Prakata
Bunga (interest)
merupakan istilah yang tidak asing lagi ditelinga kita. Dalam dunia perbankan
atau pasar modal atau kegiatan keuangan lainnya, bunga merupakan bagian yang
sudah melekat dan menjadi bagian yang sangat penting dalam aktivitas keuangan.
Meskipun sebagai bagian yang
penting dalam kegiatan keuangan, ternyata bunga membawa dampak buruk terhadap
kegiatan keuangan dan perekonomian secara luas. Keberadaan bunga menimbulkan
ketidakadilan, ketidakmerataan ekonomi dan eksploitasi pihak-pihak tertentu.
Keberadaan bunga menyebabkan jarak antara orang kaya dan miskin menjadi semakin
jauh (hal ini bertolak belakang dengan tujuan ekonomi yang harusnya menciptakan
kemakmuran untuk semua pihak).
Oleh karena itu, di sini
penulis mencoba untuk melihat dampak bunga terhadap kemaslahatan ekonomi dan
kaitannya dengan keberadaan lembaga-lembaga keuangan syariah yang tidak
menganut sistem bunga. Apakah keberadaan lembaga-lembaga syariah dapat
menstabilkan perekonomian atau justru keberadaan lembaga keuangan dengan sistem
bunga malah menghalangi lembaga-lembaga keuangan syariah untuk mewujudkan
kemaslahatan ekonomi?
A. Konsep Maslahah
Islam mengajarkan bahwa
tujuan hidup manusia adalah menuju kebahagiaan dunia dan akhirat yang dicapai
dalam rangka penghambaan diri kepada Allah SWT. Penghambaan ini membawa pada
kebutuhan akan adanya Allah SWT sehingga manusia memiliki kontrol dalam
berperilaku.[1]
Manusia, dalam skala yang
lebih besar merupakan makhluk sosial yang memerlukan orang lain dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus merupakan makhluk
ekonomi karena hidupnya tidak pernah lepas dari pemenuhan kebutuhan. Kegiatan
ekonomi dalam Islam bukan semata pemenuhan kebutuhan dan keinginan, melainkan
juga harus dilakukan dengan cara-cara yang benar, tidak zalim ataupun batil.[2]
1. Maslahah dalam al-Qur’an
Kata maslahah berasal dari
bahasa Arab mas{lah{ah dengan asal katanya s{alah{a – yas{luh{u yang bermakna
baik, layak. Kata maslahah bisa juga berasal dari kata as{lah{a yang berarti
memperbaiki. Berdasarkan dua definisi ini, maslahah ketika dihubungkan dengan
perilaku manusia, dapat dipahami sebagai kebaikan, dan kebaikan tersebut
membawa manfaat bagi dirinya, orang lain dan alam sekitarnya.[3]Hal ini
juga telah digambarkan Allah SWT dalam firmannya:
وَمَاكَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ
وَّاَهْلُهَا مُصْلِحُوْنَ (هود: 117)
“Dan
Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, selama penduduknya
orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. Hud: 117).[4]
Ayat ini mengindikasikan betapa pentingnya kemaslahatan.
Allah SWT akan senantiasa menjaga dan melindungi mereka-mereka yang selalu
melakukan tindakan yang akan membawa kemaslahatan bagi dirinya, orang lain dan
lingkungannya.
2. Maslahah sebagai Maqa>s{id Syari’ah
Maqa>s{id syariah dipahami
sebagai tujuan dari aturan, perintah-perintah, larangan-larangan, hukum dan
perundangan-undangan.[5] Ada
ukuran-ukuran tertentu dalam melihat maqa>s{id syariah. Ukuran-ukuran
tersebut menurut Ibnu ‘A>syu>r adalah:[6]
a.
Maqa>s{id syariah
merupakan fitrah manusia
b.
Toleran, dimana maqa>s{id
syariah dilakukan secara wajar[7]
c.
