard.
Bank tidak bisa serta merta meminjamkan dana kepada nasabah dengan modal kepercayaan ansich karena akan selalu ada kemungkinan risiko bahwa pembiayaan terhadap nasabah sebagai pengelola dana tidak didesain untuk memaksimalkan keuntungan bagi kedua belah pihak. Ketika dana sudah berada di bawah manajemen pengelola, maka akses bank terhadap informasi bisnis pengelola akan terbatas. Sehingga akan terjadi informasi asimetris karena pengelola mengetahui informasi penting yang tidak diketahui oleh bank.[10]
Dalam rangka mengurangi risiko semacam ini, maka bank syariah dapat menetapkan batasan tertentu dalam pembiayaan pengelola. Batasan atau restriksi ini dikenal juga dengan sebutan incentive-compatible constraints. Dengan adanya batasan ini, pengelola secara sistematik dipaksa untuk-katakanlah-memaksimalkan profit untuk kedua belah pihak, tidak untuk dirinya sendiri.
Ada beberapa prinsip umum untuk menjalankan incentive-compatible constraint, yaitu:[11]
a.    Menetapkan sebuah perjanjian yang membutuhkan prospektif pengelola untuk memberikan kontribusi pada rate yang tinggi dalam nilai bersih atau menyerahkan jaminan. Prinsip ini bisa diterapkan dengan membentuk rasio utang terhadap modal maksimum, menetapkan jaminan dalam bentuk asset tetap, memanfaatkan jasa penjamin dari pihak ketiga, atau menggunakan jasa penjamin utang
b.    Menetapkan sebuah perjanjian yang membutuhkan prospektif pengelola untuk menjalankan kerjasama dengan risiko operasi yang rendah. Penerapan prinsip ini misalnya dengan menetapkan rasion maksimum asset tetap terhadap total asset atau menetapkan maksimum rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional
c.    Menetapkan sebuah perjanjian yang membutuhkan prospektif pengelola untuk menjalankan kerjasama dengan aliran kas yang jelas. Diaplikasikan dengan monitoring stokastik (untuk bisnis jangka pendek dan dalam skala yang relative kecil), monitoring periodic (untuk bisnis skala besar dan jangka panjang), atau audit laporan keuangan
d.   Menetapkan sebuah perjanjian yang membutuhkan prospektif pengelola untuk menjalankan kerjasama dengan bagian terendah dari biaya tidak terkontrol. Diaplikasikan dengan bagi hasil atau penetapan margin atau profit minimum

2.    Jaminan dalam Mudharabah dan Musyarakah: Konsep dan Aplikasi
Disebutkan bahwa dalam kontrak mudharabah, kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal atau investor.[12] Investor tidak dapat meminta jaminan dari pengelola untuk memastikan kembalinya modal yang diberikan beserta keuntungannya. Hal ini berlaku karena dalam kontrak mudharabah, kedua pihak terikat dalam hubungan saling percaya sehingga keberadaan jaminan akan menyebabkan tidak sahnya kontrak. Tuntutan investor berupa syarat jaminan beserta ketentuannya kepada mudharib dalam kontrak mudharabah akan menyebabkan tidak sahnya kontrak (hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’I dan Imam Malik). Begitu juga halnya dengan kontrak musyarakah. Keberadaan jaminan di antara kepercayaan mereka yang berserikat akan membatalkan keabsahan kontrak.[13]
Jika dilihat praktik perbankan syariah, maka akan ditemui keberadaan jaminan dalam kontrak mudharabah ataupun musyarakah.[14] Keberadaan jaminan ini merupakan inisiatif bank untuk meyakinkan bahwa modal yang dipinjamkan kepada nasabah diharapkan kembali seperti semula sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati sebelumnya dalam kontrak.
Jaminan tidak dimaksudkan untuk memastikan kembalinya modal yang telah dipinjamkan, melainkan untuk meyakinkan bahwa mudharib telah melaksanakan semua ketentuan yang disepakati dalam kontrak.
Salah satu bank Islam di Mesir misalnya, mensyaratkan dalam mudharabah bahwa jika pengelola terbukti tidak memanfaatkan dana atau tidak menjaga barang dagangan sebagaimana mestinya sesuai dengan persyaratan pemilik modal, sehingga mengalami kerugian, maka jaminan atau garansi yang diberikan dijadikan sebagai ganti atas kerugian yang dialami. Artinya, pengelola bertanggungjawab atas kerugian dan jaminan menjadi kompensasi bagi pihak bank. Apabila jaminan yang diserahkan tidak cukup untuk menutup kerugian, maka pengelola harus memberikan tambahan jaminan atau garansi dalam jangka waktu yang telah ditentukan.[15]
Dalam praktik musyarakah, bank syariah meminta jaminan dari partnernya berupa:[16]
a.    Cek yang diserahkan partner kepada bank di mana jumlah cek sama dengan nilai investasi bank dalam kontrak musyarakah
b.    Rekening dan tanda pembayaran dari penjualan barang-barang musyarakah kepada pihak ketiga yang dilakukan berdasarkan pembayaran ditangguhkan dan catatan tersebut harus disetorkan kepada bank
c.    Bank punya hak meminta catatan saldo keuangan, dokumen, atau surat-surat perdagangan milik partner untuk disimpan oleh bank
d.   Bank menganggap dirinya sebagai pemilik barang-barang musyarakah mulai dari pembelian hingga penjualan barang-barang tersebut
e.    Jika barang-barang musyarakah dijual kepada pihak ketiga dengan berdasarkan pembayaran ditangguhkan, maka pihak bank punya hak untuk meminta partner sebagai penjamin dan memberikan jaminan secara mutlak kepada partner atas utang yang diberikan kepada pihak ketiga



G. Kesimpulan
1.    Salah satu prinsip dalam pembiayaan pada bank syariah, sama seperti yang berlaku pada bank konvensional adalah kehati-hatian. Wujud kehati-hatian ini beragam. Jika dilihat pada pembiayaan mudharabah dan musyarakah, maka salah satu wujud kehati-hatian itu adalah bank meminta nasabah memberikan jaminan atas pinjaman dana yang diterimanya
2.    Secara konsep, dalam kontrak mudharabah dan musyarakan, pemilik modal atau investor tidak diperkenankan meminta jaminan dari nasabah
3.    Praktik di perbankan syariah, bank meminta jaminan kepada nasabah dalam akad mudharabah dan musyarakah. Hal ini bisa dikatakan tidak menyalahi konsep yang seharusnya karena jaminan yang ditetapkan oleh bank, tidak untuk memastikan modalnya kembali disertai keuntungan, melainkan untuk meyakinkan bahwa pengelola atau nasabah menjalankan semua hal yang telah disepakati dalam akad dengan benar.
4.    Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya yang menjadi kekhawatiran adalah tidak kembalinya dana pemilik modal. Tapi, tetap saja jaminan tersebut diperkenankan sebagai wujud kehati-hatian pemilik modal dalam menginvestasikan modalnya.


Daftar Bacaan
Harahap, Burhanudin. “Kedudukan, Fungsi dan Problematika Jaminan dalam Perjanjian Pembiayaan Mudharabah pada Perbankan Syariah”, dalam Yustisia. No. 69, Sept-Des 2006
Karim, Adiwarman A. Islamic Banking: Fiqh and Financial Analysis. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005
Nasution, Chaeruddin Syah. “Manajemen Kredit Syariah Bank Muamalat”, dalam Kajian Ekonomi dan Keuangan. Vol. 7. No. 3, September 2003
Saeed, Abdullah. Bank Islam dan Bunga. Terj. Muhammad Ufuqul Mubin, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008


[1]
[2] 
[3] 
[4] Chaeruddin Syah Nasution, “Manajemen Kredit Syariah Bank Muamalat”, dalam  Kajian Ekonomi dan Keuangan, vol. 7, no. 3, September 2003, hlm. 94
[5] Burhanudin Harahap, “Kedudukan, Fungsi dan Problematika Jaminan dalam Perjanjian Pembiayaan Mudharabah pada Perbankan Syariah”, dalam Yustisia, No. 69, Sept.-Des. 2006, hlm. 48
[6]  Burhanudin Harahap, “Kedudukan, Fungsi dan Problematika Jaminan ……, hlm. 48-49
[7]  Burhanudin Harahap, “Kedudukan, Fungsi dan Problematika Jaminan ……, hlm. 49-50
[8]  Burhanudin Harahap, “Kedudukan, Fungsi dan Problematika Jaminan ……, hlm. 52
[9] Adiwarman A. Karim, Islamic Banking: Fiqh and Financial Analysis, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 206
[10]  Adiwarman A. Karim, Islamic Banking: ……, hlm. 206
[11]  Adiwarman A. Karim, Islamic Banking: ……, hlm. 207
[12] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, terj. Muhammad Ufuqul Mubin, dkk., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 91
[13] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, ……, hlm. 97 dan 110 
[14]  Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, ……, hlm. 102
[15]  Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, ……, hlm. 103
[16]  Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, ……, hlm. 119-120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam Selamat Datang

 Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh Selamat datang dan terimakasih kepada teman-teman yang sudah mampir ke laman rumahdialekis. ...