Rabu, 07 Februari 2018

DAMPAK BUNGA TERHADAP KEMASLAHATAN EKONOMI DAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH_070114



Prakata
Bunga (interest) merupakan istilah yang tidak asing lagi ditelinga kita. Dalam dunia perbankan atau pasar modal atau kegiatan keuangan lainnya, bunga merupakan bagian yang sudah melekat dan menjadi bagian yang sangat penting dalam aktivitas keuangan.
Meskipun sebagai bagian yang penting dalam kegiatan keuangan, ternyata bunga membawa dampak buruk terhadap kegiatan keuangan dan perekonomian secara luas. Keberadaan bunga menimbulkan ketidakadilan, ketidakmerataan ekonomi dan eksploitasi pihak-pihak tertentu. Keberadaan bunga menyebabkan jarak antara orang kaya dan miskin menjadi semakin jauh (hal ini bertolak belakang dengan tujuan ekonomi yang harusnya menciptakan kemakmuran untuk semua pihak).
Oleh karena itu, di sini penulis mencoba untuk melihat dampak bunga terhadap kemaslahatan ekonomi dan kaitannya dengan keberadaan lembaga-lembaga keuangan syariah yang tidak menganut sistem bunga. Apakah keberadaan lembaga-lembaga syariah dapat menstabilkan perekonomian atau justru keberadaan lembaga keuangan dengan sistem bunga malah menghalangi lembaga-lembaga keuangan syariah untuk mewujudkan kemaslahatan ekonomi?

A. Konsep Maslahah
Islam mengajarkan bahwa tujuan hidup manusia adalah menuju kebahagiaan dunia dan akhirat yang dicapai dalam rangka penghambaan diri kepada Allah SWT. Penghambaan ini membawa pada kebutuhan akan adanya Allah SWT sehingga manusia memiliki kontrol dalam berperilaku.[1]
Manusia, dalam skala yang lebih besar merupakan makhluk sosial yang memerlukan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus merupakan makhluk ekonomi karena hidupnya tidak pernah lepas dari pemenuhan kebutuhan. Kegiatan ekonomi dalam Islam bukan semata pemenuhan kebutuhan dan keinginan, melainkan juga harus dilakukan dengan cara-cara yang benar, tidak zalim ataupun batil.[2]


1.  Maslahah dalam al-Qur’an
Kata maslahah berasal dari bahasa Arab mas{lah{ah dengan asal katanya s{alah{a – yas{luh{u yang bermakna baik, layak. Kata maslahah bisa juga berasal dari kata as{lah{a yang berarti memperbaiki. Berdasarkan dua definisi ini, maslahah ketika dihubungkan dengan perilaku manusia, dapat dipahami sebagai kebaikan, dan kebaikan tersebut membawa manfaat bagi dirinya, orang lain dan alam sekitarnya.[3]Hal ini juga telah digambarkan Allah SWT dalam firmannya:
وَمَاكَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَّاَهْلُهَا مُصْلِحُوْنَ (هود: 117)
“Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, selama penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. Hud: 117).[4]
Ayat ini mengindikasikan betapa pentingnya kemaslahatan. Allah SWT akan senantiasa menjaga dan melindungi mereka-mereka yang selalu melakukan tindakan yang akan membawa kemaslahatan bagi dirinya, orang lain dan lingkungannya.

2.  Maslahah sebagai Maqa>s{id Syari’ah
Maqa>s{id syariah dipahami sebagai tujuan dari aturan, perintah-perintah, larangan-larangan, hukum dan perundangan-undangan.[5] Ada ukuran-ukuran tertentu dalam melihat maqa>s{id syariah. Ukuran-ukuran tersebut menurut Ibnu ‘A>syu>r adalah:[6]
a.    Maqa>s{id syariah merupakan fitrah manusia
b.    Toleran, dimana maqa>s{id syariah dilakukan secara wajar[7]
c.    Maslahah sebagai fokus utama syariat Islam, baik maslahah individu maupun maslahah umum (ukuran maslahah seharusnya adalah maslahah umum).[8]