Maslahah sebagai fokus utama
syariat Islam, baik maslahah individu maupun maslahah umum (ukuran maslahah
seharusnya adalah maslahah umum).[8]
B. Maslahah dalam Ekonomi
Ekonomi dalam Islam bertujuan
untuk mencapai maslahah. Manusia diberi akal agar dapat digunakan untuk
menciptakan maslahah (maslahah creation). Dimensi penciptaan maslahah
ini lebih luas bila dibandingkan dengan tujuan ekonomi yang dipahami dalam
teori ekonomi konvensional. Dimensi maslahah tersebut antara lain: (1)apa yang
akan diproduksi, (2)bagaimana cara memproduksinya, (3)bagaimana cara
mendistribusikannya, (4)bagaimana menggunakannya (pemanfaatan dengan cara yang
benar), dan (5)bagaimana mempertahankannya (menjaga dan melestarikannya).[9]
Maslahah tidak dapat dicapai
hanya dengan memenuhi kebutuhan lewat pemanfaatan semata, tapi harus
memperhitungkan barakah dari manfaat yang diperoleh. Jika sesuatu yang
dimanfaatkan itu tidak mengandung barakah – yang diukur berdasarkan nilai-nilai
agama – maka tidak bisa mencapai maslahah, yang barangkali akan terjadi justru
kerusakan.[10]
Adapun prinsip umum atau
pedoman mencapai barakah antara lain: (1)tidak bersifat ilegal atau haram,
(2)prinsip pemerataan dan berbasis masyarakat, (3)kemakmuran yang berkeadilan,
(4)prinsip tidak saling menzalimi, dan (5)prinsip keseimbangan dan
kesederhanaan.[11]
C. Bunga
Perbincangan terkait bunga
selalu erat hubungannya dengan riba. Oleh karena itu, sebelum lebih jauh
membahas bunga, tulisan ini akan terlebih dahulu memaparkan sedikit tentang apa
itu riba dan kenapa riba itu dilarang.
1. Riba dan Pengharamannya
Riba dalam bahasa Arab
berasal dari kata raba (fi’il madhi) yang berarti bertambah dan tumbuh.
Sedangkan secara istilah, menurut Abu Ishaq, riba berarti seseorang memberikan
sesuatu dengan tujuan agar ia mendapat kompensasi lebih dari apa yang ia
berikan. Namun, riba dalam bentuk ini tidaklah haram. Lebih lanjut Abu Ishaq
menyatakan bahwa riba itu terdiri dari dua bentuk:[12]
a.
Riba yang dilarang, yaitu
setiap pinjaman yang dikembalikan dengan disertai tambahan atau pinjaman yang
digunakan untuk memperoleh keuntungan.
b.
Riba yang diperbolehkan,
yaitu mendonasikan uang dengan tujuan mendapatkan yang lebih banyak dari Allah
SWT.
Sementara itu, menurut
Al-Sarakhsi (seorang ulama Hanafi), keuntungan yang diperoleh dari pinjaman
yang bersyarat di awal merupakan hal yang dilarang oleh Nabi SAW. Ibnu Abbas
dan Mas’ud melarang perpanjangan waktu pinjaman yang kemudian memberikan
keuntungan bagi yang meminjamkan karena menurut mereka pinjam meminjam
merupakan hubungan tolong menolong dan persaudaraan.[13]
Berdasarkan beberapa definisi
tentang riba di atas, kita barangkali akan berkesimpulan bahwa setiap tambahan
atas setiap pinjaman adalah riba dan merupakan hal yang diharamkan dalam Islam.
Sebenarnya, tidak juga bisa langsung disimpulkan dan ditetapkan begitu saja. Pengharaman
riba pada dasarnya bukan karena tambahannya, melainkan nilai-nilai moral yang
terkandung dalam tambahan tersebut.[14] Pada
masa Jahiliyah, bahkan sampai masa Islam datangpun, riba menjadi bagian penting
dalam kegiatan ekonomi masyarakat Arab. Pelarangan riba terjadi karena dalam
praktiknya, riba tersebut mengandung unsur pemerasan dan penindasan.[15] Oleh
karena itu, pelarangan riba adalah untuk menghindari eksploitasi, kezaliman,
ketidakadilan, penindasan dan pemerasan bukan pelarangan atas tambahannya.
2. Bunga sebagai Riba Versi Modern
Berdasarkan definisi yang
telah dikemukakan sebelumnya, riba merupakan setiap tambahan baik dalam jumlah
besar atau kecil yang ditetapkan di dalam kontrak pinjam meminjam. Tambahan
tersebut, dalam dunia modern hari ini dikenal dengan sebutan bunga. Jadi, bunga
dan riba itu sama saja.[16]
Kesamaan tersebutlah yang menyebabkan bunga yang beredar di zaman sekarang itu
haram (meskipun ada sebagian orang yang beranggapan bahwa bunga tidak sama
dengan riba).
Sama halnya dengan pelarangan
riba yang notabene bukan pelarangan atas tambahannya, melainkan larangan
terhadap nilai-nilai yang ada dibalik riba tersebut yaitu ketidakadilan,
penindasan, kezaliman, maka bungapun dilarang dengan alasan yang sama. Kontrak
yang didasari dengan adanya bunga akan menyebabkan ketidakadilan bagi salah
satu pihak yang melakukan kontrak. Tidak hanya itu, bunga juga akan berdampak
negatif terhadap perekonomian. Mulai dari tidak efisiennya alokasi sumber daya
masyarakat hingga tidak stabilnya sistem perekonomian.[17]
D. Dampak Bunga terhadap Maslahah dalam Ekonomi dan Lembaga Keuangan
Syariah (Analisis terhadap Kenaikan BI Rate)
Bunga, meskipun masih ada
sebagian orang yang memandanganya tidak sama dengan riba yang diharamkan dalam
Qur’an dan Hadis, tetap saja disepakati membawa pengaruh buruk terhadap
ekonomi. Ketika dipandang sebagai salah satu bentuk riba (tambahan), maka bunga
adalah instrumen ekonomi yang bersifat haram. Keberadaan unsur haram atau
ilegal merupakan salah satu penyebab tidak tercapainya barakah dalam ekonomi
yang pada akhirnya tidak akan membawa maslahah bagi semua pihak. Ketika tidak
dipandang sebagai salah satu bentuk riba (tidak dilihat unsur tambahannya),
maka bunga bukanlah isntrumen ekonomi yang bersifat haram karena tambahan. Bunga
dipandang haram karena pengaruh buruknya yang menyebabkan ketidakstabilan
ekonomi, dan merupakan unsur yang tidak mengandung keberkahan. Dengan begitu,
kemaslahatan untuk semua pihakpun tidak akan dapat dicapai.
Lembaga keuangan Islam yang
lahir dan berkembang dengan cita-cita melepaskan ekonomi dari unsur bunga demi
mencapai kemakmuran dan kemaslahatan semua pihak ternyata dalam perjalanannya
mengalami banyak hambatan. Salah satu hambatan tersebut adalah keterkaitan erat
antara lembaga keuangan Islam dengan lembaga-lembaga keuangan lain yang
berbasis bunga. Lembaga keuangan Islam belum bisa melepaskan diri dari
lembaga-lembaga keuangan berbasis bunga, sehingga dalam praktiknya lembaga
keuangan Islam tetap bersentuhan dengan bunga. Barangkali hal inilah yang
menyebabkan lembaga keuangan Islam belum mampu mencapai kemaslahatan bersama
yang dicita-citakan.
Berdasarkan sejumlah berita,
kenaikan suku bunga acuan (BI rate) pada Juli 2013 berdampak negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kenaikan BI rate dapat memicu kenaikan suku
bunga kredit perbankan yang akan menyebabkan penurunan jumlah kredit. Penurunan
kredit tersebut akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Kondisi ekonomi yang
tertekan dan menciut karena kenaikan suku bunga tersebut akan memperburuk
kondisi masyarakat secara ekonomi dan sosial. Akibatnya, kemaslahatan untuk
masyarakat secara keseluruhan tidak mungkin bisa terwujud dengan kondisi buruk
tersebut.
Secara materil, kenaikan suku
bunga perbankan barangkali berdampak negatif terhadap lembaga keuangan syariah
karena meningkatnya suku bunga akan menarik perhatian nasabah sementara tingkat
bagi hasil bank syariah tidak ikut naik. Namun di sisi lain, kenaikan suku
bunga bank konvensional akan menyebabkan kenaikan rate dalam mekanisme produk
murabahah bank syariah. Hal ini terjadi karena dalam penentuan rate produk
murabahah, bank syariah masih menjadikan suku bunga bank konvensional sebagai
acuan. Keterhubungan dan ketergantungan bank syariah pada bank konvensional
inilah yang barangkali menyebabkan bank syariah belum mampu mewujudkan maslahah
yang dicita-citakan.
Penutup
Ekonomi dalam Islam bertujuan
untuk mencapai kemaslahatan yang sebesar-besarnya. Salah satu unsur penting
dalam mencapai kemaslahatan tersebut adalah beroleh keberkahan dari Allah yang
dapat dicapai lewat kepatuhan terhadap ajaran-ajaran agama. Dalam kegiatan
ekonomi, keberkahan bisa dicapai dengan tindakan legal, kegiatan pemerataan dan
berbasis masyarakat, kemakmuran yang berkeadilan, tidak saling menzalimi,
seimbang dan sederhana.
Praktik ekonomi hari ini
mengandung unsur bunga yang meskipun belum disepakati sebagai riba, namun
disepakati berdampak buruk terhadap ekonomi. Bunga menimbulkan ketidakadilan,
ketidakmerataan dan kezaliman. Dengan begitu, bunga menghambat tercapainya
barakah, sehingga orang-orang tidak akan bisa sampai pada kemaslahatan.
Lembaga keuangan syariah,
meskipun bebas bunga, namun karena tidak bisa melepaskan diri dari hubungannya
dengan lembaga-lembaga keuangan berbasis bunga juga mengalami kesulitan untuk
mencapai keberkahan demi mewujudkan kemaslahatan. Dengan begitu, selama lembaga
keuangan syariah masih bersentuhan dengan bunga, maka kemaslahatan yang
dicita-citakan tersebut tidak akan bisa dicapai.
Bacaan
Alfattouh, Ruba, dkk.. “Riba in Lisan Al Arab” dalam Abdulkader Thomas (ed.). Interest in Islamic Economic: Understanding
Riba. New York: Routledge, 2006.
Ayub, Muhammad. Understanding Islamic Finance. Inggris: John
Willey& Sons, 2007.
Iqbal, Munawar dan Philip Molyneux. Thirty Years of Islamic
Banking History, Performance and Prospects. New York: Palgrave Macmilan,
2005.
Kementerian Agama RI. Pembangunan Ekonomi Umat (Tafsir al-Qur’an
Tematik, Edisi yang Disempurnakan). Jakarta, Direktorat Urusan Agama Islam
dan Pembinaan Syariah, 2012.
Misanam, Munrokhim. “The Essence of Islamic Economics – Maslahah
Creation” dikutip dari kuliah Ekonomi Makro Islam, Sabtu 21 September
2013.
. “The Essence of Islamic Economics – Falah, Ibadah and Maslahah
Maximization” dikutip dari kuliah Ekonomi Makro Islam, Sabtu 16 November
2013.
Suryadi. “Riba Perspektif Hadis” dalam Abd Salam Aris dan Mochamad
Sodik (ed.). Antologi Hukum Islam. Yogyakarta: Program Studi Hukum Islam
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.
Redaksi. “Perbankan Masih Kaji Dampak Kenaikan BI Rate.”dalam www.tribunnews.com, diakses 30 Desember 2013.
Thertina, Martha, dkk. “Suku Bunga Naik, Pertumbuhan Ekonomi
Melambat.” dalam www.tempo.co, diakses 30 Desember 2013.
Arfah, Najamuddin. “Kenaikan BI Rate Picu Perlambatan Ekonomi.”
dalam www.tempo.co, diakses 30 Desember 2013.
Teresia, Ananda. “Apindo: Kenaikan BI Rate Menekan Perekonomian.”
dalam www.tempo.co, diakses 30 Desember 2013.
[1] Kementerian Agama RI, Pembangunan Ekonomi
Umat (Tafsir al-Qur’an Tematik, Edisi yang Disempurnakan), (Jakarta,
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, 2012), hlm. 175.
[2] Kementerian Agama RI, Pembangunan Ekonomi
Umat......, hlm. 176.
[3]Kementerian Agama RI, Pembangunan Ekonomi
Umat......, hlm. 177.
[4] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005), hlm. 234.
[5] Kementerian Agama RI, Pembangunan Ekonomi
Umat......, hlm. 179.
[6]Kementerian Agama RI, Pembangunan Ekonomi
Umat......, hlm. 179.
[7] Kementerian Agama RI, Pembangunan Ekonomi
Umat......, hlm. 181.
[8]Kementerian Agama RI, Pembangunan Ekonomi
Umat......, hlm. 182-183.
[9]Dikutip dari kuliah yang disampaikan oleh Bapak
Drs. Munrokhim Misanam, Ekonomi Makro Islam:The Essence of Islamic Economics
– Maslahah Creation, Sabtu 21 September 2013.
[10] Dikutip dari kuliah yang disampaikan oleh
Bapak Drs. Munrokhim Misanam, Ekonomi Makro Islam:The Essence of Islamic
Economics – Falah, Ibadah and Maslahah Maximization, Sabtu 16 November
2013.
[11] Kementerian Agama RI, Pembangunan Ekonomi
Umat......, hlm. 186-195.
[12]Ruba Alfattouh, dkk. “Riba in Lisan Al Arab,”
dalam Abdulkader Thomas (ed.), Interest in Islamic Economic: Understanding
Riba, (New York: Routledge, 2006),
hlm. 22.
[14] Siddiqi, sebagaimana yang dikutip oleh Munawar
Iqbal dan Philip Molyneux mengemukakan lima alasan pengharaman riba, yaitu (1)
ketidakadilan dalam riba, (2) riba merusak masyarakat, (3) pemberian yang tidak
layak terhadap kepemilikan orang lain, (4) dampak paling buruk dari riba adalah
pertumbuhan ekonomi yang negatif, dan (5) riba merendahkan dan merusak
personalitas manusia. Dalam Munawar Iqbal dan Philip Molyneux, Thirty Years
of Islamic Banking History, Performance and Prospects, (New York: Palgrave
Macmilan, 2005), hlm. 10.
[15]Suryadi, “Riba Perspektif Hadis,” dalam Abd
Salam Aris dan Mochamad Sodik (ed.), Antologi Hukum Islam, (Yogyakarta:
Program Studi Hukum Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010),
hlm. 126.
[16]
Munawar Iqbal dan Philip Molyneux, Thirty
Years of Islamic Banking History, Performance and Prospects,......, hlm. 9.
[17]Munawar Iqbal dan Philip Molyneux, Thirty
Years of Islamic Banking History, Performance and Prospects,......, hlm.
10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar