A. Prolog
Perbankan syariah
mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini dapat dilihat dari semakin
banyaknya bank-bank syariah bermunculan, khususnya di Indonesia. Perkembangan
ini tidak lepas dari naluriah setiap orang, muslim khususnya untuk melakukan
transaksi keuangan secara syar’i. Tidak hanya itu, kemampuan bank syariah
bertahan di tengah krisis ekonomi yang pernah melanda tanah air membuat orang semakin percaya dengan
keberadaan perbankan syariah.
Ketertarikan
masyarakat terhadap bank syariah terletak pada produk-produk yang
ditawarkannya, baik pendanaan, pembiayaan ataupun jasa yang diberikan. Setiap
transaksi yang dilakukan sesuai dengan prinsip syariah, jauh dari riba, gharar,
maysir dan setiap tindakan yang dapat merusak keadilan dan keseimbangan di
tengah masyarakat.
Salah satu produk yang
ditawarkan setiap bank syariah adalah pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Produk
ini didasarkan pada akad mudharabah dan musyarakah yang ada dalam praktik
muamalah. Mudharabah merupakan akad antara pemilik modal dengan pekerja dalam
suatu usaha. Satu pihak sebagai pemilik modal dan yang lain sebagai pekerja.
Sementara musyarakah adalah akad kerjasama dua atau lebih pihak di mana
masing-masing pihak punya kontribusi yang sama baik modal ataupun tenaga.
Dua jenis pembiayaan
tersebut di atas memiliki karakteristik dan aplikasi yang berbeda. Hanya saja,
dalam prinsip syariah, keduanya memiliki kesamaan pada satu hal yaitu tidak
boleh adanya jaminan yang diwajibkan oleh salah satu pihak (pemodal) kepada
pihak lain (pekerja). Sementara itu dalam praktik perbankan syariah, kedua akad
atau kontrak pembiayaan tersebut harus disertai jaminan yang wajib diserahkan
oleh pekerja kepada pemodal.
Lalu bagaimanakah
keberadan jaminan dalam praktik pembiayaan mudharabah dan musyarakah ini bisa
diterima?
B. Prinsip Pemberian Kredit[1]
Dalam dunia ekonomi,
khususnya perbankan, sering didengar istilah konsep 5C yaitu character,
capacity, collateral, capital, dan condition. Bagi dunia perbankan, nasabah
yang memiliki lima kriteria tersebut merupakan orang yang layak bahkan sempurna
untuk mendapatkan pembiayaan. Perimbangan-pertimbangan yang lazim digunakan
dalam dunia perbankan untuk mengevaluasi calon nasabah adalah konsep 5C ini
yaitu:
1.
Karakter yang
merupakan data tentang kepribadian calon nasabah. Misalnya terkait sifat-sifat
pribadi, berbagai kebiasaannya, cara hidup, keadaan dan latar belakang keluarga
ataupun hobinya. Dari data ini akan dapat diketahui apakah nasabah merupakan
orang yang jujur dalam berusaha untuk memenuhi kewajibannya.
2.
Kapasitas atau
kemampuan calon nasabah dalam mengelola usahanya yang dapat dilihat dari segi
pendidikan, pengalaman mengelola usaha dan sejarah perusahaan yang pernah
dikelola. Aspek ini digunakan sebagai ukuran dari kemampuan calon nasabah untuk
berusaha atau membayar.
3.
Kapital, kondisi
kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang dikelolanya yang dapat dilihat dari
neraca, laporan rugi-laba, struktur permodalan, rasio-rasio keuntungan yang
diperoleh dan sebagainya. Kondisi ini juga merupakan penentu apakah nasabah
layak untuk menerima pembiayaan.
4.
Kolateral, jaminan
yang barangkali dapat disita jika ternyata nasabah benar-benar tidak mampu
memenuhi kewajibannya.
5.
Kondisi. Pembiayaan
yang diberikan juga perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi yang berhubungan
dengan prospek usaha calon nasabah.
C. Mekanisme Pemberian Kredit/ Pembiayaan[2]
Pada dasarnya,
mekanisme pembiayaan syariah identik dengan mekanisme pemberian kredit pada
bank konvensional. Mekanisme tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Perencanaan Pembiayaan
Perencanaan merupakan
sesuatu hal yang mutlak dilakukan. Pembiayaan sebagai kegiatan yang krusial
bagi bank maka memerlukan perencanaan agar pembiayaan tersebut menjadi lebih
lengkap dan berarti. Untuk itu, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan
dalam mempertimbangkan penyusunan rencana pembiayaan yaitu:
a.
Kondisi perekonomian
dan perdagangan
Karena bank bergerak
dalam kegiatan perekonomian dan perdagangan, maka harus dipertimbangkan kondisi
sekarang dan kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul selama rencana disusun
hingga pelaksanaan rencana tersebut. Dengan begitu, jika terjadi goncangan dan
hambatan dapat dilakukan penyesuaian dengan cepat dan tepat.
b.
Lini bisnis
Perlu diketahui pada
sektor apakah bank bergerak, pertanian, perekonomian, industri atau perdagangan
umum. Indikator-indikator terkait dengan lini bisnis tersebut perlu diteliti
dan dianalisis lebih mendalam untuk mengetahui mana yang lebih menjadi
prioritas yang diarahkan pemerintah atau mana yang lebih menguntungkan.
c.
Keadaan para nasahan
yang ada
Diperlukan
pengelompokan nasabah yang dibagi menurut kelancaran usaha dan sektor secara
lengkap dan detail.
d.
Keadaan keuangan bank
Kondisi keuangan bank
merupakan factor yang sangat penting karena kekuatan keuangan banklah sebagai
penentu langkah-langkah nyata bagi perencanaan pembiayaan. Hal ini terkait
dengan berapa jumlah yang akan dialokasikan pada pembiayaan, berapa dana yang tersedia
dan benar-benar dapat dilepas.
e.
Organisasi bank
Jika organisasi bank
besar, maka perlu dilakukan pengaturan terkait wewenang pemutusan pembiayaan.
f.
Skil dan personil pembiayaan di seluruh
organisasi
Diperlukan
spesialisasi skil bagi pejabat yang berwenang menangani pembiayaan, terutama
menyusun perencanaan pembiayaan. Dalam tugasnya, pejabat yang berwenang ini
harus memperhatikan dua hal:
1)
Plafon atau ceiling
Plafon atau ceiling
merupakan batas alias jatah bank untuk mengoperasikan dananya. Sedangkan alat
yang digunakan untuk menjamin fleksibilitas suatu perencanaan pembiayaan
disebut dengan plafori. Ada dua jenis plafon, fixed plafon (plafon yang
ditetapkan untuk sebuah unit atau cabang secara tetap berdasarkan posisi
kekuatan dana keseluruhan) dan flexible plafon (tambahan atas fixed plafon jika
ternyata pada suatu waktu yang telah ditetapkan dalam fixed plafon terjadi
penambahan loanable fund dalam jumlah yang cukup signifikan). Pengalokasian
tambahan plafon tersebut dinamakan flexible plafonci.
2)
Penyusunan rancangan dan
anggaran pembiayaan
Langkah pertama dalam
penentuan rencana pembiayaan adalah menganalisis banyak aspek yang berhubungan
dengan perencanaan pembiayaan tersebut.
2.
Analisis atas
Permohonan Pembiayaan
Analisis terkait
permohonan pembiayaan akan berbicara tentang penilaian pembiayaan, informasi
dan aspek-aspek yang dipertimbangkan dalam pembiayaan.
a.
Penilaian pembiayaan
Proses ini dijalankan
untuk meneliti prospek calon nasabah agar diperoleh indikasi kemungkinan
terjadi default. Proses penilaian tersebut dipengaruhi oleh factor-faktor
seperti jumlah pembiayaan, penggunaan pembiayaan, perangkat teknologi bank
dan hubungan historis nasabah dengan
bank.
b.
Informasi pembiayaan
Bank harus memiliki
banyak informasi sebelum melakukan analisis terhadap permohonan pembiayaan. Informasi-informasi
tersebut dapat diperoleh dari laporan si pemohon pembiayaan, laporan dan record
bank, dan sebagainya. Beda sumber, maka beda pula cara mendapatkan
informasinya. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui wawancara dengan
pemohon pembiayaan, inspeksi usahan nasabah, dan penilaian terhadap neraca
serta laba-rugi perusahaan.
c.
Aspek-aspek
pertimbangan pembiayaan
Aspek-aspek
pertimbangan ini mencakup aspek umum dan manajemen, aspek teknis, aspek
ekonomis dan komersial, aspek finansial dan aspek garansi atau jaminan.
d.
Administrasi pemberian
pembiayaan
Pembiayaan harus
disertai perjanjian tertulis antara bank dan nasabah pemohon pembiayaan. Dalam
perjanjian tersebut dituliskan segala hak dan kewajiban masing-masing pihak
seperti syarat pelaksanaan, syarat pembayaran kembali, pengikatan jaminan,
serta jumlah dan lamanya pembiayaan akan dijalankan.
3.
Prosedur Operasional
Pembiayaan
a.
Prosedur permohonan
pembiayaan baru mencakup pengajuan permohonan dan pengisian formulir oleh
nasabah dan pemeriksaan kelengkapan formulir dan dokumen lain oleh petugas
penerima pengajuan pembiayaan
b.
Prosedur pengolahan
dan persetujuan pembiayaan, mulai dari analisis kelayakan nasabah hingga
pemutusan apakah permohonan pembiayaan akan diterima atau ditolak
c.
Administrasi
pembiayaan
d.
Sistem pengendalian intern
perbankan meliputi struktur organisasi, semua metode dan ketentuan untuk
melindungi kekayaan, ketelitian, dan efisiensi usaha
D. Pola dan Manajemen Pembiayaan Syariah
Pertumbuhan bank syariah
menunjukkan pertumbuhan yang meningkat. Hal ini dikarenakan semakin
bertambahnya kesadaran masyarakat untuk memilih produk yang halal dank arena
jumlah penduduk muslim yang mayoritas. Kondisi ini merupakan potensi bagi
keuangan syariah untuk menjadi bagian dalam pembiayaan ekonomi masyarakat. Prinsip-prinsip pembiayaan syariah yang paling
mendasar adalah keadilan dan kepercayaan. Tidak cukup sampai disitu.
Prinsip-prinsip tersebut harus didukung ole informasi yang memadai. Informasi
yang dimaksud adalah:[3]
1.
Informasi data nasabah
Uji kelayakan calon
nasabah sebagai bahan pertimbangan apakah calon bisa menjadi nasabah atau tidak
dan menentukan jenis pembiayaan yang akan diberikan kepada nasabah yang
diterima.
2.
Informasi data
penjualan, pembelian atau penyewaan riil
Informasi data usaha
yang sudah terjadi di lapangan sebagai dasar perhitungan dari akad yang telah
disepakati.
3.
Proyeksi laporan
keuangan
Sebagai pelengkap
informasi dalam menentukan persetujuan permohonan pembiayaan usaha nasabah.
Proyeksi ini dibuat berdasarkan asumsi yang relative tetap sepanjang waktu.
4.
Akad pembiayaan
Kesepakatan antara
pemilik modal dan pengelola sebagai landasan hukum syariah pada transaksi
pembiayaan dan disesuaikan dengan jenis pembiayaan yang diterima.
Manajemen
kredit bank syari’ah secara umum diterapkan dengan berpegang teguh kepada
syariah Islam. Diharapkan lembaga keuangan maupun bank dengan sistem syariah
dapat menjaga kestabilan keuangan mereka (income stability). Selain itu,
bank syariah diharapkan dapat lebih memaksimalkan pelayanan mobilisasi dana
masyarakat dan memberikan jaminan keuangan dengan pasti. Di sisi lain,
penyaluran kembali dana masyarakat dalam bentuk pembiayaan, akan berjalan
normal sesuai dengan harapan dan tujuan bersama.
Permasalahan
yang biasanya dialami oleh lembaga keuangan syariah dalam kegiatan
operasionalnya, antara lain :[4]
1. Modal (capital)
2. Kegiatan operasional (human
resource activity)
3. Sistem manajemen operasional (operational
management system)
4. Sistem manajemen keuangan (financial
management system)
5. Loyalitas kredit (loyality of
credit)
E. Dasar-dasar Efektifitas Kerjasama Mudharabah
1.
Dasar Kepercayaan atau
Moralitas
Mudharabah
didukung oleh unsure kepercayaan di antara pemilik modal dan pengelola usaha.
Tidak mungkin seorang pemilik modal akan memberikan uangnya kepada orang lain
untuk mengelola sebuah usah jika tidak ada saling percaya di antara mereka,
sebab pemilik modal tidak diperkenankan ikut serta dalam pengelolaan.
2.
Pemberian Syarat dalam
mudharabah
Dalam kontrak
mudharabah, meskipun pemodal tidak bisa ikut campur dalam pengelolaan usaha,
namun boleh memberikan syarat-syarat tertentu agar dana yang dikeluarkannya
efektif dan efisien. Efektif jika tujuan dari pengeluaran dana tersebut dapat
dicapai dan efisien ketika usaha tersebut dijalankan sesuai dengan prinsip
ekonomi sehingga menghasilkan keuntungan yang maksimal.
Pesyaratan apapun yang
diberikan oleh pemilik modal mempunyai makna positif, diantaranya; (1) syarat
tersebut merupakan bagian yang diperbolehkan dalam mudharabah yang secara tidak
langsung merupakan usaha untuk ikut memikirkan bisnis yang dijalankan oleh
pengelola dana, (2) secara tidak langsung merupakan bagian dari control dalam
bisnis yang dilakukan pengelola dana, dan (3) secara tidak langsung juga
menjadi pendorong yang secara psikologis dapat memberikan semangat kerja sesuai
dengan kesepakatan kontrak.[5]
3.
Profesionalitas Pelaku
Usaha
Mudharabah, bertemunya
modal dan keahlian sehingga keahlian dan profesionalitas merupakan hal yang
sangat penting dalam kontrak mudharabah. Pemilik modal yang tidak mengetahui
profesionalitas pelaku usaha akan mengalami risiko yang besar atas dana yang
dikeluarkannya. Dengan demikian, untuk mengurangi risiko kerugian maka pemilik
modal harus mengetahui skill dan profesionalitas pelaku usaha untuk mengetahui
dalam bidang apa pelaku usaha tersebut layak diberikan modal.[6]
4.
Untung dan Rugi dalam
Mudharabah
Kerjasama mudharabah
selalu didasarkan pada prinsip mencari keuntungan yang ditentukan cara
pembagiannya. Jika usaha yang dikelola menderita kerugian, maka kerugian yang
bersifat financial ditanggung oleh pemilik modal dan pelaku atau pengelola
hanya menangung kerugian waktu, tenaga dan keahliannya. Hanya saja, jika
kerugian yang diderita adalah akibat kesalahan dan kelalaian pengelola maka dia
tetap bertanggungjawab atas kerugian tersebut.[7]
- Jaminan dalam kontrak mudharabah
Kedudukan pemilik
modal dan pengelola adalah sama. Yang membedakan keduanya hanyalah sumbangsih
yang diberikan. Jika pemilik modal memberikan sumbangsih berupa dana, maka
pengelola memberikan tenaga, waktu dan keahliannya untuk mencapai keuntungan
yang akan dibagi bersama. Dengan alas an kesamaan kedudukan ini, maka pemiliki
modal tidak diperkenankan meminta jaminan atas dana yang dikeluarkannya kepada pengelola
usaha.[8]
F.
Jaminan Produk
Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah Perbankan Syariah
1.
Incentive-Compatible
Constraint
Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa karakteristik pembiayaan mudharabah adalah
kepercayaan yang tinggi antara nasabah dan bank,[9] begitu juga musyarakah. Karakteristik
tersebut menyebabkan pembiayaan mudharabah menghadapi risiko yang relative
tinggi, di mana bank akan selalu mendapati informasi asimetris dan moral
hazard.
Bank tidak bisa serta
merta meminjamkan dana kepada nasabah dengan modal kepercayaan ansich
karena akan selalu ada kemungkinan risiko bahwa pembiayaan terhadap nasabah
sebagai pengelola dana tidak didesain untuk memaksimalkan keuntungan bagi kedua
belah pihak. Ketika dana sudah berada di bawah manajemen pengelola, maka akses
bank terhadap informasi bisnis pengelola akan terbatas. Sehingga akan terjadi
informasi asimetris karena pengelola mengetahui informasi penting yang tidak
diketahui oleh bank.[10]
Dalam rangka
mengurangi risiko semacam ini, maka bank syariah dapat menetapkan batasan
tertentu dalam pembiayaan pengelola. Batasan atau restriksi ini dikenal juga
dengan sebutan incentive-compatible constraints. Dengan adanya batasan
ini, pengelola secara sistematik dipaksa untuk-katakanlah-memaksimalkan profit
untuk kedua belah pihak, tidak untuk dirinya sendiri.
Ada beberapa prinsip
umum untuk menjalankan incentive-compatible constraint, yaitu:[11]
a.
Menetapkan sebuah
perjanjian yang membutuhkan prospektif pengelola untuk memberikan kontribusi
pada rate yang tinggi dalam nilai bersih atau menyerahkan jaminan. Prinsip ini
bisa diterapkan dengan membentuk rasio utang terhadap modal maksimum, menetapkan
jaminan dalam bentuk asset tetap, memanfaatkan jasa penjamin dari pihak ketiga,
atau menggunakan jasa penjamin utang
b.
Menetapkan sebuah
perjanjian yang membutuhkan prospektif pengelola untuk menjalankan kerjasama
dengan risiko operasi yang rendah. Penerapan prinsip ini misalnya dengan
menetapkan rasion maksimum asset tetap terhadap total asset atau menetapkan
maksimum rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional
c.
Menetapkan sebuah
perjanjian yang membutuhkan prospektif pengelola untuk menjalankan kerjasama
dengan aliran kas yang jelas. Diaplikasikan dengan monitoring stokastik (untuk
bisnis jangka pendek dan dalam skala yang relative kecil), monitoring periodic
(untuk bisnis skala besar dan jangka panjang), atau audit laporan keuangan
d.
Menetapkan sebuah
perjanjian yang membutuhkan prospektif pengelola untuk menjalankan kerjasama
dengan bagian terendah dari biaya tidak terkontrol. Diaplikasikan dengan bagi
hasil atau penetapan margin atau profit minimum
2.
Jaminan dalam
Mudharabah dan Musyarakah: Konsep dan Aplikasi
Disebutkan bahwa dalam
kontrak mudharabah, kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal atau
investor.[12]
Investor tidak dapat meminta jaminan dari pengelola untuk memastikan kembalinya
modal yang diberikan beserta keuntungannya. Hal ini berlaku karena dalam
kontrak mudharabah, kedua pihak terikat dalam hubungan saling percaya sehingga
keberadaan jaminan akan menyebabkan tidak sahnya kontrak. Tuntutan investor
berupa syarat jaminan beserta ketentuannya kepada mudharib dalam kontrak
mudharabah akan menyebabkan tidak sahnya kontrak (hal ini merupakan pendapat
Imam Syafi’I dan Imam Malik). Begitu juga halnya dengan kontrak musyarakah.
Keberadaan jaminan di antara kepercayaan mereka yang berserikat akan
membatalkan keabsahan kontrak.[13]
Jika dilihat praktik
perbankan syariah, maka akan ditemui keberadaan jaminan dalam kontrak
mudharabah ataupun musyarakah.[14] Keberadaan jaminan ini
merupakan inisiatif bank untuk meyakinkan bahwa modal yang dipinjamkan kepada
nasabah diharapkan kembali seperti semula sesuai dengan ketentuan yang telah
disepakati sebelumnya dalam kontrak.
Jaminan tidak
dimaksudkan untuk memastikan kembalinya modal yang telah dipinjamkan, melainkan
untuk meyakinkan bahwa mudharib telah melaksanakan semua ketentuan yang
disepakati dalam kontrak.
Salah satu bank Islam
di Mesir misalnya, mensyaratkan dalam mudharabah bahwa jika pengelola terbukti
tidak memanfaatkan dana atau tidak menjaga barang dagangan sebagaimana mestinya
sesuai dengan persyaratan pemilik modal, sehingga mengalami kerugian, maka
jaminan atau garansi yang diberikan dijadikan sebagai ganti atas kerugian yang
dialami. Artinya, pengelola bertanggungjawab atas kerugian dan jaminan menjadi
kompensasi bagi pihak bank. Apabila jaminan yang diserahkan tidak cukup untuk
menutup kerugian, maka pengelola harus memberikan tambahan jaminan atau garansi
dalam jangka waktu yang telah ditentukan.[15]
Dalam praktik
musyarakah, bank syariah meminta jaminan dari partnernya berupa:[16]
a.
Cek yang diserahkan
partner kepada bank di mana jumlah cek sama dengan nilai investasi bank dalam
kontrak musyarakah
b.
Rekening dan tanda
pembayaran dari penjualan barang-barang musyarakah kepada pihak ketiga yang
dilakukan berdasarkan pembayaran ditangguhkan dan catatan tersebut harus
disetorkan kepada bank
c.
Bank punya hak meminta
catatan saldo keuangan, dokumen, atau surat-surat perdagangan milik partner
untuk disimpan oleh bank
d.
Bank menganggap
dirinya sebagai pemilik barang-barang musyarakah mulai dari pembelian hingga
penjualan barang-barang tersebut
e.
Jika barang-barang
musyarakah dijual kepada pihak ketiga dengan berdasarkan pembayaran
ditangguhkan, maka pihak bank punya hak untuk meminta partner sebagai penjamin
dan memberikan jaminan secara mutlak kepada partner atas utang yang diberikan
kepada pihak ketiga
G. Kesimpulan
1.
Salah satu prinsip
dalam pembiayaan pada bank syariah, sama seperti yang berlaku pada bank konvensional
adalah kehati-hatian. Wujud kehati-hatian ini beragam. Jika dilihat pada
pembiayaan mudharabah dan musyarakah, maka salah satu wujud kehati-hatian itu
adalah bank meminta nasabah memberikan jaminan atas pinjaman dana yang
diterimanya
2.
Secara konsep, dalam
kontrak mudharabah dan musyarakan, pemilik modal atau investor tidak
diperkenankan meminta jaminan dari nasabah
3.
Praktik di perbankan
syariah, bank meminta jaminan kepada nasabah dalam akad mudharabah dan
musyarakah. Hal ini bisa dikatakan tidak menyalahi konsep yang seharusnya
karena jaminan yang ditetapkan oleh bank, tidak untuk memastikan modalnya
kembali disertai keuntungan, melainkan untuk meyakinkan bahwa pengelola atau
nasabah menjalankan semua hal yang telah disepakati dalam akad dengan benar.
4.
Namun, tidak dapat dipungkiri
bahwa sebenarnya yang menjadi kekhawatiran adalah tidak kembalinya dana pemilik
modal. Tapi, tetap saja jaminan tersebut diperkenankan sebagai wujud
kehati-hatian pemilik modal dalam menginvestasikan modalnya.
Daftar Bacaan
Harahap,
Burhanudin. “Kedudukan, Fungsi dan Problematika Jaminan dalam Perjanjian
Pembiayaan Mudharabah pada Perbankan Syariah”, dalam Yustisia. No. 69,
Sept-Des 2006
Karim, Adiwarman A. Islamic Banking: Fiqh and Financial
Analysis. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005
Nasution, Chaeruddin Syah. “Manajemen Kredit Syariah Bank
Muamalat”, dalam Kajian Ekonomi dan Keuangan. Vol. 7. No. 3, September
2003
Saeed, Abdullah. Bank Islam dan Bunga. Terj. Muhammad
Ufuqul Mubin, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
[4] Chaeruddin Syah
Nasution, “Manajemen Kredit Syariah Bank Muamalat”, dalam Kajian Ekonomi dan Keuangan, vol. 7,
no. 3, September 2003, hlm. 94
[5] Burhanudin
Harahap, “Kedudukan, Fungsi dan Problematika Jaminan dalam Perjanjian
Pembiayaan Mudharabah pada Perbankan Syariah”, dalam Yustisia, No. 69,
Sept.-Des. 2006, hlm. 48
[9] Adiwarman
A. Karim, Islamic Banking: Fiqh and Financial Analysis, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 206
[12] Abdullah
Saeed, Bank Islam dan Bunga, terj. Muhammad Ufuqul Mubin, dkk.,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 91
Tidak ada komentar:
Posting Komentar