B. Maslahah dalam Ekonomi
Ekonomi dalam Islam bertujuan untuk mencapai maslahah. Manusia diberi akal agar dapat digunakan untuk menciptakan maslahah (maslahah creation). Dimensi penciptaan maslahah ini lebih luas bila dibandingkan dengan tujuan ekonomi yang dipahami dalam teori ekonomi konvensional. Dimensi maslahah tersebut antara lain: (1)apa yang akan diproduksi, (2)bagaimana cara memproduksinya, (3)bagaimana cara mendistribusikannya, (4)bagaimana menggunakannya (pemanfaatan dengan cara yang benar), dan (5)bagaimana mempertahankannya (menjaga dan melestarikannya).[9]
Maslahah tidak dapat dicapai hanya dengan memenuhi kebutuhan lewat pemanfaatan semata, tapi harus memperhitungkan barakah dari manfaat yang diperoleh. Jika sesuatu yang dimanfaatkan itu tidak mengandung barakah – yang diukur berdasarkan nilai-nilai agama – maka tidak bisa mencapai maslahah, yang barangkali akan terjadi justru kerusakan.[10]
Adapun prinsip umum atau pedoman mencapai barakah antara lain: (1)tidak bersifat ilegal atau haram, (2)prinsip pemerataan dan berbasis masyarakat, (3)kemakmuran yang berkeadilan, (4)prinsip tidak saling menzalimi, dan (5)prinsip keseimbangan dan kesederhanaan.[11]

C. Bunga
Perbincangan terkait bunga selalu erat hubungannya dengan riba. Oleh karena itu, sebelum lebih jauh membahas bunga, tulisan ini akan terlebih dahulu memaparkan sedikit tentang apa itu riba dan kenapa riba itu dilarang.

1.  Riba dan Pengharamannya
Riba dalam bahasa Arab berasal dari kata raba (fi’il madhi) yang berarti bertambah dan tumbuh. Sedangkan secara istilah, menurut Abu Ishaq, riba berarti seseorang memberikan sesuatu dengan tujuan agar ia mendapat kompensasi lebih dari apa yang ia berikan. Namun, riba dalam bentuk ini tidaklah haram. Lebih lanjut Abu Ishaq menyatakan bahwa riba itu terdiri dari dua bentuk:[12]
a.    Riba yang dilarang, yaitu setiap pinjaman yang dikembalikan dengan disertai tambahan atau pinjaman yang digunakan untuk memperoleh keuntungan.
b.    Riba yang diperbolehkan, yaitu mendonasikan uang dengan tujuan mendapatkan yang lebih banyak dari Allah SWT.
Sementara itu, menurut Al-Sarakhsi (seorang ulama Hanafi), keuntungan yang diperoleh dari pinjaman yang bersyarat di awal merupakan hal yang dilarang oleh Nabi SAW. Ibnu Abbas dan Mas’ud melarang perpanjangan waktu pinjaman yang kemudian memberikan keuntungan bagi yang meminjamkan karena menurut mereka pinjam meminjam merupakan hubungan tolong menolong dan persaudaraan.[13]
Berdasarkan beberapa definisi tentang riba di atas, kita barangkali akan berkesimpulan bahwa setiap tambahan atas setiap pinjaman adalah riba dan merupakan hal yang diharamkan dalam Islam. Sebenarnya, tidak juga bisa langsung disimpulkan dan ditetapkan begitu saja. Pengharaman riba pada dasarnya bukan karena tambahannya, melainkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam tambahan tersebut.[14] Pada masa Jahiliyah, bahkan sampai masa Islam datangpun, riba menjadi bagian penting dalam kegiatan ekonomi masyarakat Arab. Pelarangan riba terjadi karena dalam praktiknya, riba tersebut mengandung unsur pemerasan dan penindasan.[15] Oleh karena itu, pelarangan riba adalah untuk menghindari eksploitasi, kezaliman, ketidakadilan, penindasan dan pemerasan bukan pelarangan atas tambahannya.

