A. Pendahuluan
Bank
Islam dihadapkan pada dua jenis risiko. Pertama adalah risiko yang sama seperti
yang dihadapi lembaga keuangan konvensional dan kedua merupakan risiko unik
yang hanya dihadapi oleh bank Islam. Oleh karena itu, manajemen risiko yang
digunakan oleh bank Islam juga memiliki dua tipe. Pertama, teknik standar
seperti pelaporan risiko, audit internal dan eksternal, analisis GAP, RAROC,
peringkat internal dan sebagainya. Kedua, teknik yang perlu dikembangkan atau
digunakan sesuai kebutuhan untuk kepatuhan syariah (Khan dan Ahmed, 2001: 113).
1.
Sikap
terhadap risiko
Risiko
merupakan bagian yang penting bagi keuangan Islam. Dalam fiqh sendiri dikenal
istilah al-khira>ju bi al-d{ama>m dan al-ghummu
bi al-ghurm. Keuntungan dari
sebuah aset berhubungan dengan tanggung jawab hilangnya aset tersebut. Dalam
bank Islam tidak dikenal pemindahan risiko, yang ada adalah berbagi risiko dan
bank Islam tidak pula mengenal pembiayaan berbasis utang (Khan dan Ahmed, 2001:
113-114).
Terdapat
dua sikap ilmuan Islam terkait risiko. Pertama, utang dan return dari aseet
tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kedua, orang biasa tidak suka dengan
risiko, bank yang bekerja sebagai perwakilan orang-orang tersebut harus
hati-hati dan menghindari tanggungan risiko yang berlebihan (Khan dan Ahmed,
2001: 114-115).
2.
Toleransi
risiko keuangan
Secara
praktik, jika memungkinkan, bank harus menghilangkan semua risiko. Bank bisa
menggunakan modalnya dengan lebih efisien untuk mengumpulkan aset dan memaksimalkan
return atas ekuitas. Hal ini akan memungkinkan bank untuk memberikan keuntungan
lebih tinggi kepada pemegang deposito investasi.
Keberadaan
risiko merupakan biaya yang tidak diharapkan bank Islam seperti halnya bagi
bank konvensional. Jika bank Islam ingin menanggung risiko yang sama dengan
bank konvensional, maka bank Islam harus menyederhanakan dan memperbaiki model
pembiayaan mereka agar risiko yang dihadapi sepadan dengan risiko bank
konvensional. Hanya saja, penyederhanaan dan perbaikan tersebut akan
menyebabkan bank Islam kehilangan karakteristik Islam mereka, dan itu tidaklah
mungkin. Karena risiko tambahan tersebut tidak dapat dihindari, maka bank Islam
harus mempertahankan modal tambahan dan mengembangkan pengendalian internal dan
teknik manajemen risiko yang sangat tepat (Khan dan Ahmed, 2001: 115).
B. Risiko Kredit
Bank
Islam menghadapi risiko kredit yang lebih berat dibandingkan bank konvensional
karena: (1)karakteristik risiko kredit umum yang dimilik bank Islam, (2)karakteristik
risiko nasabah model pembiayaan tertentu bank Islam, (3)keakuratan perhitungan
kerugian kredit, dan (4)ketersediaan teknik mengatasi risiko (Khan dan Ahmed,
2001: 116).
1.
Pentingnya
kalkulasi kerugian
Kontrak
keuangan Islam sangatlah kompleks sehingga penghitungan kerugian yang mungkin
terjadi barangkali akan menjadi tantangan tersendiri dalam kontrak Islam.
Kompleksitas tersebut ditambah lagi dengan tidak adanya kesepakatan terkait
pelanggaran dan sifat dasar utang yang tidak likuid. Tantangan ini dapat ditangani
dengan mengadopsi pendekatan dasar IRB (Khan dan Ahmed, 2001: 116).
2.
Teknik
mitigasi risiko kredit
a.
Cadangan
kerugian pinjaman
Teknik
ini memberikan perlindungan dari kerugian kredit yang mungkin terjadi. Efektif
atau tidaknya cadangan ini tergantung pada kredibilitas sistem untuk menghitung
kerugian yang mungkin terjadi. Selain itu, sebagian bank Islam juga telah
membentuk cadangan perlindungan investasi dari hasil kontribusi depositor
investasi dan pemilik bank (Khan dan Ahmed, 2001: 117-118).
b.