2.  Bunga sebagai Riba Versi Modern
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan sebelumnya, riba merupakan setiap tambahan baik dalam jumlah besar atau kecil yang ditetapkan di dalam kontrak pinjam meminjam. Tambahan tersebut, dalam dunia modern hari ini dikenal dengan sebutan bunga. Jadi, bunga dan riba itu sama saja.[16] Kesamaan tersebutlah yang menyebabkan bunga yang beredar di zaman sekarang itu haram (meskipun ada sebagian orang yang beranggapan bahwa bunga tidak sama dengan riba).
Sama halnya dengan pelarangan riba yang notabene bukan pelarangan atas tambahannya, melainkan larangan terhadap nilai-nilai yang ada dibalik riba tersebut yaitu ketidakadilan, penindasan, kezaliman, maka bungapun dilarang dengan alasan yang sama. Kontrak yang didasari dengan adanya bunga akan menyebabkan ketidakadilan bagi salah satu pihak yang melakukan kontrak. Tidak hanya itu, bunga juga akan berdampak negatif terhadap perekonomian. Mulai dari tidak efisiennya alokasi sumber daya masyarakat hingga tidak stabilnya sistem perekonomian.[17]
D. Dampak Bunga terhadap Maslahah dalam Ekonomi dan Lembaga Keuangan Syariah (Analisis terhadap Kenaikan BI Rate)
Bunga, meskipun masih ada sebagian orang yang memandanganya tidak sama dengan riba yang diharamkan dalam Qur’an dan Hadis, tetap saja disepakati membawa pengaruh buruk terhadap ekonomi. Ketika dipandang sebagai salah satu bentuk riba (tambahan), maka bunga adalah instrumen ekonomi yang bersifat haram. Keberadaan unsur haram atau ilegal merupakan salah satu penyebab tidak tercapainya barakah dalam ekonomi yang pada akhirnya tidak akan membawa maslahah bagi semua pihak. Ketika tidak dipandang sebagai salah satu bentuk riba (tidak dilihat unsur tambahannya), maka bunga bukanlah isntrumen ekonomi yang bersifat haram karena tambahan. Bunga dipandang haram karena pengaruh buruknya yang menyebabkan ketidakstabilan ekonomi, dan merupakan unsur yang tidak mengandung keberkahan. Dengan begitu, kemaslahatan untuk semua pihakpun tidak akan dapat dicapai.
Lembaga keuangan Islam yang lahir dan berkembang dengan cita-cita melepaskan ekonomi dari unsur bunga demi mencapai kemakmuran dan kemaslahatan semua pihak ternyata dalam perjalanannya mengalami banyak hambatan. Salah satu hambatan tersebut adalah keterkaitan erat antara lembaga keuangan Islam dengan lembaga-lembaga keuangan lain yang berbasis bunga. Lembaga keuangan Islam belum bisa melepaskan diri dari lembaga-lembaga keuangan berbasis bunga, sehingga dalam praktiknya lembaga keuangan Islam tetap bersentuhan dengan bunga. Barangkali hal inilah yang menyebabkan lembaga keuangan Islam belum mampu mencapai kemaslahatan bersama yang dicita-citakan.
Berdasarkan sejumlah berita, kenaikan suku bunga acuan (BI rate) pada Juli 2013 berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kenaikan BI rate dapat memicu kenaikan suku bunga kredit perbankan yang akan menyebabkan penurunan jumlah kredit. Penurunan kredit tersebut akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Kondisi ekonomi yang tertekan dan menciut karena kenaikan suku bunga tersebut akan memperburuk kondisi masyarakat secara ekonomi dan sosial. Akibatnya, kemaslahatan untuk masyarakat secara keseluruhan tidak mungkin bisa terwujud dengan kondisi buruk tersebut.
Secara materil, kenaikan suku bunga perbankan barangkali berdampak negatif terhadap lembaga keuangan syariah karena meningkatnya suku bunga akan menarik perhatian nasabah sementara tingkat bagi hasil bank syariah tidak ikut naik. Namun di sisi lain, kenaikan suku bunga bank konvensional akan menyebabkan kenaikan rate dalam mekanisme produk murabahah bank syariah. Hal ini terjadi karena dalam penentuan rate produk murabahah, bank syariah masih menjadikan suku bunga bank konvensional sebagai acuan. Keterhubungan dan ketergantungan bank syariah pada bank konvensional inilah yang barangkali menyebabkan bank syariah belum mampu mewujudkan maslahah yang dicita-citakan.

Penutup
Ekonomi dalam Islam bertujuan untuk mencapai kemaslahatan yang sebesar-besarnya. Salah satu unsur penting dalam mencapai kemaslahatan tersebut adalah beroleh keberkahan dari Allah yang dapat dicapai lewat kepatuhan terhadap ajaran-ajaran agama. Dalam kegiatan ekonomi, keberkahan bisa dicapai dengan tindakan legal, kegiatan pemerataan dan berbasis masyarakat, kemakmuran yang berkeadilan, tidak saling menzalimi, seimbang dan sederhana.
Praktik ekonomi hari ini mengandung unsur bunga yang meskipun belum disepakati sebagai riba, namun disepakati berdampak buruk terhadap ekonomi. Bunga menimbulkan ketidakadilan, ketidakmerataan dan kezaliman. Dengan begitu, bunga menghambat tercapainya barakah, sehingga orang-orang tidak akan bisa sampai pada kemaslahatan.
Lembaga keuangan syariah, meskipun bebas bunga, namun karena tidak bisa melepaskan diri dari hubungannya dengan lembaga-lembaga keuangan berbasis bunga juga mengalami kesulitan untuk mencapai keberkahan demi mewujudkan kemaslahatan. Dengan begitu, selama lembaga keuangan syariah masih bersentuhan dengan bunga, maka kemaslahatan yang dicita-citakan tersebut tidak akan bisa dicapai.



Bacaan

Alfattouh, Ruba, dkk.. “Riba in Lisan Al Arab” dalam  Abdulkader Thomas (ed.).  Interest in Islamic Economic: Understanding Riba.  New York: Routledge, 2006.

Ayub, Muhammad. Understanding Islamic Finance. Inggris: John Willey& Sons, 2007.

Iqbal, Munawar dan Philip Molyneux. Thirty Years of Islamic Banking History, Performance and Prospects. New York: Palgrave Macmilan, 2005.

Kementerian Agama RI. Pembangunan Ekonomi Umat (Tafsir al-Qur’an Tematik, Edisi yang Disempurnakan). Jakarta, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, 2012.

Misanam, Munrokhim. “The Essence of Islamic Economics – Maslahah Creation” dikutip dari kuliah Ekonomi Makro Islam, Sabtu 21 September 2013.

              . “The Essence of Islamic Economics – Falah, Ibadah and Maslahah Maximization” dikutip dari kuliah Ekonomi Makro Islam, Sabtu 16 November 2013.

Suryadi. “Riba Perspektif Hadis” dalam Abd Salam Aris dan Mochamad Sodik (ed.). Antologi Hukum Islam. Yogyakarta: Program Studi Hukum Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.

Redaksi. “Perbankan Masih Kaji Dampak Kenaikan BI Rate.”dalam www.tribunnews.com, diakses 30 Desember 2013.

Thertina, Martha, dkk. “Suku Bunga Naik, Pertumbuhan Ekonomi Melambat.” dalam www.tempo.co, diakses 30 Desember 2013.

Arfah, Najamuddin. “Kenaikan BI Rate Picu Perlambatan Ekonomi.” dalam www.tempo.co, diakses 30 Desember 2013.

Teresia, Ananda. “Apindo: Kenaikan BI Rate Menekan Perekonomian.” dalam www.tempo.co, diakses 30 Desember 2013.



[1] Kementerian Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat (Tafsir al-Qur’an Tematik, Edisi yang Disempurnakan), (Jakarta, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, 2012), hlm. 175.
[2] Kementerian Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat......, hlm. 176.
[3]Kementerian Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat......, hlm. 177.
[4] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005), hlm. 234.
[5] Kementerian Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat......, hlm. 179.
[6]Kementerian Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat......, hlm. 179.
[7] Kementerian Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat......, hlm. 181.
[8]Kementerian Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat......, hlm. 182-183.
[9]Dikutip dari kuliah yang disampaikan oleh Bapak Drs. Munrokhim Misanam, Ekonomi Makro Islam:The Essence of Islamic Economics – Maslahah Creation, Sabtu 21 September 2013.
[10] Dikutip dari kuliah yang disampaikan oleh Bapak Drs. Munrokhim Misanam, Ekonomi Makro Islam:The Essence of Islamic Economics – Falah, Ibadah and Maslahah Maximization, Sabtu 16 November 2013.
[11] Kementerian Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat......, hlm. 186-195.
[12]Ruba Alfattouh, dkk. “Riba in Lisan Al Arab,” dalam  Abdulkader Thomas (ed.),  Interest in Islamic Economic: Understanding Riba,  (New York: Routledge, 2006), hlm. 22.
[13] Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, (Inggris: John Willey& Sons, 2007), hlm. 157.
[14] Siddiqi, sebagaimana yang dikutip oleh Munawar Iqbal dan Philip Molyneux mengemukakan lima alasan pengharaman riba, yaitu (1) ketidakadilan dalam riba, (2) riba merusak masyarakat, (3) pemberian yang tidak layak terhadap kepemilikan orang lain, (4) dampak paling buruk dari riba adalah pertumbuhan ekonomi yang negatif, dan (5) riba merendahkan dan merusak personalitas manusia. Dalam Munawar Iqbal dan Philip Molyneux, Thirty Years of Islamic Banking History, Performance and Prospects, (New York: Palgrave Macmilan, 2005), hlm. 10.
[15]Suryadi, “Riba Perspektif Hadis,” dalam Abd Salam Aris dan Mochamad Sodik (ed.), Antologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Program Studi Hukum Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010), hlm. 126.
[16] Munawar Iqbal dan Philip Molyneux, Thirty Years of Islamic Banking History, Performance and Prospects,......, hlm. 9.
[17]Munawar Iqbal dan Philip Molyneux, Thirty Years of Islamic Banking History, Performance and Prospects,......, hlm. 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam Selamat Datang

 Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh Selamat datang dan terimakasih kepada teman-teman yang sudah mampir ke laman rumahdialekis. ...