Jaminan
Bank
Islam menggunakan jaminan untuk melindungi keuangan. Adapun karakteristik
jaminan pada bank Islam adalah: (1)modal yang diberikan tergantung pada jaminan
yang diberikan, (2)ada sejumlah aset yang dalam pandangan bank Islam merupakan
jaminan yang bagus dan berhak mendapat modal, (3)meskipun dilarang berjual beli
utang, namun bank Islam menerima instrumen utang yang bersifat likuid sebagai
jaminan, (4)bank Islam memiliki akses terbatas terhadap aset yang mereka
biayai, dan (5)sistem hukum di mana bank
Islam beroperasi tidak mendukung aspek kualitatif jaminan yang bagus
sehingga sangat sulit mendapatkan kontrol aset dan mengubahnya menjadi
likuiditas tanpa harus mengeluarkan biaya tinggi (Khan dan Ahmed, 2001:
118-120).
c.
On-balance
sheet netting
Teknik
ini adalah menyesuaikan obligasi keuangan bersama dengan akuntansi satu posisi
netto obligasi bersama (Khan dan Ahmed, 2001: 121).
d.
Garansi
Garansi
merupakan jaminan tambahan yang digunakan untuk meningkatkan kualitas kredit.
Garansi komersial merupakan alat yang paling penting untuk mengendalikan risiko
kredit pada bank konvensional. Bagi bank Islam, sesuai dengan Fiqh, hanya pihak
ketiga yang boleh memberikan garansi sebagai perbuatan baik dan berbasis jasa
yang menuntut pengeluaran aktual. Tidak adanya kesepakatan menyebabkan
instrumen ini tidak efektif digunakan dalam industri bank Islam (Khan dan
Ahmed, 2001: 121).
e.
Derivatif kredit dan
sekuritisasi
Bank
Islam tidak menggunakan padanan derivatif kredit apapun. Praktik di Malaysia memberikan
gambaran bagaimana persoalan jual beli utang dapat diatasi: (1)membedakan
antara utang yang secara penuh aman dan yang tidak aman, (2)meskipun jual beli
utang tidak diperbolehkan, namun pemilik utang boleh menunjuk seorang penagih
utang, dan (3)utang bisa digunakan sebagai harga untuk membeli aset riil (Khan
dan Ahmed, 2001: 123).
f.
Mitigasi
risiko kontrak
Gharar bisa jadi kecil dan tidak dapat dihindari, tapi
juga bisa menjadi beggitu besar dan menyebabkan ketidakadilan, pembatalan dan
pelanggaran kontrak. Oleh karena itu, diperlukan kontrak yang pas sebagai
teknik pengendalian risiko: (1)klausul kontrak yang menentukan pihak yang
bertanggung jawab atas kerugian jika terjadi fluktuasi harga pada kontrak Salam,
(2)diperbolehkan adanya penalti dalam akad Istis{na>’ guna mengantisipasi tidak terpenuhinya
spesifikasi barang, (3)pembayaran dalam Istis{na>’ bisa
dilakukan secara berangsung-angsur guna mengurangi pengeluaran kredit bank,
(4)pembayaran dimuka pada akad Murabahah sebagai langkah untuk mengatasi
risiko tidak mengikatnya kontrak, (5)adanya insentif berupa potongan pada akad
tertentu, (6)kesepakatan untuk mengikuti proses jika terjadi sengketa,
(7)kontrak bisa mengikat bagi klien dan tidak bagi bank untuk mengurangi risiko
penolakan klien untuk mengambil barang, dan (8) pada akad Murabahah,
bank menyimpan aset untuk sementara waktu yang menimbulkan risiko kepemilikan
sehingga diperlukan alokasi modal untuk itu (Khan dan Ahmed, 2001: 125-126) .
g.
Rating
internal
Dalam
rangka menjaga regulasi perkiraan kerugian pinjaman, semua bank menggunakan
beberapa bentuk evaluasi dan peringkat internal aset dan klien mereka. Sistem peringkat internal bisa digambarkan
sebagai persediaan berbasis risiko pada aset individu bank. Sistem ini
mengidentifikasi risiko kredit yang dihadapi bank berbasis aset ke aset dan
cara terencana daripada melihat risiko bank berbasis portofolio keseluruhan.
Karena karakteristik bank Islam berbeda, maka perlu dibentuk sistem peringkat
internal dasar yang terdiri dari dua informasi yaitu fasilitas jatuh tempo dan
kualitas kredit klien (Khan dan Ahmed, 2001: 126-127).
h.
RAROC
RAROC
digunakan untuk mengalokasikan modal diantara kelompok aset yang berbeda dan
antar unit bisnis dengan memeriksa faktor return-risiko. Dalam bank Islam
sendiri, RAROC digunakan untuk menentukan modal untuk beragam model pembiayaan
(Khan dan Ahmed, 2001: 128).
i.
Model
komputerisasi
Model
ini merupakan pengembangan dari sistem peringkat internal. Karena model ini
penting guna manajemen risiko di masa depan, maka bank Islam perlu membuat
strategi terencana dan sadar akan sistem yang maju kapanpun (Khan dan Ahmed,
2001: 129).
C. Risiko Pasar
1.
Tantangan
bisnis bank Islam: tinjauan umum
Tidak
tersedianya derivatif keuangan merupakan gangguan utama bagi bank Islam untuk
mengatur risiko pasar mereka (Khan dan Ahmed, 2001: 129).
2.
Komposisi
risiko pasar keseluruhan
Risiko
suku bunga dan risiko perdagangan luar negeri merupakan risiko yang paling
penting. Keterlambatan pembayaran karena perubahan harga pasar akan
mempengaruhi pendapatan bersih bank. Bank konvensional akan menggunakan
derivatif kredit untuk mengatasi risiko ini. Sementara itu, bank Islam tidak
mempunyai derivatif kredit dan tidak pula bisa menjadwal ulang utang berbasis
mark-up. Dengan begitu, bank Islam lebih gampang terkena dampak risiko suku
bunga (Khan dan Ahmed, 2001: 132).
3.
Tantangan manajemen
risiko tingkat tolak ukur
Bank
Islam tidak menggunakan bunga dalam transaksi mereka. Namun begitu, bank Islam
menjadikan suku bunga sebagai tolak ukur penentuan mark-up pada transaksi Murabahah.
Dengan begitu, perubahan suku bunga sebagai acuan merupakan risiko yang juga
dihadapi oleh bank Islam. Beberapa teknik untuk mengurangi risiko Murabahah adalah
(Khan dan Ahmed, 2001: 133).
a.
Kontrak
dua tahap dan analisis GAP
Analisis GAP digunakan
untuk mengukur pendapatan bersih dan sensitivitasnya terhadap suku bunga
sebagai tolak ukur. Efektivitas strategi manajemen GAP pada bank Islam
memerlukan fleksibilitas dua sisi ekstrim utang dan asset. Pada sisi asset,
manajer bank Islam memerlukan lebih banyak asset yang bisa dihargai ulang (Khan dan Ahmed, 2001: 133).
Pada kontrak dua tahap,
bank Islam berperan sebagai penjamin dalam memfasilitasi dana untuk para
pengguna. Jaminan ini tidak bisa dijadikan aktivitas komersial. Dalam kontrak
dua tahap, jaminan bisa disediakan lewat partisipasi bank Islam dalam proses
pendanaan sebagai pembeli actual (Khan
dan Ahmed, 2001: 134).
b.
Kontrak
suku bunga mengambang
Pinjaman dengan bunga
mengambang bisa dipilih karena risikonya yang lebih kecil dibandingkan kontrak
dengan suku bunga tetap (Khan dan
Ahmed, 2001: 135).
c.
Dibolehkannya
swap
Swap yang diberlakukan
dalam bank konvensional dilarang dalam fiqh. Hanya saja, swap bisa didesain
agar sesuai syariah dengan memenuhi syarat-syarat: (1)ada pihak yang tingkat
kreditnya rendah karena memegang asset jangka panjang dan utang jangka pendek,
(2)ada pihak lain yang utangnya jangka panjang tapi asetnya lebih likuid karena
rating kreditnya sangat bagus, dan (3)ada instrument keuangan dengan pendapatan
tetap yang digunakan untuk meningkatkan pendanaan jangka panjang dan ada juga
instrument keuangan pendapatan mengambang yang digunakan untuk pendanaan jangka
pendek (Khan dan Ahmed, 2001: 135-136).
4.
Tantangan
pengaturan komoditas dan risiko harga ekuitas
Pada umumnya, fluktuasi
harga komoditas dan ekuitas tidaklah menjadi perhatian manajemen asset-utang
bank. Pada bank Islam, Murabahah dan Istis{na>’ rentan
terhadap risiko suku bunga tolak ukur dari harga mark-up dan Salam serta
Ijarah rentan terhadap risiko harga Murabahah dan komoditas. Ada beberapa teknik yang
bermanfaat dalam mengatur risiko harga komoditas dan ekuitas (Khan dan Ahmed, 2001: 137-138).
a.
Salam dan
komoditas futures
Kontrak future
memungkinkan penggunanya mengunci harga mendatang sesuai harapan mereka. Bank
Islam sekarang tidak menggunakan kontrak komoditas future dalam skala besar.
Namun dengan peran sejumlah resolusi, konvensi dan riset baru fiqh, skop
komoditas untuk future diperluas dalam bank Islam (Khan dan Ahmed, 2001: 138-139).
b.
Bay’ al-tawri>d dengan khiya>r
al-shart{
Setiap jenis kontrak
bank Islam dengan harga, kuantitas yang ditetapkan diawal dan lama waktunya
yang mana bayaran dan objek ditangguhkan dimisalkan dengan Bay’ al-tawri>d (pembeli
dan penjual susu sepakat dan berakad terkait jumlah susu yang akan diserahkan
setiap hari, lama akad, waktu penyerahan dan harga. Susu tersebut tidak ada
ketika akad terjadi, pun bayarannya kebanyakan dibayar pada waktu tertentu). Jika
harga pasar turun, pembeli akan rugi jika meneruskan kontrak. Sebaliknya jika
harga naik, maka penjual yang akan rugi. Oleh karena itu, dalam kontrak semacam
ini keberadaan khiya>r
al-shart akan
membuat kontrak menjadi lebih adil dan mengurangi risiko bagi kedua belah pihak
(Khan dan Ahmed, 2001: 139-140).
c.
Kontrak
paralel
Risiko harga bisa
terrjadi karena perubahan tidak tetap harga komoditas tertentu dan asset
non-keuangan dan juga karena perubahan tingkat harga secara umum atau inflasi.
Hal ini menyebabkan Murabahah dan Salam memiliki potensi untuk
mengurangi risiko harga yang mendasari transaksi ini. Meskipun perubahan tetap
harga asset tidak dapat dibendung, namun komposisi piutang pada neraca bisa
secara sistematis diatur sehingga dampak inflasi bisa dikurangi (Khan dan Ahmed, 2001: 140-141).
5.
Risiko
harga ekuitas dan penggunaan bay’ al-arboon
Skop penggunaan opsi
oleh bank Islam sebagai instrumen manajemen risiko sangatlah terbatas. Namun
begitu, sebagian bank Islam berhasil memanfaatkan untuk meminimalisir risiko
portofolio yang dalam perbankan Islam sekarang dikenal dengan Principal
Protected Funds (PPFs) (Khan dan
Ahmed, 2001: 143).
6.
Tantangan
pengaturan risiko perdagangan luar negeri
Risiko
perdagangan luar negeri dapat dibedakan menjadi risiko ekonomi, risiko
transaksi dan risiko translasi. Risiko-risiko ini dapat diminimalisir melalui: (1)Menghindari risiko-risiko transaksi, (2)Netting, (3)Swap kewajiban/ utang, (4)Swap deposito, (5)Forwards mata uang
dan futures, (6)Forward sintetis, dan (7)Imunisasi (Khan dan Ahmed,
2001: 143-146).
D. Risiko Likuiditas
Beragam
alasan menyebabkan bank Islam cenderung menghadapi risiko likuiditas,
diantaranya: (1)aset bank Islam tidak selikuid aset bank konvensional karena
adanya larangan sekuritisasi, (2)perkembangan instrumen keuangan yang lambat
membuat bank Islam tidak mampu meningkatkan dana dari pasar secara cepat,
(3)karena the lender of lasr resort berbasis bunga, maka bank Islam
tidak dapat memanfaatkannya, dan (4)karena belum menghadapi persoalan
likuiditas, bank Islam tidak memiliki sistem manajemen likuiditas formal (Khan
dan Ahmed, 2001: 147-149).
Referensi: Khan, Tariqullah dan Habib Ahmed, “Risk management: an Analysis of Issues in Islamic Financial
Industry,” Occasional Paper, Jeddah (KT): 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar